Mohon tunggu...
Sholahuddin
Sholahuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Pekerja Media

Laki-laki pencari Tuhan. Lahir di Boyolali, Jateng. Bekerja di sebuah penerbitan pers di Solo.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

UU Pers, "Lex Specialis" Setengah Hati

9 Januari 2019   12:04 Diperbarui: 11 Januari 2019   02:12 1044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
merdeka.com/luthfi rahman

Langkah Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fathur Rokhman yang melaporkan jurnalis serat.id Zakki Amali ke polisi kembali memantik perdebatan mengenai penyelesaian masalah pemberitaan, khususnya oleh mereka yang merasa dirugikan oleh pers.

Fathur Rokhma menempuh jalur pidana karena tidak terima terhadap laporan investigasi  Zakki di serat.id yang membahas dugaan sang rektor melakukan plagiasi (penjiplakan) karya ilmiah.

Kalangan jurnalis mendesak agar perselisihan yang terkait produk jurnalistik harus diselesaikan melalui mekanisme di Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, tidak melalui jalur pidana.

Kubu rektor berkukuh artikel karya Zakki Amali bukan produk jurnalistik karena serat.id hanya dianggap sebagai blog atau media sosial, bukan media yang terverifikasi Dewan Pers.

Sang Rektor menganggap wajar saja menempuh jalur pidana dengan tuduhan Zakki Amali melanggar pasal 27 ayat 3 UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pasal itu berbunyi "Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan /atau dokumen elektronik yang dimiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik". Dia merasa jadi korban, tercemarkan nama baiknya.  

Secara prinsip saya sependapat semua sengketa, perselisihan yang terkait dengan pemberitaan harus diurai sesuai mekanisme UU Pers, misalnya dengan hak jawab, hak koreksi atau penyelesaian via Dewan Pers.

Namun ada hal yang harus dipahami, tidak ada kaidah yang mengharuskan orang yang merasa dirugikan oleh pers harus menempuh melalui UU Pers. Tidak ada keharusan pula kepolisian menggunakan jalur UU Pers.

UU Pers Khusus

Bagaimanaun tuntutan agar setiap sengket pers diselesaikan melalui mekanisme UU Pers secara otomatis mendudukkan UU No 40/1999 ini sebagai lex specialis atau UU yang berlaku khusus.

Dengan aturan hukum khusus itu maka pelanggaran pidana terkait tugas jurnalistik bisa diselesaikan melalui UU tersebut. Persoalannya sejak awal UU ini tidak dirancang untuk menjadi lex specialis. Tidak aturan khusus soal itu.

Karena itu bila terjadi sengketa terkait pemberitaan masyarakat atau pihak yang dirugikan bisa menggunakan UU lain, seperti KUHP maupun UU ITE.  Dalam UU pers tidak mengatur, misalnya, kasus pencemaan nama baik, berita palsu, dan sebagainya. 

Di UU tentang Pers tidak mengatur persoalan yang terkait delik pers seperti di KUHP maupun UU ITE. UU Pers lebih banyak mengatur soal kehidupan pers secara umum.

Di UU itu hanya ada satu pasal yang ada ancaman hukuman, dalam hal ini pidana, yakni BAB VIII tentang Ketentuan Pidana. Pasal itu menyangkut ancaman tindakan orang yang menghalang-halangi wartawan yang tengah menjalankan tugas jurnalistik, serta sanksi hukum bagi perusahaan yang terkait pemberitaan dan opini yang melanggar norma-norma agama, rasa kesusilaan dan asas praduga tak bersalah, serta pers yang tidak melayani hak jawab serta larangan memuat iklan yang melanggaran ketentuan.

Kemudian perusahaan pers yang melanggaran ketentuan pendirian badan hukum serta tidak transparan dalam mencantumkan alamat, pengelola secara terbuka melalui media yang bersangkutan serta percetakan bagi penerbitan pers. 

UU Pers ini tidak memadai sebagai lex specialis. Menurut Sirikit Syah (2011), perlunya UU Pers dalam kasus sengketa media (media disputes), bukannya KUHP karena UU Pers dianggap lex specialis sebagai pernyataan itu dianggap tidak jujur kepada masyarakat.

Menurut dia, ada satu syarat aturan hukum dianggap khusus hanya bila ada pasal yang sama di dua aturan yang berbeda  (lex specialis dan lex generalis).

Sementara aturan tentang pencemaran tidak diatur dalam UU Pers, maka desakan agar kasus-kasus pencemaran nama baik, dst tidak dapat diselesaikan melalui UU ini. Publik atau objek berita bisa dirugikan karena tidak terakomodasi dalam UU itu.

Selama ini hanya ada nota kesepakatan antara Dewan Pers dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia agar setiap sengketa terkait pemberitaan diselesaikan melalui mekanisme UU Pers lebih dulu. MoU tersebut adalah No : 2/DP/MoU/II/2017 dan No : B/15/II/2017 tentang Koordinasi Dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan. 

MoU

Salah satu klausul dari MoU tersebut mengatakan setiap menerima laporan tindak pidana terkait tugas wartawan maka masalah tersebut maka penyeledikan polisi akan mengarahkan pihak yang berselisih utnuk melakuikan tahap-tahap mulai menggunakan hak jawab, hak koreksi serta pengaduan ke Dewan Pers maupun proses perdata.

Ini sesuai mekanisme di UU Pers. Bila pihak pengadu tidak bisa menerima, maka baru bisa menempuh jalur hukum lainnya, tapi dengan mengisi formulir pernyataan di atas kertas bermaterai.

Selain itu bila polisi menerima pengaduan terkait tindak pidana pers, maka hal itu akan dibahas bersama dengan Dewan Pers.

Hal ini untuk menguji apakah hal yang dipersoalkan itu merupakan pelanggaran kode etik jurnalistik atau pidana. Bila pelanggaran itu menyangkut pelanggaran pidana maka Dewan Pers akan menyerahkan kepada polisi melanjutkan proses hukumnya.

Tentu karena sifatnya hanya MoU, hal ini tidak mengikat kuat para pihak yang bersengketa maupun penegak hukum. Semua tetap ada peluang untuk menempuh jalur hukum lain, melalui pidana mesalnya.

Saya katakan, UU Pers ini adalah lex specialis setengah hati, malu-malu dengan berbagai pertimbangan tersebut di atas.

Karena tidak memadai maka satu-satunya cara agar semua persoalan pers diselesaikan melalui mekanis UU Pers adalah merevisi UU tersebut. UU Pers perlu disempurnakan untuk bisa menjadi lex specialis, dengan memuat pasal-pasal yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa pers. Baik penyelesaikan secara pidana maupun perdata.

Tentu langkah ini perlu proses, termasuk iktikad baik insan pers, pemerintah maupun DPR.  Tidak mudah dan membutuhkan waktu panjang, itu pasti.  

Langkah ini perlu segera diiniasi agar  insan pers benar-benar terlindungi secara secara pasti. Masyarakat pun memperoleh kepastian hukum saat bersengketa  dengan pers.

Dengan revisi itu maka kontroversi kasus antara Rektor Unnes dan jurnalis serat.id ini tidak bakal terulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun