Mohon tunggu...
Agus Salim Irsyadullah
Agus Salim Irsyadullah Mohon Tunggu... Freelancer - Lahir di Batang

Mahasiswa UIN Walisongo Semarang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mencari Celah dalam Hegemoni Amerika-Tiongkok

20 Januari 2020   22:25 Diperbarui: 20 Januari 2020   22:27 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak tahun 1945, Amerika Serikat berhasil tampil sebagai negara yang memiliki peran vital dalam hegemoni pasar Asia-Eropa. Kebijakan ekonomi makro, penguasaan senjata nuklir, dan sumber daya alam menjadi hal yang ditonjolkan oleh negara adidaya tersebut.

Hegemoni yang oleh M. Gunawan dalam disertasinya yang berjudul Kebangkitan Sosialis Demokrasi di Amerika Latin dengan Munculnya Hugochaves dan Evo Morales Serta Pengaruhnya Terhadap Hegemoni Amerika Serikat di Amerika Latin,(2018) menyebut, hegemoni merupakan bentuk penguasaan dalam kelompok tertentu dengan menggunakan kepemimpinan inntelektual dan moral secara konsesnsus.

Sebagai negara super power, Amerika tentu mempunyai kekuatan luar biasa baik dari segi ekonomi, sumber daya, maupun dalam hal senjata. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, dominasi Negeri Paman Sam ini nampaknya akan segera berakhir. Hal itu tak lepas dari munculnya Tiongkok sebagai kekuatan baru di abad-21 yang, menjadi ancaman bagi hegemoni Amerika Serikat.

Pasca 40 tahun reformasi, Tiongkok telah berubah menjadi salah satu great power di Asia dan dunia. Kebangkitan ini tumbuh berkat keberanian mereka dalam transformasi dan pembukaan diri terhadap investasi yang ingin masuk. Kebijakan pintu terbuka inilah yang kemudian menjadi langkah awal Tiongkok dalam mengganggu hegemoni Amerika dalam perekonomian dunia.

Selain itu, kebangkitan Tiongkok turut serta memaksa masyarakat dunia untuk mengakui bahwa kekuatan Tiongkok dalam bidang ekonomi dan politik menjadi sesuatu yang patut dipertimbangkan.

Melihat lawan dagangnya tumbuh menjadi raksasa ekonom baru, Amerika pun geram. Melalui Donald Trump, Amerika kemudian menerapkan beberapa kebijakan yang bisa dibilang kontroversial. Sebut saja, Kebijakan proteksionisme atau biasa disebut penalti pajak bagi perusahaan yang mengimpor lebih banyak ketimbang ekspor. Hal itu tentu saja berisiko menimbulkan perang dingin yang dapat menekan pertumbuhan ekonomi dunia.

Sebagai salah satu mitra dagang utama Amerika dan Tiongkok, Indonesia kini terjebak dalam medan peperangan. Meskipun tidak terlibat secara langsung, namun badai peperangan keduanya telah menimbulkan dampak yang signifikan bagi Indonesia.

Posisi Indonesia

Seperti kita tahu, perang dagang membuat Amerika dan Tiongkok terpaksa mengurangi beberapa produk yang bahan bakunya dari Indonesia. Untuk menghadapi konflik ini maka, Indonesia pun harus mencari negara lain sebagai mitra dagang baru jika tak ingin kehilangan pasar.

Di sisi lain, Indonesia juga harus berhadapan dengan Uni Eropa dalam persaingan pasar global. Ekspor minyak sawit yang selama ini rutin dilakukan Indonesia harus terganjal oleh dokumen Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II (RED II), sebuah peraturan keluaran Uni Eropa.

Dalam peraturan itu, dikatakan bahwa sebanyak 28 negara Uni Eropa sepakat memasukkan minyak sawit sebagai kategori Deforestasi atau bentuk perusakan hutan akibat banyaknya pembukaan lahan baru untuk pengembangan sawit.

Perlu diketahui, minyak sawit yang notabene berasal dari pohon sawit merupakan energi terbarukan pengganti bahan bakar minyak dan fosil yang diperkirakan akan habis dalam waktu 30 tahun mendatang. Kalau itu habis, dunia akan berperang berebut sumber energi.

Sebagai salah satu negara yang menjadi pasar perdagangan Amerika-Tiongkok, tentu hal ini bisa dimanfaatkan Indonesia untuk mencari celah dalam perebutan pasar dagang internasional ini.

Seperti kita tahu, Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia. Dengan lahan 12 juta hektar, Indonesia dan Malaysia menguasai 90 persen pasar sawit di dunia. 

Jika hal semacam ini bisa dimanfaatkan dengan baik, bukan tidak mungkin suatu saat nanti Indonesia akan menjadi ancaman besar negara-negara maju, tak ubahnya Amerika dan Tiongkok.

Karena itu seluruh dunia sekarang telah berlomba-lomba untuk menciptakan energi terbarukan supaya mereka tetap hidup tidak bergantung dari energi fosil. Dan salah satu sumber terbarukan yang menjadi primadona adalah minyak sawit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun