Mohon tunggu...
Gusblero Free
Gusblero Free Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Freelance

Ketika semua informasi tak beda Fiksi, hanya Kita menjadi Kisah Nyata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bismillah, Kanti Asma Allah

31 Mei 2015   13:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:25 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_386498" align="aligncenter" width="480" caption=""][/caption]


1403 tahun Saka (1481 Masehi), bertepatan dengan perayaan Merti Desa, Raden Sahid berjalan beriringan dengan para pendeta menuju sebuah bukit. Dari kejauhan sudah menampak layur melambai-lambai tertiup angin di atas hamparan tanah datar yang cukup luas.


Sama dengan para pendeta, Raden Sahid juga membawa anglo yang dipegang dengan kedua tangannya. Hanya pakaian yang dikenakan yang membedakan. Raden Sahid mewakili masyarakat desa Sumber, jadi dia berpakaian adat masyarakat setempat.


Tiba di lokasi yang ditentukan, empat pendeta dengan seragamnya yang khas, satu tetua adat, kepala desa, kepala dusun, dan Raden Sahid bersegera melakukan ritualnya. Membentuk lingkaran dengan delapan titik penjuru angin, semuanya bersiap menyalakan dupa di atas anglo yang ada.


Saat itu matahari sudah terlihat sinarnya, namun pokok trembesi masih terasa basah bila dipegang. Angin tiba-tiba bertiup tidak bersahabat. Kedelapan tokoh yang tampil memimpin upacara kini harus lebih memfokuskan diri agar perayaan Merti Desa bisa berjalan lancar seperti biasa.


Bau dupa dari kayu harum cendana yang berasal dari anglo Raden Sahid mengepul yang pertama. Dan itu satu-satunya. Ketujuh peserta lainnya yang terus mencoba membuat api ternyata mejen, tak membuahkan nyala. Sekarang semua orang terkesiap. Mereka kini memandangi arah angin yang bertiup bagai puting beliung tak tentu arahnya.


Raden Sahid bergerak perlahan, ia berjalan menuju tempat kepala dusun yang paling dekat dengannya. Sejenak keduanya berbicara berbisik untuk tidak mengganggu konsentrasi yang lainnya. Lalu Raden Sahid mengambil dua batu api yang ada, ia mengucapkan bismillah, kanti Asma Allah. tak berapa lama api mengepul, nyala.


Berurutan kemudian Raden Sahid menyalakan anglo-anglo lainnya. Ia mengucapkan doa yang sangat mudah dihapal dan ditirukan oleh lainnya. Bismillah, kanti Asma Allah, dan asap pun mengeluarkan api, nyala!


***


Begitulah ajakan menyembah kepada Allah selalu dilakukan Raden Sahid dengan pelajaran yang mengesankan. Ia tidak pernah menunjukkan sikap antipati terhadap kepercayaan lama yang sudah mendarah daging dan menjadi adat istiadat masyarakat yang ada. Ia nderek saja, mengikuti apa maunya tradisi sebelumnya. Lalu bila satu persoalan timbul dan terlihat buntu, ia baru tampil dengan caranya yang khas, sopan dan santun. Maka begitulah kemudian agama Islam melalui tangannya bisa hinggap dan dijiwai masyarakat secara lentur.


Raden Sahid dulu-dulunya juga pernah melakukan tirakat seperti para sepuh Jawa lainnya. Ia ajur-ajer lebur dalam tradisi Jawa yang komplit. Tapa pendhem, muutu qabla an tamuutu, mati sebelum mati, di tepi Kali Lusi dan lalu dibangkitkan dalam upacara para wali di Ngampel Gading Blora. Lebih jauh dan lebih luas lagi Raden Sahid juga pernah melakukan ritual ngidang, ngeli, ngglandang seperti pengemis hina. Menembus pedalaman dusun Pengisikan yang isinya lelembut dari tanah tak bertuan, ia lalu sampai di sebuah desa di wilayah pedalaman yang kemudian mengenalkan namanya sebagai Sunan Kalijaga.


Seperti air yang mengalir, pertama-tama ia akan melihat dan mengikuti apa maunya kearifan lokal yang menjadi tradisi setempat. Lalu dengan kehendak-Nya Allah, mengajarkan tuntunan agama dengan cara yang sangat mudah diikuti para pengikutnya.


Ia memiliki metode yang sangat mempesona dan tidak terburu-buru mematahkan akar keyakinan yang ada. Ia dengan sangat sempurna bisa mengarahkan masyarakat yang tadinya tidak memiliki kejelasan sama sekali hendak menyembah batu, kayu, candi, langit, bumi atau lainnya. Ia adalah pembimbing masyarakat Jawa dalam mengenal guru jati, pemahaman pada diri sendiri, Tuhan yang ada di hati tiap makhluk.


Sing sapa reka bisa nglakoni,

Amutih lawan anawaha,

Patang puluh dina wae

Lan tangi wektu subuh,

Lan den sabar sakuring ati

Ing sa-Allah tinekan,

Sakarsanireku,

Tumrap sanak rajatinira

Saking sawabe ngelmu pangiket kami,

Duk aneng kalijaga.


Barangsiapa bisa menjalani

Melakukan mutih dan minum air tawar

Empat puluh hari saja,

Dan bangun waktu subuh,

Dan sabar berhati syukur,

Kepada Tuhan terlaksanalah

Sekehendakmu,

Pada saudara keluargamu,

Dari sawab ngelmu yang kami ikat,

waktu berada di Kalijaga.


Raden Sahid, Kanjeng Sunan Kalijaga, sebagai seorang mubaligh, ia hadir dalam rekam jejak tradisi masyarakat bukan untuk menggenapi tahayul. Seperti pada tradisi Merti Desa yang ia ikut mengawal di dalamnya. Ia mengajarkan satu hal pokok tentang esensi keimanan. Berdoa atau menyebut Asma Allah itu bukan hanya sebatas pada saat kita ingin mengerjakan sesuatu, mengharapkan sesuatu. Namun Asma Allah juga perlu dihadirkan pada saat kita ingin mengungkapkan rasa syukur.


Bismillah, kanti Asma Allah, ting..........nyala! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun