Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan featured

Belajar dari Kompas

29 Juni 2017   22:43 Diperbarui: 28 Juni 2019   08:05 1338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ada-dalam-buku-potret-diri-oji-5955700f97853541d42865b2.jpg
ada-dalam-buku-potret-diri-oji-5955700f97853541d42865b2.jpg
Mulai 2000-an saya rajin mengirim tulisan, baik opini, puisi, dan cerpen ke Kompas. Tidak pernah dimuat hingga 2017 ini. Hebat sekali, ‘kan? Saya gitu lho! Jangan ditiru bagi yang kurang berbakat bandel semacam saya.

Tetapi nama saya pernah singgah di Kompas pada 2000, tepatnya 26 Juli 2000. Bangga dong. Eh, sebentar. Bukan kartun atau tulisan, melainkan sebagai pembicara dalam seminar Hak Atas Kekeayaan Intelektual yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Masyarakat HAKI Indonesia (IIPS/Intellectual Indonesian Property Right), Jakarta. 

Pembicara dari akademisi, ya? Oh, bukan. Saya, dengan nama Agustinus Wahyono, disebutkan sebagai Produsen T'shirt dari Yogyakarta. Lho, kok bisa? Bisa saja asalkan percaya sebab tiada yang mustahil bagi orang percaya, katanya, sih, begitu.

Ya, bisa saja "sebagai Produsen T'shirt" karena, berawal dari esai saya, "Dagadungan : Realitas Sebuah Impotensi" menjadi nominator dalam lomba esai HAKI IIPS 2000. Dalam esai tersebut saya menjadikan Dagadu Djokdja sebagai kasusnya untuk pembelajaran mengenai Hak Cipta. 

Kemudian IIPS menghubungi saya untuk menjadi pembicara dalam seminar HAKI di Yogyakarta, berlanjut di Jakarta, karena Dagadu Djokdja sedang berhalangan sejak seminar sebelumnya di Yogyakarta. Pengumuman advestorial mengenai acara seminar di Jakarta itu muncul di Kompas. Lha kok bisa, lagi? 

dok-pribadi-595576a2ed967e690c7a0992.jpg
dok-pribadi-595576a2ed967e690c7a0992.jpg
Pada 2004 saya diundang oleh Kompas dalam acara temu Pembaca Kompas di Hotel Santika Yogyakarta. Saya kira undangan itu karena saya berlangganan harian tersebut. Saya cari nama saya di buku tamu, tidak ada.

Setelah menuliskan nama saya di buku tamu, lalu saya bertemu seorang penulis Yogyakarta, yaitu Mas Prihatin, yang juga guru SMA Kolose de Britto, dan beliau pernah menjadi rekan saya sebagai juri sebuah lomba menulis cerpen tingkat pelajar se-DIY. Kata beliau, “Aku ngerti kamu diundang. 

Tadi aku lihat di buku tamu, khusus penulis.” Lho, ternyata nama saya masuk dalam daftar undangan penulis Kompas. Lha kok bisa? Ya, bisa saja, asalkan percaya sebab tiada yang mustahil bagi orang percaya. Aduhai!

Beberapa bulan kemudian saya mendapat kartu ucapan selamat ulang tahun dari Kompas. Waduh, lengkap sudah “lha kok bisa”!

Tahun-tahun selanjutnya kembali ke kampung halaman, Sungailiat, bahkan merantau ke Jakarta, saya tidak berlangganan Kompas tetapi rutin membeli edisi Minggu-nya. Biasa, sejak ada perayaan rahasia bernama “Minggu Hari Raya Budaya” bagi sebagian penulis, khususnya genre seni sastra. Tidak ketinggalan saya pun membeli buku kumpulan kartun Om Pasikom : Reformasi, dan Panji Koming.

Kemudian saya pindah ke Balikpapan, Kaltim. Kebetulan keluarga di Kota Minyak berlangganan Kompas. Nah, kali ini saya bisa rutin membacanya. Tidak hanya kartun, opini, rubrik Seni, tetapi lain-lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun