30 Juni 2016 lalu ketika ibu nyai Siti Fatimah, istri Gus Mus, meninggal dunia, maka itu juga menjadi kesedihan umat Islam Indonesia. Ribuan netizen dan ucapan bela sungkawa mendalam yang terus mengalir melalui medsos barangkali bisa sedikit memberikan gambaran, walau sudah pasti apa yang disebut kehilangan itu secara subyektif, sepenuhnya pasti tak tergantikan.
Gus Mus adalah tokoh bangsa. Meski belum pernah sekalipun saya bertemu dengannya, karya-karya dan segala sumbangsih yang sudah ia lakukan untuk Indonesia dan kemanusiaan secara umum menempatkan beliau sebagai salah satu idola saya.
Psikologi ini yang kemudian membuat saya juga ikut merasakan kehilangan ibu nyai Fatma Mustofa. Tak cukup al Fatihah, dengan semisal apapun kebaikan yang bisa dicatat sebagai kebaikan yang membuahkan pahala untuk saya, saya ingin menggunakan itu untuk mengamini apapun yang Gus Mus mohonkan untuk kebaikan almarhumah ibu nyai Fatma Mustofa saat ini.
Bi barokatin ummul kitab.....al Fatihah
Lalu tiba-tiba saya terbayang Rasulullah, bagaimana ketika kanjeng ibu saidatina Khadijah meninggal dunia?
Beliau, kanjeng ibu saidatina Khadijah, telah menyaksikan seluruh kejadian yang menimpa suaminya al-Amin ash-Shiddiq yang mana beliau senantiasa membersamai Rasulullah dalam kondisi apapun, dalam ujian dan beragam musibah dengan kesabaran. Semakin bertambah berat ujian semakin bertambahlah kesabaran dan kekuatannya. Beliau adalah orang yang dengan tegar tetap berdiri di samping kanjeng nabi, tatkala beliau bersumpah dengan sumpah yang belum pernah dikenal orang sebelumnya : “Demi Allah! seandainya mereka mampu meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan dakwah ini, maka sekali-kali aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau aku yang binasa karenannya”.
Begitulah kanjeng ibu saidatina Khadijah telah mengambil suaminya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai contoh yang paling agung dan tanda yang paling nyata tentang keteguhan diatas iman.
Shollu ala Muhammad...
Diusia 65 tahun, tiga tahun sebelum hijrah, kanjeng ibu saidatina Khadijah meninggal. Itu adalah ‘Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah, setelah sebelumnya paman Abu Thalib yang dikasihinya juga meninggal.
Didalam melalui saat-saat sakarat ditemani suami tercinta, Rasulullah SAW. Dalam keadaan kesakitan yang amat itu, dia mengungkapkan kata-kata yang menyebabkan Jibril juga teruja. Katanya, ”Wahai rasul utusan Allah, tiada lagi harta dan hal lainnya yang bersamaku untuk aku sumbangkan demi dakwah. Andai selepas kematianku, tulang-tulangku mampu ditukar dengan dinar dan dirham, maka gunakanlah tulang-tulangku demi kepentingan dakwah yang panjang ini”.