Kedua, perkembangan terhadap kehidupan berbangsa-bernegara dalam kedaulatan negara. Kesan heroik juga dikaitkan dengan seseorang yang mendapat vonis “penjahat politik” dan masuk penjara karena divonis “melawan penguasa (pemerintah)”.
Persoalan heroik-tidaknya ini, kemudian, menjadi suatu pertanyaan tersendiri. Apakah tindakan “melawan penguasa” dengan cara begini-begitu hingga suatu rencana “menggulingkan pemerintahan” yang sah (konstitusional) masih patut dikesankan sebagai “heroik”?
Ketiga, yang ikut merecoki “heroisme” adalah kejahatan bernama korupsi, yang melibatkan tokoh-tokoh tertentu, baik politik maupun sosial. Pada kasus semacam ini, tentunya, harus dibedakan lagi karena korupsi merupakan suatu tindakan pidana. Tidak berbeda dengan kriminal seperti mencuri (dilakukan seorang diri), dan merampok (dilakukan oleh lebih dari seorang).
Permainan orasi melalui akrobat dialektika antara “melawan kesewenang-wenangan pemerintah” dan “upaya menutupi tindak korupsi” seringkali gagal dipahami oleh sebagian kalangan, khususnya kalangan yang telanjur mengkultuskan (memberhalakan) seorang tokoh. Ya, kalangan satu ini memang selalu gagal menggunakan rasional karena selalu mengedepankan emosional.
Dan masih banyak lagi hal-hal lainnya, berkaitan dengan “penjahat”, “kejahatan”, dan “penjara”, yang cenderung mengaburkan jarak (batas) antara benar dan salah, bersih dan kotor, atau suci dan dosa. Akan tetapi, kata “penjara” tetaplah menjadi suatu tempat yang telah divonis sebagian masyarakat, khususnya masyarakat kampung, sebagai “neraka kecil-sesaat”.
Penjara atau “neraka kecil-sesaat” masih dipandang oleh banyak kalangan sebagai suatu tempat berisi ruang-ruang seukuran kamar dengan masing-masing memiliki sebidang vertikal berupa jeruji besi, berisi sekian orang tanpa fasilitas seperti kamar di rumah, dan berpagar tembok raksasa. Entahlah jika kemudian mengalami perubahan bentuk dan penambahan fasilitas karena suatu “hal”.
Kata “penjara” ini pun masih berandil besar dalam pemahaman sebagian kalangan orangtua yang memiliki anak berpikir kritis terhadap situasi bangsa-negara pada saat anaknya sedang mengenyam bangku pendidikan tinggi. Tidak jarang kalangan orangtua ini melarang anaknya berpikir kritis semacam itu, atau terlibat dalam pergaulan suatu “organisasi”, supaya terhindar dari ancaman penjara alias “neraka kecil”.
*******
Panggung Renung Balikpapan, 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H