Mohon tunggu...
Agus Salim Irsyadullah
Agus Salim Irsyadullah Mohon Tunggu... Freelancer - Lahir di Batang

Mahasiswa UIN Walisongo Semarang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menguatkan Kembali Akar Pendidikan Karakter Anak

8 November 2019   17:24 Diperbarui: 8 November 2019   17:31 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

23 Oktober lalu, Presiden Joko Widodo secara resmi mengumumkan susunan kabinet baru dengan nama Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara. Namun, dari sekian nama yang menduduki kursi kabinet tersebut, terselip beberapa nama baru yang membuat masyarakat terkejut dan antusias menyambut kinerja baru mereka. Tak terkecuali Nadiem Makarim yang didapuk oleh Jokowi sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) periode 2019-2024.

Seperti kita tahu, Nadiem sendiri bukan sosok dengan berlatar belakang dunia pendidikan melainkan, tokoh yang telah lama bergelut dalam dunia industri digital. Masyarakat pun dibuat harap-harap cemas menanti gebrakan mantan bos gojek tersebut.

Akan tetapi, dibalik santernya isu digitalisasi pendidikan yang membumbung tinggi, masyarakat lebih mencemaskan terkait penguatan pendidikan karakter yang, selama ini masih dianggap lemah dan belum bersifat universal. Padahal, pemerintah telah mengeluarkan Permendikbud No. 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), namun dalam praktiknya masih saja terjadi kekerasan, bullying, dan perilaku amortal yang dilanggar di kalangan Sekolah Dasar.

Persoalan pendidikan karakter memang masih menjadi tantangan besar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Dalam hal ini, peran guru, lingkungan sekitar dan keluarga menjadi penting dalam membentuk karakter mengingat, tingkat perkembangan psikologi anak pada rentang usia sekolah adalah saat dimana anak mengalami masa pubertas.

Pada masa pubertas (usia 8-17 tahun) otak mengalami perubahan struktur yang sangat signifikan dimana bagian otak yang memproses emosi-seperti rasa marah -berkembang lebih dulu dari pada bagian otak yang melakukan "penilaian"-- mengendalikan emosi yang intens (Santrock, 2012: 408).

Menanggapi permasalahan-permasalahan yang dihadapi generasi muda saat ini, maka mahasiswa UIN Walisongo yang sedang melaksanakan program pengabdian kepada masyarakat (KKN) di posko 33 Desa Kemawi, Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang misalnya, mereka dengan semangat juang tinggi memberikan pengajaran terkait pentingnya menerapkan pendidikan karakter sejak dini.

Adanya pendidikan karakter ini diharapkan bisa menjadi dasar siswa dalam menghadapi masa depannya di era modern dimana, semua informasi dengan mudahnya dapat diperoleh. Guru, pihak sekolah, bahkan orang tua tidak akan selalu bisa terus menerus mendampingi tumbuh kembang siswa.

Maka dari itu, pengenalan dasar yang kuat bisa melatih siswa untuk mengendalikan dirinya sendiri berdasarkan pendidikan karakter yang sudah tertanam di dalam dirinya.

Mengapa sejak dini?

Teori Piaget menjelaskan bahwa perkembangan siswa usia sekolah dasar ada pada tahap operasi konkret dimana, siswa mulai memandang dunia secara objektif sehingga pandangan mulai bergeser dari aspek satu ke aspek yang lain secara relfektif dan serentak. Di tahap ini, siswa juga mulai berpikir secara operasional dan menggunakan cara pikir tersebut untuk mengklasifikasikan apa saja yang ada di sekitarnya (Santrock 2004: 55).

Selain itu, tahap perkembangan ini sangat memungkinkan bagi guru untuk mulai memberikan ilmu pengetahuan dan pendidikan-pendikan yang diharapkan mampu membentuk kepribadian dan karakter siswa sesuai dengan target yang diinginkan.

Akan tetapi, tidak mudah bagi seorang pengajar untuk memberikan pendidikan karakter terhadap siswanya. Bukan tanpa alasan, nalar mereka masih dalam taraf pembelajaran sehingga, seorang pengajar harus bekerja ekstra keras untuk memoles karakter siswanya. Hal ini tentu akan berdampak positif ketika mereka sudah meninggalkan bangku sekolah dasar dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

Tanggungjawab bersama

Persoalan terkait pendidikan karakter tidak bisa jika hanya mengandalkan satu pihak saja. Harus ada kerja sama seluruh elemen untuk bisa membentuk kepribadian seorang anak. Ki Hajar Dewantara sendiri mengklasifikasikan 3 pilar pendidikan anak, yaitu keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat. Di ketiga tempat itulah karakter anak dibangun.

Berdasarkan teori Tabularasa, anak yang baru lahir itu ibarat kertas putih yang bisa diwarnai apa saja. Ayat Alquran pun menjelaskan bahwa anak yang baru lahir, akan menjadi Islam, Nasrani, Majusi, atau Yahudi tergantung pendidikan yang akan diberikan.

Ketiga komponen inilah yang akan membangun karakter anak. Karakter anak juga akan terbentuk oleh komponen yang paling dominan. Jika pendidikan di dalam keluarga begitu dominan terbentuk dalam karakter anak, maka pengaruh lingkungan dan lembaga pendidikan kurang memberikan efek yang besar. Begitu juga bila pengaruh lingkungan yang kuat, maka pendidikan dari keluarga dan lembaga pendidikan akan sedikit saja pengaruhnya.

Jadi, tidak ada lagi alasan untuk memvonis karakter anak berdasarkan satu pihak saja. Orangtua sebagai pengajar di rumah, guru sebagai pengajar di sekolah dan lingkungan sekitar tempat tinggal juga harus mempunyai sinergitas yang sama.

    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun