Mohon tunggu...
Gusblero Free
Gusblero Free Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Freelance

Ketika semua informasi tak beda Fiksi, hanya Kita menjadi Kisah Nyata

Selanjutnya

Tutup

Politik

Yunus dalam Peradaban Kita

12 Juli 2014   10:36 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:35 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada kegamangan yang tetap tidak terpecahkan untuk bisa mempercayai bahwa kita bisa percaya pada apa yang dikemukakan orang saat ini, sebetapa pun manisnya. Rumusan kemanusiaan kita saat ini hanyalah menerima begitu apa yang bisa kita dapatkan dihari ini, karena jelas bayangan tentang esok bisa saja melenceng dari jutaan rumus kepastian. Hari esok, dimasa sekarang ini, menjadi bermakna sesuatu yang sangat jauhnya, yang bahkan dalam etika bisnis paling profesional tidak bisa diterima logika, hingga dianggap tidak pernah ada.

Kalau Anda misalnya mempunyai tunggakan utang di bank, sampai akhirnya jatuh vonis rumah Anda harus disita, maka Anda harus bersiap-siap menerima nasib yang sudah pasti, rumah Anda akan disita dan lalu disegel bank. Dan rumus itu berlaku pasti, hari ini ya hari ini, hari Selasa yang tidak bisa ditunda menjadi hari Rabu, tanggal tujuh yang tidak bisa diundur tanggal delapan.

Presiden memutuskan kenaikan harga BBM, kalau itu akan terjadi, maka itu harus hari ini. Sekelompok mahasiswa berkumpul lalu berencana untuk melakukan demo menentang rancangan kebijakan, jelas juga hanya bisa dilakukan hari ini, karena esok menjadi kemungkinan yang tidak terduga.

Kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara menjurus menjadi sebuah siklus yang liar, dan kita makin menuju ke bibir jurang yang kian mengkhawatirkan, jika apa yang kita percayai sebagai masa depan adalah apapun bentuk demokrasi yang ’dimaui’ para pemimpin di negari kita saat ini.

Betapa mengerikan, sebuah negeri yang berkali-kali mencoba merangkak dan bangun, namun selalu kembali harus terengah-engah mengatasi dirinya sendiri ditengah telikungan hajat kebutuhan bangsa yang sangat mahal harganya. Dan harga-harga itulah yang tengah kita sekatkan di tenggorokan sebagai warga dari sebuah bangsa. Pilpres telah usai, namun ternyata itu tak selesai hanya dengan rakyat telah memilih pemimpin dengan mencoblosnya. Semua orang masih bisa bersuara, segala kemungkinan masih ada, termasuk hilang bertambahnya sejumlah suara. Bagaimana mungkin sebuah Negara yang memiliki segala kedaulatan penuh untuk mengambil sikap dan memutuskan atas apa yang ada dan terjadi di wilayahnya sendiri justru mewanti-wanti timbulnya kecurangan yang akan mungkin terjadi. Apakah itu berarti Negara paham betul dirinya tengah digerogoti penyakit yang kronis, namun tak berdaya bahkan ketika situasinya harus melakukan amputasi?

Demokrasi di negeri kita saat ini hanya berhasil mendudukkan seseorang pada jabatan, namun negara tidak pernah diuntungkan. Demokrasi kita adalah sandiwara perang yang sangat mahal ongkosnya. Sandiwara perang yang digelar dalam perang sandiwara yang begitu meyakinkannya sehingga terkadang rakyat harus baku hantam untuk menentukan siapa aktor terbaiknya.

Demokrasi kita adalah sesuatu yang parah. Demokrasi yang cukup memberikan peluang kepada aktor panggung politik untuk sekadar mengais simpati melalui media. Tak satu pun aktor mau membenamkan kakinya dalam pekat lumpur lapindo misalnya, tak satu pun aktor mau memberikan kesaksian dalam persoalan hukum dan lainnya. Satu dasawarsa lebih paska reformasi kita tengah memasuki periode Yunus yang melompat dari tanah airnya sendiri lalu tunggang-langgang memasuki perahu. Dan kita jelas akan tahu kisah akhirnya kalau kita tidak juga segera tersadar.

Segenap kitab kebajikan harus menjadi rujukan, bukan hanya dengan cara menawarkan perubahan. Kalau kita mempercayai takdir maka kita harus mencermati iktibar. Perahu kebangsaan kita tengah limbung dihantam ombak, dan seribu badai halilintar memborbardir tak kunjung hentinya. Adakah orang alim diantara kita bisa mencerahkan dengan pandangan melegakan di tengah kecamuk situasi orang hanya mau menang dan benarnya sendiri? Atau segalanya kita pasrahkan saja kepada Allah Sang Pemilik Kehidupan, dengan mubahalah nasional?

Betapa menjemukan hidup tertatih-tatih dalam mengejar ambisi. Kemenangan yang bertumpuk-tumpuk tak juga menghilangkan kedahagaan jiwa. Kebahagiaan tak pernah sempurna, karena nikmat berbagi tak pernah ada. Di dalam bumi yang bulat kita akan melihat wajah dunia yang terkotak-kotak, dan kian hari akan kian bertambah saja orang memikul beban karena kesalahan yang dilakukan orang lain.

Betapa memuakkan hidup yang dipenuhi tayangan gambar orang-orang frustrasi. Banyak orang melakukan kejahatan namun dengan pongahnya masih bisa bersikap jumawa bahwa mereka terlalu bersih untuk diadili. Indonesia saat ini adalah perahu dimana Yunus melarikan diri dari tanggung-jawab, namun tak satu pun dari kita mau belajar dari segenap kesalahan yang ada.

Lalu siapakah Yunus di negeri kita saat ini? Tanpa harus menunggu genap waktu dua windu berangkat dari era reformasi, yang konon banyak orang alim menengarai Indonesia akan sampai pada situasi tata tentrem karta raharja, rasa-rasanya Indonesia lebih bagus menenggelamkan diri dulu dari permukaan bumi ketimbang kita harus melakoni banyak hal-hal yang menyedihkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun