Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Konsep Smart City Kota Bekasi Bukan Mimpi

18 Februari 2016   18:32 Diperbarui: 18 Februari 2016   18:51 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="foto bersama "][/caption]Memasuki tahun 2016 berbagai mega proyek ditargetkan akan selesai, seperti pembangunan tahap II Stadion Internasional Patriot Purnawarman. Menurut rencana stadion tersebut akan digunakan sebagai helatan PON mendatang . Pembangunan Jalan tol Becakayu juga sudah sampai di daerah Caman dan akan melingkar mengelilingi Kota Bekasi. Pembangunan kereta ringan pengganti proyek monorail dari Jakarta melalui Kota Bekasi juga akan dibangun, diperkirakan selesai tahun 2018.

Pembangunan berbagai mega proyek bergerak menuju kota modern dan dengan fasilitas yang menjanjikan. Namun, dibalik itu semua permukiman kumuh cermin kemiskinan perkotaan masih saja menjadi pemangdangan nyata. Rumah-rumah penduduk tidak layak huni tetap menghiasi di tengah megahnya apartemen pencakar langit. Permukiman di pingir-pinggir kali terus menjamur meski terus digusur, Ibaratnya sarana prasarana perkotaan hanya terlihat pada radius 1-2 Km. Begitu masuk ke permukiman banyak ditemui cermin kemiskinan dan tidak tertibnya masyarakat menghuni tanah negara. Semua itu berbalik dengan konsep smart city yang digadang-gadang dan perlu penanganan serius.

Belum lama ini untuk mewujudkan smart city, Pemkot Bekasi bekerjasama dengan PT. Telkom untuk penyediaan sarana dan parsaranya. WiFi gratis menurut rencana akan dipasang di berbagai sudut kota termasuk CCTV. Pantauan kegiatan perkotaan akan memakai kendali kontrol secara digital.

Dengan rata-rata pertumbuhan penduduk Kota Bekasi mencapai empat persen per tahun, cukup membuat kewalahan sekitar 13 ribu Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk melayani sekitar 2,8 juta penduduk Kota Bekasi. Sementara smart city tidak hanya sebatas kecanggihan teknologi, tapi juga harus melakukan perbaikan lingkungan, energi, sumber daya manusia, kesehatan, pendidikan, sosial, infrastruktur, dan lainnya.

Untuk mewujudkan menjadi smart city Pemerintah Kota Bekasi, terus berupaya menjadikan Kota Bekasi sebagai smart city. Upaya ke arah itu antara lain dengan membuka 1.000 titik wifi gratis di seluruh wilayah setempat hingga 2018. Saat ini juga tengah mengintensifkan pengadaan taman di wilayah setempat dengan memanfaatkan ruang terbuka hijau.

Kota Bekasi terus berusaha keras menuju kota yang asri, manusiawi, tertata menjadi hunian yang aman dan nyaman. Namun, kendala yang hingga kini belum terpecahkan yaitu minimnya utilitas perkotaan, belum terkordinasi secara baik antara pembangunan yang satu dengan sarana-prasarana lainnya. Berbagai pembangunan jalan, pendistrian, trotoar, saluran (drainase) sering rusak karena aksi gali-menggali dan digali terus secara bebas untuk pipa gas, pipa PDAM, kabel Telkom dan kabel PLN.
Secara kasat mata, warga masyarakat dipetontonkan aksi gali-menggali yang membuat dampak serius kemacetan, kesemrawutan dan mau tidak mau merusak semua pembangunan yang sudah dilakukan. Jangankan untuk mengembalikan pada kondisi semula, pengurukan yang dilakukan secara asal-asalan malah merugikan pengguna jalan karena banyak mobil yang amblas, jalan cor rigit yang terbelah dan dampak bekas pekerjaan penggalian yang tidak dibereskan seperti semula.

Belum lama ini Kota Bekasi menerima penghargaan penghargaan Smart Region dalam Indonesia Smart Nation Award (ISNA), dalam kategori kota besar yang memiliki penduduk 800 ribu lebih. Indeks kematangan Smart City tertinggi diraih Kota Surabaya, disusul Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Bekasi, dan Kota Depok.

Founder dan Chairman Citiasia Cahyana Ahmadjayadi menjelaskan, indeks kematangan Smart City dihitung dari dua indeks penyusun, yaitu indeks kesiapan menuju daerah pintar (smart readiness index) dan indeks kinerja daerah pintar (smart region index). Dalam smart readiness index, terdapat lima dimensi yang diukur, yaitu sumber daya alam, struktur, infrastruktur, suprastruktur dan kultur sebuah daerah. Sedangkan pada smart region index, terdapat enam dimesi yang diukur yaitu dimensi smart governance, smart branding, smart living, smart society, dan smart environment.

Karena kondisi perkotaan yang kurang nyaman dan biang kemacetan, Kota Bekasi sempat di-bully para netizen beberapa waktu lalu. Kasus bully itu jelas bagian dari kekecewaan publik masyarakat Bekasi dan di luar Bekasi terhadap ‘Wajah’ Kota Bekasi yang jauh dari harapan sebagai kota metropolitan sedang dan penyangga ibukota DKI Jakarta. Bully di media sosial bagian dari otokritik dadakan untuk sindiran (satire) tidak maksimalnya infrastruktur perkotaan.

