Mohon tunggu...
Gus Kur
Gus Kur Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Membaca (IQRA) dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Apakah Ruh dan Nafs Sama?

11 Desember 2022   04:00 Diperbarui: 12 Desember 2022   09:03 669
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi "Astral Travel Out Of  Body, sumber freepik

Pembahasan tentang Nafs dan Ruh merupakan tema yang selalu menarik untuk dibahas setiap saat. Sering terjadi perdebatan dan perbedaan pendapat yang berbeda satu sama lain. Ada yang mengatakan bahwa keduanya sama, menurut mayoritas ulama. Sementara kelompok lain berpendapat keduanya berbeda. Namun, Allah memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki sebagai petunjuk menuju jalan yang lurus.

A. Mengenai Ruh

Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam bukunya "Mukhtasar Ar Ruh" mengutip dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan sesuai kesepakatan para ulama Salaf Ahlus Sunnah. Seperti halnya pendapat Muhammad bin Nasr Al Marwazi, seorang imam yang terkenal pada masanya, bahwa Ruh adalah sesuatu yang diciptakan (makhluk). Dan menolak pendapat yang mengatakan bahwa Ruh Nabi Isa bin Maryam itu abadi. Andai saja ruh itu abadi, maka tentunya manusia dulunya adalah "sesuatu yang bisa disebut".(1). 

Hal ini berdasarkan beberapa ayat Al-Qur'an, diantaranya terdapat pada surat Az-Zumar ayat 62 dan surat Al-Insan ayat 1 sebagai berikut:

1).  Allaahu khaaliqu kulli syai'iw 

Artinya "Tuhan menciptakan segala sesuatu". (Q.S Az-Zumar [39]: 62).

Ayat ini adalah pengucapan umum dan tidak ada spesialisasi (takhshish) apapun di dalamnya. Tetapi dia tidak termasuk dalam sifat-sifat-Nya, karena sifat-sifat-Nya termasuk dalam apa yang disebut dalam nama-Nya. 

Dengan demikian dapat diketahui dengan pasti bahwa Ruh bukanlah Tuhan, juga bukan bagian dari sifat-Nya. Namun Roh adalah salah satu ciptaan Tuhan.


2). Minad dahri lam yakun syai'am madzkuuraa

Artinya "Bukankah itu datang kepada manusia pada suatu waktu dari masa lampau, sedangkan dia belum menjadi sesuatu yang dapat disebutkan?!" (QS. Al-Insan 76:1).

Andai saja Ruh itu abadi, maka tentunya manusia sebelumnya adalah sesuatu yang bisa disebut. Roh ditandai dengan kematian, pencabutan, pengabaian, perjuangan dan cedera. Ini semua adalah keadaan keberadaan dan hal-hal yang baru dikuasai.


Jadi bagaimana mungkin Ruh itu abadi dan tidak membutuhkan Pencipta yang membuat dan menciptakan Ruh. Sedangkan berbagai bukti tentang kebutuhannya merupakan bukti yang sangat kuat bahwa Ruh adalah makhluk yang dimiliki dan diciptakan.?!


Ruh tidak dapat menerima kebaikan kecuali yang Allah berikan, dan tidak dapat menghindari kejahatan kecuali Allah memberinya perlindungan. Ayat-ayat Alquran yang muhkam dari awal sampai akhir menunjukkan bahwa Tuhan menciptakan Ruh, dan itu adalah urusan Tuhan (Min Amri Robbi).

wa yas'aluunaka 'anir ruuh, qulir ruuhu min amri rabbii
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, "Ruh itu termasuk urusan Tuhanku,"  (Q.S Al-Isra' [17] : 85)

Kata Amr disini bukanlah thalah (tuntunan), melainkan yang dimaksudkan adalah Al Ma'mur (sesuatu yang diperintahkan). Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa yang dimaksudkan dengan Ruh pada ayat diatas adalah Ruh manusia. Untuk persoalan ini masih menjadi perbedaan pendapat antara kalangan Salaf maupun Kalaf.

Sedangkan makna Ruh di dalam Al Quran diantaranya adalah:

  • Wahyu  terdapat dalam QS. Surah Asy-Syura 42:52
  • Kekuatan, Keteguhan dan Pertolongan yang diberikan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki di antara hamba-hamba Nya tercantum dalam QS. Al-Mujadilah 58:22.
  • Malaikat Jibril terdapat dalam Qs. As-Syua'ara 26:193.

