Ia berusaha tetap berkonsentrasi dengan pelajaran matematikanya ketika beberapa anak dari kelas tiga dan empat masuk ke kelasnya membuat gaduh dengan mainan bola kertasnya. Ia seakan tidak peduli dengan teriakan dan tawa lepas yang memekakkan telinga dari sepakbola kertas dalam kelasnya.
Sembari menulis angka-angka sesekali ia melihat kearahku, menatap wajahku dan seketika itu pula ia kembali menulis angka-angka di buku lusuhnya. Cara halus dengan mengajak main bola di luar kelas sampai pada “pengusiran” dari kelas sudah aku lakukan tetapi anak-anak dari kelas tiga dan empat yang jumlahnya tidak lebih dari hitungan jari tangan itu malah lebih “brutal” lagi. Hanya dia yang tetap fokus di mata pelajarannya sementara tawa dan teriakan menganggunya.
Selang berapa menit kemudian bel istirahat berbunyi. Seolah dengan komando anak-anak keluar dari kelas dan berhamburan ke toko di samping sekolah. Aku hanya melihat dia yang masih duduk di bangku sibuk dengan angka-angkanya.
“Adik masih belum selesai?” tanyaku mendekat ke sampingnya
“Belum mas masih kurang” singkat ia menjawab
“Gak apa dilanjutin nanti aja, kamu istirahat dulu itu teman-temanmu sudah jajan” pintaku sambil melihat pekerjaannya
“iya mas nanti saja” Ia menolak dengan senyuman kepadaku
Dari bangku di sampingnya aku melihat keluar. Anak-anak kelas tiga dan empat yang membuat gaduh itu sedang asyik bermain bola di lapangan depan sekolah. Kali ini dengan bola plastik warna biru yang terlihat lama dan usang. Sinar mentari jam sepuluh pagi tak mampu membuat berhenti bermain. Terlihat anak-anak itu semakin semangat mengiring dan menendang bola itu. Saking semangatnya seragam sekolahnya dilepas dan diletakkan di lantai.
“Sudah selesai mas” katanya memberitahuku
“Oke, kita keluar” pintaku
“Iya mas aku mau beli es” senyumnya mengembang