Dalam sindiran-sindiran yang bertebaran di media sosial itu masih mengindentifikasikan bahwa Bekasi, merupakan biang kemacetan, infrastruktur perkotaan yang tidak maksimal, pengelolaan sampah perkotaan yang semrawut, menjamurnya mal-apartemen yang tidak terkendali dan identitas perkotaan yang belum jelas. Ada sindiran, ‘lagi musim apa di Kota Bekasi, musim bongkar jembatan gak kelar-kelar’.

Terkait tata kota yang masih semrawut memang perlu pembenahan dan pembatasan pembangunan mal dan apartemen. Identitas perkotaan Bekasi sebagai kota perdangan dan jasa, kota Patriot dan kota Tapal Batas perjuangan perlu direalisasikan dan disosilisasikan secara masif.

Lain lagi terkait wajah tata kota yang hingga kini belum mencerminkan kota metropolitan sedang. Estetika, landmark, ciri khas perkotaan belum juga terlihat. Begitu juga pendistrian, taman –taman perkotaan, ruang terbuka hijau (RTH) dan fasilitas pendukungnya.

Ada beberapa faktor yang tidak sebanding lurus yang dirasakan masyarakat menjadi kendala untuk menuju kota Smart City yaitu; 1. Maraknya investasi belum tentu menyerap tenaga kerja lokal (program 50 ribu lapangan kerja). 2. Menjamurnya mal dan apartermen, condominium, tidak berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat (Bekasi Maju-Sejahtera). 3. Dampak tata kota yang pro kapitalis tidak dibarengi penataan kota yang pro lingkungan akan menunggu dampak banjir. 4. Pemasukan PAD dari perijinan mal-apartemen tidak sebanding dengan dana penanggulangan banjir dan proyek banjir. 5. Budaya Bekasi yang merupakan kearifan lokal, akan tergerus sikap komsumeristis dengan menjamurnya mal dan apartemen.

Perlu gebrakan progesif yang berani menjawab semua keraguan-raguan dengan mensosialisasikan secara masif, membuat city branding, merealisasikan landmark identitas Kota Bekasi, mendorong infrastruktru sebagai penunjang kota jasa dan perdagangan, membangun ruang terbuka hijau-taman kota sebagai ciri nyaman tempat hunian, mempromosikan budaya-kesenian lokal ke tingkat nasional-internasional, dan membangun citra positif sebagai daerah yang nyaman, aman untuk menuju Bekasi Maju-Sejahtera dan Ihsan.

Konsep smart city atau kota pintar tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kota Bekasi yang sudah mempunyai planing smart city tinggal diwujudkan, karena planing bagian dari keberhasilan itu sendiri. Namun, kendala selalu datang karena tingkat kesinambungan program yang selalu tidak kosisten. Setiap dekade kepemimpinan selalu membuat program baru dan tidak meneruskan program sebelumnya meskipun program tersebut bagus serta cerdas. Tentu kota pintar juga harus berbanding lurus dengan konsensus pemikiran warga perkotaan yang pintar dan cerdas.

Dalam konsepnya, kota pintar/smart city (atau bisa disebut dengan smarter city) menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan, mengurangi biaya dan konsumsi sumber daya. Sektor kunci yang dicakup oleh kota pintar meliputi transportasi, energi, kesehatan, air bersih, dan manajemen limbah. Kota pintar harus dapat menjawab tantangan lokal dan global dengan lebih cepat.

Kota Bekasi sebagai kota komuter sedang pasti bermasalah akan polusi udara dan kemacetan sehingga perlu dipasang sensor elektronik dan analisis data untuk mengatasinya. Sebagai kota hunian padat penduduk dan pembangunan yang sangat pesat Kota Bekasi kurang ramah lingkungan sehingga perlu dibangun lebih banyak ruang terbuka hijau dan sarana lainnya. Identitas kota tidak sekedar pintar namun juga asri dan hijau, nyaman dan aman.

Melihat berbagai pendekatan kota untuk menuju kota pintar, rasanya tidak ada syarat pasti supaya sebuah kota bisa menjadi kota pintar. Sebagian memilih membangun pusat kontrol, sedangkan yang lain membangun jaringan fasilitas berteknologi tinggi. Intinya, sampai pada saat itu terjadi, hendaknya kita turut berkontribusi untuk mempercepat implementasi konsep ini di kota di mana kita tinggal. Dengan demikian, kota kita dapat makin baik dalam menjawab tantangan dalam memenuhi kebutuhan warganya.

[caption caption="ruangan kontrol Smart City Pemkot Bekasi"]

[/caption]

Tentunya semua harus diprogram selaras dengan partisipasi aktif warga kota, stakeholders pelaku pembangunan jangan asal-asalan membangun saja dan kesinambungan program secara berjenjang harus terus-menerus meski berganti pucuk pimpinan daerah. Sehingga perencanaan yang matang tidak bisa di-implementasikan karena ego saat pergantian pimpinan daerah. Bukan hasil yang didapatkan justru malah ‘gagal perencanaan’.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun