Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penjara

18 Juni 2017   10:07 Diperbarui: 18 Juni 2017   11:33 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Masuk penjara kalau nakal!” hardik sebagian orangtua atau orang dewasa pada anak-anak yang, dikhawatirkan, berbuat hal-hal yang “menyusahkan” orangtua atau orang dewasa.

Penjara adalah kata yang cukup telak “memenjara” pikiran anak-anak kampung. Seketika terbayang menjadi seorang penjahat, tidak bebas ke mana-mana, terisolasi, dan menjadi sosok hitam dalam pergaulan masyarakat di kampung.

Kata “penjara”, dalam sebagian pergaulan masyarakat kampung, masih menjadi kata paling ampuh untuk “menakuti-nakuti” anak-anak. Mungkin, maksud orangtua atau orang dewasa, anak-anak jangan “kebablasen” (keterlaluan; terlalu = aneh dan merisaukan). Mungkin juga supaya anak-anak berhati-hati dalam pergaulan dengan kawan sepantar bahkan dengan orang lebih tua yang “nakal”, yang tidak bisa sepenuhnya dalam pantauan orangtua.

Jangankan penjara, kamar pun bisa menjadi ‘penjara’ karena badan sakit, yang membutuhkan suasana khusus untuk memudahkan pantauan (kontrol) terhadap perkembangan kesehatan. Jangankan karena sedang menderita suatu penyakit, lha wong baru disunat (dikhitan) dua hari saja sudah sangat membosankan berada di kamar atau rumah saja.

Penjara bukan sekadar suatu tempat yang terisolasi dari dunia luar secara fisik, tetapi juga berdampak psikis, dan sosial. Pertama, tentunya, dampak bagi diri sendiri. Kedua, dampak bagi keluarga. Ketiga, dampak bagi lingkungan pergaulan.

Dampak tidak pula sekadar ketika “masuk-mendekam” di penjara, tetapi juga setelah keluar dari penjara. “Bayangan hitam” sebagai mantan narapidana masih berlaku dalam suatu tatanan pergaulan masyarakat. Sebagian kalangan masih “berjaga-jaga” apabila berhadapan dengan seorang mantan narapidana.

Kalau mantan narapidana masih terlihat “tidak berbuat apa-apa” yang positif (bermanfaat), “berjaga-jaga” semakin dipertegas oleh sebagian kalangan. Tidak jarang, seorang mantan narapidana merasa dikucilkan dari lingkungan masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Ada juga yang kembali melakukan aksi kejahatannya, baik dengan alasan ekonomi maupun semata-mata memuaskan suatu hasrat (suatu penyakit psikis), karena tidak tahu harus berbuat apa lagi.

Tentunya penjara dan penjahat yang dikenal oleh sebagian masyarakat kampung lebih didominasi pada anggapan kriminal (pidana). Sementara persoalan hukum perdata, khususnya utang-piutang, berita seputar pengadilan sampai penjara belum menjadi pergunjingan dalam masyarakat kampung. Hanya saja ada sanksi sosial terhadap si pelaku.

Selanjutnya baru pada persoalan terkait narkoba, perbuatan tidak menyenangkan, kekerasan, dan lain-lain, sejak merebaknya undang-undang ini-itu. Kriminal dan narkoba ini pun sudah cukup mampu membuat “bayangan hitam” pada diri seorang pelakunya.

Di lain sisi, perkembangan pergaulan dan wawasan menjadikan penjara merupakan suatu tempat bersifat politik. Pertama, perkembangan ini berkaitan dengan status pendidikan.

Terminologi “penjara” dan “penjahat” pun berbeda dalam ranah politik-kebangsaan. Tidak sedikit para pahlawan kemerdekaan atau bapak pendidir bangsa pernah mengalami “masuk-mendekam” di penjara atau “pengasingan” yang jauh. Heroik merupakan kesan yang merambah alam berpikir banyak orang terhadap “penjahat politik masuk penjara penjajah”.

Kedua, perkembangan terhadap kehidupan berbangsa-bernegara dalam kedaulatan negara. Kesan heroik juga dikaitkan dengan seseorang yang mendapat vonis “penjahat politik” dan masuk penjara karena divonis “melawan penguasa (pemerintah)”.

Persoalan heroik-tidaknya ini, kemudian, menjadi suatu pertanyaan tersendiri. Apakah tindakan “melawan penguasa” dengan cara begini-begitu hingga suatu rencana “menggulingkan pemerintahan” yang sah (konstitusional) masih patut dikesankan sebagai “heroik”?

Ketiga, yang ikut merecoki “heroisme” adalah kejahatan bernama korupsi, yang melibatkan tokoh-tokoh tertentu, baik politik maupun sosial. Pada kasus semacam ini, tentunya, harus dibedakan lagi karena korupsi merupakan suatu tindakan pidana. Tidak berbeda dengan kriminal seperti mencuri (dilakukan seorang diri), dan merampok (dilakukan oleh lebih dari seorang).

Permainan orasi melalui akrobat dialektika antara “melawan kesewenang-wenangan pemerintah” dan “upaya menutupi tindak korupsi” seringkali gagal dipahami oleh sebagian kalangan, khususnya kalangan yang telanjur mengkultuskan (memberhalakan) seorang tokoh. Ya, kalangan satu ini memang selalu gagal menggunakan rasional karena selalu mengedepankan emosional.

Dan masih banyak lagi hal-hal lainnya, berkaitan dengan “penjahat”, “kejahatan”, dan “penjara”, yang cenderung mengaburkan jarak (batas) antara benar dan salah, bersih dan kotor, atau suci dan dosa. Akan tetapi, kata “penjara” tetaplah menjadi suatu tempat yang telah divonis sebagian masyarakat, khususnya masyarakat kampung, sebagai “neraka kecil-sesaat”.

Penjara atau “neraka kecil-sesaat” masih dipandang oleh banyak kalangan sebagai suatu tempat berisi ruang-ruang seukuran kamar dengan masing-masing memiliki sebidang vertikal berupa jeruji besi, berisi sekian orang tanpa fasilitas seperti kamar di rumah, dan berpagar tembok raksasa. Entahlah jika kemudian mengalami perubahan bentuk dan penambahan fasilitas karena suatu “hal”.

Kata “penjara” ini pun masih berandil besar dalam pemahaman sebagian kalangan orangtua yang memiliki anak berpikir kritis terhadap situasi bangsa-negara pada saat anaknya sedang mengenyam bangku pendidikan tinggi. Tidak jarang kalangan orangtua ini melarang anaknya berpikir kritis semacam itu, atau terlibat dalam pergaulan suatu “organisasi”, supaya terhindar dari ancaman penjara alias “neraka kecil”.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun