SEJAK dahulu kala, Bekasi sudah menjadi pusaran peradaban. Dari zaman kerajaan Tarumanagara, revolusi pergolakan, kemerdekaan hingga kekinian. Poros peradaban itu berkembang seiring perubahan perkotaan menggeliat maju. Dari fakta sejarah itu menunjukan Kota Bekasi sebagai cikal bakal peradaban, pintu gerbang perjuangan (tapal batas ke Batavia), pintu gerbang Jawa Barat, pintu gerbang Ibukota (penyangga ibukota). Layak Kota Bekasi sebagai miniatur Indonesia mini dalam keberagaman sebagai Kota Patriot Gerbang Peradaban.
Dari literatur yang ada, pusaran peradaban Bekasi, dimulai pada abad ke-5 Masehi dengan berdirinya Kerajaan Tarumanagara. Cikal bakal peradaban pemerintahan ini lebih tua sebelum berdirirnya kerajaan-kerajan besar di Pulau Jawa dan kerajaan di Jawa Barat seperti Pajajaran, Pakuan, Galuh. Bahkan Tarumanagara sudah berdiri sebagai ciri pemerintahan yang memiliki sistem modern. Terbukti pada zaman itu sudah dibangun sungai buatan sebagai jalur transportasi ke laut dan irigasi. Rajadhirja Purnawarman menamai dua kali buatan itu Kali Candrabhaga (Kali Bekasi) dan Kali Gomati. Tarumanagara sebagai puncak peradaban Buni yang berlangsung sejak 2.000 tahun silam.
Kota Bekasi sebagai daerah transit komuter juga terjadi saat Kerajaan Mataram dibawah kepemimpinan Raja Sultan Agung pada tahun 1628 dan 1630 menyerbu VOC di Batavia. Bekasi sebagai gerbang penyerbuan ke Jakarta dijadikan barak penempatan pasukan. Saat penyerbuan itu gagal banyak pasukan Mataram yang tidak kembali dan beranak pinak di Bekasi. Pusaran peradaban terkait patriotisme itu sudah dimulai sejak tahun 1628.
Saat era revolusi pergolakan, tapal batas Bekasi tumbuh subur sebagai daerah perlawanan. Pada era pra kemerdekaan para patriot Bekasi ikut andil dalam proses pengawalan penculikan Soekarno-Hatta dari Jakarta ke Rengasdengklok Karawang 16 Agustus 1945. Proklamasi 17 Agustus, patriot Bekasi yang hadir Madnuin Hasibuan dan Yakub Gani. Dari berbagai perjuangan itu Bekasi melahirkan Pahlawan Nasional KH. Noer Alie.
Sebagai daerah tapal batas perjuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman pernah mengirim pasukan dari divisi Diponegoro dan Siliwangi mempertanhan Bekasi pada 13 Juni 1946. Banyak bunga patriot yang gugur hingga penyair Chairil Anwar membuat sajak Krawang – Bekasi, Ismail Marzuki mencitakan lagu Melati di Tapal Batas dan sastrawan Pramoedya Ananta Toer menulis novel Di Tepi Kali Bekasi.
Peradaban yang terus berkembang dan dinamis akhirnya Kota Bekasi pada 10 Maret 1997 berpisah dari Kabupaten Bekasi. Saat ini Kota Bekasi sudah dipimpin 7 walikota dari H. Soejono hingga H. Rahmat Effendi. Poros peradaban itu artinya dimulai sejak zaman Tarumanagara hingga sekarang. Toleransi dan perbauran itu juga ditanam sejak dahulu kala, tercermin dari keberagaman beragama seperti di Kampung Sawah.
Dari nama –nama patriot dan pemimpin Bekasi yang muncul mencerminkan perbauran budaya berbagai suku bangsa dari Sabang sampai Merauke. Peradaban kehidupan, peradaban perjuangan, beragama, bermasyarakat, peradaban pengelolaan pemerintahan berdinamika seiring dengan kemajuan zaman di era teknologi informasi.
CITY BRANDING
Kota Bekasi yang makin danta menuju peradaban baru banyak diminati kalangan investor. Kota Bekasi menjelma menjadi kota metropolitan sedang dengan pesatnya pembangunan perkotaan termasuk kawasan hunian, kawasan bisnis, kawasan perdagangan,kawasan perbelanjaan, apartemen dan mal-mal. Pesatnya perkembangan perkotaan tidak bisa dibendung. Dengan penduduk 2,6 juta, pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pendidikan, kesehatan, sarana-prasarana kemasyarakatan menjadi timpang.
Untuk menjawab itu senua, Walikota Bekasi, Rahmat Effendi melakukan berbagai gebrakan dan terobosan berani. Mulai dari mewujudkan Visi Bekasi Maju, Sejahtera dan Ihsan, menawarkan konsep smart city Kota Bekasi Maju hingga rencana pembangunan landmark Kota Bekasi di 3 titik gerbang masuk kota.
Kemajuan yang pesat mau tidak mau akan menimbulkan ekses dampak negatif seperti kemacetan, pengangguran, kemiskinan perkotaan dan berbagai pelayanan publik. Klimaknya Kota Bekasi pernah dibully para neticen karena dampak kemacetan yang parah. Persepsi negatif itu ditambah, Kota Bekasi sebagai kota sampah, kota terjorok dan kota tiada bentuk.