Setelah memberondong kata pembalasan, si komentator tidak muncul, lalu ditimpali oleh komentator lain yang ikut “mendukung” atau “membela” saya, bagi saya, selesailah berbalas makian di situ. Gelombang emosi saya berangsur reda-tenang. Saya tinggalkan berita itu sampai besak atau lusa, kecuali ada tanggapan lagi.
Ternyata Memang Benar
Dalam suasana yang kondusif, semisal sekian menit jam sehabis bangun tidur dan udara sejuk, seringkali saya menyadari bahwa kata-kata emosional yang meluap-luap itu justru merupakan kebodohan saya. Oh, ya? Ya, benar. Tidaklah keliru sematan kata sifat itu pada diri saya. Saya memang begitu (sesuai dengan sematan kata sifat tersebut).
Itulah kebodohan saya sesungguhnya. Mengapa begitu? Saya melahap “umpan”, dan sisi jiwa saya tersangkut di “joran” komentar kata-kata sifat itu.
Jika diibaratkan bahwa jiwa adalah laut, kebodohan adalah ikan-ikan kelaparan dalam diri saya. Kalau saya sedikit marah, itulah ikan buntal. Tapi kalau sudah sampai menggetarkan tubuh daya sendiri, itulah raja ikan hiu atau naga laut yang tengah dilanda kelaparan akut. Dalam kondisi murka, saya ingin melumat dan menelan mereka hidup-hidup.
Ini suatu kebodohan luar biasa. Kebodohan saya yang lalai merantai ofensivitas ego primitif saya sendiri. Dan, saya sendiri yang “menghancurkan” apa yang sekian puluh tahun saya bangun-benahi-hiasi, hanya gara-gara begitu.
Kesadaran Sering Berada di Belakang
Kondisi tersebut saya sadari pada tempo sekian waktu berikutnya, dimana saya berada dalam situasi meditasi-kontempelasi sesuai dengan ritual-keyakinan saya sendiri.
Tersering saya malu, dan teramat malu pada diri saya sendiri. Sekian puluh tahun saya membentuk diri saya, dengan aneka persoalan, perbedaan, dan lain-lain, tentunya, saya bisa mengenali diri saya sendiri dalam sisi terang-gelapnya alias benar-salah. Hanya dengan satu “umpan” kata, semisal “bodoh”, langsung saya sambar “umpan” itu.
Ya, kebodohan saya, yang masih sering lupa bahwa inilah kenyataan hidup sesungguhnya, meski sedang berselancar di dunia maya sekalipun. Padahal, berselancar di dunia maya lebih sering saya lakukan seorang diri di suatu tempat yang kondusif (sunyi, kecuali satu-dua lengking serangga malam), dan saya juluki “Panggung Renung”.
Suatu Ujian yang Berulang