Negara Indonesia tidaklah berlebihan jika diumpamakan sebuah rumah atau bangunan. Alasannya, seringnya muncul istilah “pilar demokrasi” yang menggunakan kata “pilar” alias “tiang” alias “kolom” yang berkaitan dengan bangunan.
Sebuah bangunan dengan pilar-pilarnya sangat mustahil berdiri tanpa adanya fondasi (kata “pondasi” tidak baku, meski sering dipakai). Dan, fondasi Indonesia atau juga dasar negara adalah Pancasila.
Dengan menyebut “fondasi”, tentu saja, berkaitan pula dengan salah seorang bapak pendiri bangsa, yaitu Ir. Soekarno – seorang arsitek lulusan ITB (Technische Hoogeschool te Bandoeng). Bangunan negara dalam visi Soekarno dan bapak-bapak seperjuangan bukanlah sebuah pos satpam (pos kamling) atau rumah tipe 36, tentunya.
Belum lama ini, 2017, berita nasional diramaikan dengan istilah “anti-Pancasila”, yang disandangkan kepada suatu kelompok masyarakat yang tidak menghendaki Pancasila sebagai dasar (landasan ideal/ideologi) negara Indonesia. Presiden Joko Widodo dengan “terpaksa” mengingatkan kembali dengan slogan “Saya Pancasila, Saya Indonesia”.
Para bapak pendiri (the founding fathers) bangsa-negara Indonesia telah berpikir serius mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, dari penggalian terhadap budaya-budaya se-Nusantara hingga visi yang jauh melampaui waktu.
Selain sebagai sumber segala sumber hukum, didefinisikan juga bahwa Pancasila merupakan jati diri bangsa Indonesia, yang terpancar melalu lima sila-nya, Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang terhimpun dalam Mukadimah UUD 1945 alinea IV. Pancasila pun merupakan falsafah hidup, pandangan hidup bangsa-negara, sampai ada sebutan "demokrasi Pancasila" dalam ranah politik-demokrasi.
Pada waktu sekolah setelah kemerdekaan, Pancasila pun disosialisasikan melalui pendidikan formal. Artinya, generasi penerus Indonesia harus benar-benar menyadari bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun dengan dasar yang jelas sebagai negara yang berdaulat.
Lantas, bagaimana kelompok “anti-Pancasila” itu kini muncul ke permukaan? Entah bagaimana kisah kelompok tersebut, termasuk sebagian kecil mahasiswa, menempuh jenjang pendidikan formal di Indonesia. Atau, entah di mana dulu mereka bersekolah formal di Indonesia. Atau juga, tidak pernah sungguh-sungguh bersekolah di Indonesia karena alasan ini-itu, yang kini terlihat ramai sebagai kelompok “anti-Pancasila”. Atau pula, bagaimana orangtua mereka mendidik mengenai berbangsa-bernegara.
Analogi Fondasi Bangunan
Setiap bangunan (di atas permukaan tanah) memiliki fondasi, termasuk sebagai bagian rangka (struktur) bangunan. Fondasi merupakan struktur utama/awal untuk sebuah bangunan.
Setelah fondasi barulah peletakan struktur utama selanjutnya. Misanya pilar atau kolom, atau tiang struktur. Lalu, sloof, balok, dan seterusnya. Untuk fondasi batu gunung dan biasa di rumah tinggal 1 lantai yang jauh dari jangkauan gempa, sebagian tanpa sloof, dan langsung memikul dinding bangunan.
Bagaimana kalau bangunan di atas permukaan air itu tanpa fondasi atau bertumpu pada benda apung? Atau, seperti film Waterworld, dan rencana gagal dari seorang cagub DKI Jakarta 2017 untuk sebuah Kota Apung? Angin dan arus bawah air bisa menggeserkan bahkan menghanyutkan hingga entah ke mana bangunan itu akhirnya berlabuh, ‘kan?
Dan, silahkan dihitung, lebih banyak mana antara rumah di atas permukaan tanah dan rumah di atas permukaan air yang sering ditemui oleh 250 juta jiwa.
Mengganti Dasar Negara, Mudahkah?
Suatu kelompok masyarakat yang hendak menggantikan dasar negara memanglah mudah dalam angan-angan sekaligus ucapan sana-sini. Pemahaman mereka mengenai Pancasila sebagai dasar negara belum benar-benar sampai jauh ke dasar hati berbangsa-bernegara.
Wacana demi wacana diperbincangkan tanpa menyadari bahwa membangun hingga menjadikan negara berdaulat sampai hampir 72 tahun bukan lagi untuk sebuah wacana alias angan-angan. Indonesia sudah jelas, dan Pancasila sudah jelas pula.
Nah, anggap saja negara adalah sebuah bangunan. Kalau kembali berwacana hendak menggantikan dasar negara, hal itu sama saja hendak mengganti fondasi negara seperti sebuah ibarat mengganti fondasi bangunan gedung berlantai banyak. Mudahkah?
Mohon diingat, dalam bangunan negara Indonesia sudah dihuni oleh 250 juta jiwa. Kalau hendak mengganti fondasi negara, sebutannya adalah "revolusi", tentunya tidak bisa terlepas dari keberadaan para penghuninya (rakyat Indonesia). Mau dibawa ke mana rakyat Indonesia jika hendak meruntuhkan bangunan negara Indonesia? Bukankah sebuah revolusi pasti mengorbankan banyak jiwa?
Atau, mereka menyangka bahwa dasar itu adalah lantai atau tempat kaki orang-orang menginjak, bukan fondasi. Kalau alasan sangkaan bahwa dasar adalah alas kaki orang berpijak, tentu saja, secara struktural tidaklah krusial, apalagi jika bangunan hanya berlantai 1. Tetapi dasar negara atau dasar bangunan negara yang dimaksud bukanlah lantai itu, melainkan fondasi bangunan negara Indonesia.
Fondasi diganti, runtuhlah negara, dan sama saja dengan sebuah pengkhianatan terhadap jerih-payah atau hidup-mati perjuangan para pahlawan dan pendiri bangsa-negara ini. Tidak keliru jika Presiden Joko Widodo kembali mengingatkan, “Saya Pancasila, Saya Indonesia”, bukannya terbalik dengan “Saya Indonesia, Saya Pancasila”.
Semoga analogi ini bisa turut membantu pemahaman kita mengenai dasar negara, yaitu Pancasila.
*******
Panggung Renung Balikpapan, 2017
*) cara seorang arsitek Indonesia memahami Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H