Santri merupakan kelompok pelajar Islam yang mendalami ilmu agama di pondok pesantren, dan ketika selesai mondok, maka di wajibkan untuk menyebarkan ilmunya di manapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun. Ada yang berdakwah menjadi guru, penceramah, tentara, pejabat, dan sebagainya. Ketika santri ikut andil dalam politik dan menjadi pejabat, maka kebijakan-kebijakan yang dibuat atau diputuskan tidak akan lepas dari ajaran-ajaran yang dipelajari di pesantren, sehingga menjadikan kemaslahatan bagi umat. Seperti contoh, jika ada kemungkaran tempat perjudian, jika santri hanya rakyat biasa dan tidak mengerti politik, maka akan sulit memberantasnya, akan tetapi jika santri memiliki kuasa dan paham tentang sistem, maka dengan kertas selembar dan tanda tangan, tempat judi tersebut akan mudah dihilangkan.
      Selain itu juga, ketika santri berpolitik, maka bisa menjadi lawan dari paham-paham yang menyimpang dan merugikan rakyat serta negara. Begitupun dengan urusan agama, ketika santri berkuasa, maka ia juga ikut serta menegakkan agama dan mendakwahkan agama. Perlu diingat, di mana ada suatu daerah yang pemimpin dan pejabatnya Muslim, maka mayoritas penduduknya banyak yang menjadi Muslim. Itu menandakan bahwa salah satu pendekatan dalam berdakwah adalah dengan politik.
Santri dan Konteks Politik di Indonesia
      Santri memiliki peran strategis dalam dunia politik. Sejak zaman penjajahan, santri terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Peran ini tampak dalam fatwa Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945, yang menjadi semangat perlawanan melawan penjajah. Selain itu, tokoh-tokoh santri seperti KH. Wahid Hasyim dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membuktikan bahwa santri mampu mengambil peran penting dalam membangun bangsa, baik sebagai tokoh politik maupun pemimpin negara.
      Dalam konteks modern, partisipasi santri dalam politik menjadi lebih terstruktur melalui organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, serta melalui partai politik berbasis Islam. Hal ini menunjukkan bahwa santri memiliki potensi besar untuk mewarnai politik Indonesia dengan nilai-nilai Islami yang rahmatan lil ‘alamin dan juga dengan dasar pendidikan keagamaan yang kuat, santri dapat mengintegrasikan nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan amanah ke dalam praktik politik dengan bekal ilmu agama tentu mereka juga memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi teladan dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut.
Politik Santri: Peran dan fungsi politik
Politik santri merujuk pada praktik politik yang berdasarkan nilai-nilai keislaman, seperti keadilan, maslahat, dan persatuan. Politik santri bukan hanya tentang keterlibatan santri dalam dunia politik, tetapi juga tentang bagaimana nilai-nilai Islam diaplikasikan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan publik. Santri, dengan tradisi keilmuan dan kepemimpinan yang mengedepankan kebijaksanaan, dapat menerapkan prinsip ini untuk menciptakan kebijakan yang adil dan bermanfaat bagi umat.
      Dalam konteks demikian itulah politik akan bermakna ibadah manakala digunakan dan di tasyawurkan untuk kemaslahantan umat. Dalam kitab Al Ahkam al sultaniyyah karangan Imam Al Mawardi di jelaskan bahwa ada dua fungsi penting dalam berpolitik. Pertama, Politik berfungsi untuk menjaga agama ( khirasatidin). Jadi kebijakan – kebijakan yang di lahirkan oleh politik yang di pegang oleh orang – orang beragama akan di arahkan untuk menjaga keberlangsungan dan tegaknya sebuah agama. Kedua, Siyasatidunyya, mengatur kehidupan dunia agar mampu memberikan kemaslahatan kepada rakyat.
Tantangan dan Peluang Santri dalam Politik
      Santri menghadapi berbagai tantangan dalam dunia politik, di antaranya adalah pragmatisme politik dan potensi politisasi agama. Tantangan ini menuntut santri untuk menjaga idealisme dan integritasnya agar tetap menjadi agen perubahan yang membawa maslahat bagi umat.