Selain itu bila polisi menerima pengaduan terkait tindak pidana pers, maka hal itu akan dibahas bersama dengan Dewan Pers.
Hal ini untuk menguji apakah hal yang dipersoalkan itu merupakan pelanggaran kode etik jurnalistik atau pidana. Bila pelanggaran itu menyangkut pelanggaran pidana maka Dewan Pers akan menyerahkan kepada polisi melanjutkan proses hukumnya.
Tentu karena sifatnya hanya MoU, hal ini tidak mengikat kuat para pihak yang bersengketa maupun penegak hukum. Semua tetap ada peluang untuk menempuh jalur hukum lain, melalui pidana mesalnya.
Saya katakan, UU Pers ini adalah lex specialis setengah hati, malu-malu dengan berbagai pertimbangan tersebut di atas.
Karena tidak memadai maka satu-satunya cara agar semua persoalan pers diselesaikan melalui mekanis UU Pers adalah merevisi UU tersebut. UU Pers perlu disempurnakan untuk bisa menjadi lex specialis, dengan memuat pasal-pasal yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa pers. Baik penyelesaikan secara pidana maupun perdata.
Tentu langkah ini perlu proses, termasuk iktikad baik insan pers, pemerintah maupun DPR. Â Tidak mudah dan membutuhkan waktu panjang, itu pasti. Â
Langkah ini perlu segera diiniasi agar  insan pers benar-benar terlindungi secara secara pasti. Masyarakat pun memperoleh kepastian hukum saat bersengketa  dengan pers.
Dengan revisi itu maka kontroversi kasus antara Rektor Unnes dan jurnalis serat.id ini tidak bakal terulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H