Sementara Ruh yang disandarkan kepada Rabb adalah Ruh ciptaan yang disandarkan kepada Tuhan dalam bentuk penyandaran (idhafah) yang bersifat pengkhususan (takhshish) serta pemuliaan (tasyrif). Seperti Ruh yang dikirim kepada Nabi Adam as. dan Maryam ibunda Nabi Isa as.  Dan menurut pendapat Ibnu Qayyim Al Jauziyyah bahwa Ruh anak cucu keturunan Nabi Adam as. tidak ada yang disebut dengan kata "Ruh" di dalam Al Quran melainkan dengan kata "Nafs" (jiwa:nyawa).

B. Mengenai Nafs

Kata Nafs (jiwa) mempunyai banyak arti, Al -Jauhari mengatakan bahwa Nafs bisa diartikan ruh, bisa juga diartikan dengan darah (ad-dam), atau bisa juga diartikan dengan jasad serta bisa juga diartikan dengan inti sesuatu ('Ain). 

Dinamakan Nafs bisa jadi dikarenakan berasal dari sesuatu yang berharga (Nafis). Karena nilai dan kemuliaannya maka bisa jadi diartikan karena bernafasnya sesuatu (Tanaffus) jika ia keluar. Karena ia banyak keluar masuk dari badan maka ia dinamakan Nafas.

Dalam Al Quran terdapat 295 kali kalimat yang berkaitan dengan "Nafs" dengan sebutan berulang-ulang. Dimana Nafs adalah fisik (jisim) yang berbeda substansinya dengan fisik yang bisa disentuh. An Nafs secara konstan menguasai kehidupan walaupun bersifat abstract berbeda dengan tubuh yang bersifat fisik material. Setelah jasmaniah bergabung dengan ruhaniyah disebutlah manusia sebagai makhluk hidup yang beresensi.

Sebagaimana firman Allah dalam Al Quran dibawah ini,
allaahu yatawaffal anfusa hiina mautihaa wallatii lam tamut fii manaamihaa, fa  qadhaa 'alaihal mauta wa yursilul ukhraa ilaa ajalim musammaa, inna fii dzaalika la'aayaatil liqaumiy yatafakkaruun.

Artinya:
"Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati ketika tidurnya; maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir." (Q.S Az-Zumar [39] : 42).

Dengan Nafs itulah seseorang bisa berbolak-balik dan bernafas ketika tidur, jika ia digerakkan maka Nafs itu dengan secepatnya kembali kepadanya ketika bangun dari tidur. Jika Allah menghendaki untuk mematikannya dalam keadaan tidur, maka Allah menahan Nafs yang keluar itu. Untuk hal ini dikuatkan oleh sebuah hadits yang bersumber dari Riwayat Sunan Abu Dawud, Imam Tarmidzi dan Imam An Nasa'i juga Ibnu Majah sebagai berikut:

"Pena itu telah diangkat (tidak digunakan untuk mencatat) dari tiga golongan: Anak kecil sehingga ia baligh, orang gila sehingga ia sadar dan orang yang tidur sehingga ia bangun". (2)


Allah menceritakan perihal diri-Nya bahwa Dialah Yang mengatur seluruh alam wujud ini menurut apa yang dikehendaki-Nya, dan bahwa Dialah yang mematikan manusia dengan menugaskan para malaikat pencabut nyawa untuk mencabut roh mereka dari tubuhnya. Mengenai hal ini pendapat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Allah menahan jiwa orang yang telah mati dan melepaskan jiwa orang yang hidup.

C. Apakah Roh dan Nafs itu Sama .?!


Ada dua pendapat dalam hal ini yaitu:
Pendapat pertama dari kalangan ahli hadits, ahli fiqih dan ahli tasawuf yang mengatakan bahwa: "Roh itu bukanlah Nafs". Sementara itu pendapat kedua dari kalangan ahlul atsar berpendapat bahwa: "Roh bukanlah Nafs dan Nafs bukanlah Roh".

Seperti uraian diatas bahwa  apabila ada yang menanyakan mengenai persoalan Ruh, akan  hal ini jawabannya  adalah menjadi urusan Tuhan (min amri Rabbi). Sebagaimana yang tertuang dalam QS. Al Isra 17:85. Diperkuat lagi dengan keterbatasan akal manusia ataupun ilmu pengetahuan manusia yang sangat terbatas (minim). Sehingga menjadi pembeda antara Allah sebagai Pencipta (Khalik) dengan manusia sebagai yang dicipta (makhluk).

Konteks  ayat di QS. 17:85  jelas menunjukkan  bahwa ayat  ini diturunkan   ketika  orang- orang  Yahudi menanyakan      kepada Rasul Allah Nabi Muhammad saw. tentang   roh. Hadits yang bersumber dari Ibnu  Jarir   yang telah   meriwayatkan  dari   Muhammad Ibnul  Musanna,  dari  Abdul   A'la,  dari   Daud, dari Ikrimah   yang mengatakan   bahwa   Ahli   Kitab   pernah bertanya   kepada  Nabiﷺ tentang Ruh, maka Allah menurunkan firman- Nya:  "Dan   mereka   bertanya   kepadamu   tentang   ruh.   (QS. Al- Isra,  [17:85]), hingga  akhir  ayat.  Lalu mereka    mengatakan, 

 "Kamu menduga bahwa tidaklah kami diberi pengetahuan kecuali sedikit,  padahal    kami  telah  diberi kitab Taurat,  dan  kitab Taurat  itu adalah hikmah." 

Mereka  bermaksud seperti apa yang disebutkan oleh firman- Nya: "Dan barang siapa yang diberi  hikmah, sungguh  telah  diberi kebajikan yang banyak".   (QS. Al- Baqarah,   [2:269]). Maka   Allah   menurunkan firman- Nya:    

"Dan seandainya pohon- pohon  di   bumi menjadi   pena  dan laut (menjadi  tinta) , ditambahkan kepadanya tujuh   laut   (lagi).  "   (QS. Luqman,   [31:27]),    hingga akhir ayat. Selanjutnya Ikrimah mengatakan  bahwa pengetahuan   yang   telah diberikan   kepada  kalian yang membuat kalian  diselamatkan oleh  Allah  dari neraka berkat  pengetahuan  itu. Maka  hal  itu   adalah merupakan pemberian yang banyak lagi baik,  tetapi  hal  itu menurut pengetahuan Allah dianggap sedikit. (3).

Kembali mengenai Nafs dalam bukunya "Mukhtasar Ar Ruh" Ibnu Qayyim Al Jawziyyah membaginya menjadi tiga macam Nafs yaitu:

  • Nafs Lawwaamah yaitu artinya adalah jiwa yang menyesal.
  • Nafs Ammaarah yaitu artinya jiwa yang menyuruh cenderung kepada perbuatan jahat
  • Nafs Muthma'innah yaitu artinya jiwa yang tenang

Untuk Nafsu Muthma'innah atau  jiwa yang tenang didasarkan pada dalil Al Quran surah Al Fajr ayat ke 27,

yaa ayyatuhan nafsul muthma'innah. 
"Hai jiwa yang tenang." (Q.S Al-Fajr [89] : 27). 

Adapun  apa yang dialami oleh  jiwa yang suci lagi tenang yang   selalu tetap   tunduk patuh kepada kebenaran, maka dikatakan kepadanya:

"Hai jiwa  yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu." (4)

Sebenarnya yang pasti Nafs itu hanya satu, namun ia memiliki beberapa sifat. Kemudian diberi nama ataupun sebutan sesuai dengan sifat yang melekat padanya. Terlepas dari semuanya akan hal tersebut diatas mengenai perbedaan antara Roh dan Nafs, maka secara hakikat bahwa keduanya adalah merupakan urusan Allah (Min Amri Robbi).

Huwallahu A'lam.,

Semoga bermanfaat., 

Guskur

Sumber referensi:

(1). Mukhtashar Ar Ruh il ibnu Qoyyim Al Jauziyyah, penerbit Bayt Al Afkar Ad Duwaliyah.
(2)  HR. Imam Abu Dawud (nomor 4399 dan 4401), At Tarmidzi (nomor 1423), An Nasa'i  VI (nomor 156), dan Ibnu Majah  (nomor 2041).

(3). Tafsir Ibnu Katsir.

(4). Tafsir Ringkas Kemenag RI 1990, Al Quran Per kata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun