Mohon tunggu...
Sholahuddin
Sholahuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Pekerja Media

Laki-laki pencari Tuhan. Lahir di Boyolali, Jateng. Bekerja di sebuah penerbitan pers di Solo.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ruang Publik dan Kualitas Demokrasi Kita

18 April 2018   11:17 Diperbarui: 18 April 2018   15:06 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membuat karya untuk berargumentasi bagiku penting agar sebuah isu yang menjadi konsumsi publik bisa mendidik kecerdasan publik. Kita mesti malu terhadap tokoh-tokoh klasik yang membuat buku sebagai media untuk beradu argumentasi. Filsuf Al-Ghozali mengkritik cara berpikir para filosof dengan menulis buku Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof). 

Argumentasi Al-Ghozali ini kemudian dibantah Ibn Shina melalui buku Tahafut Al Tahafut (Kerancuan atas Kerancuan) . Adu argumentasi dua tokoh filosof kelas dunia ini sangat menarik. Meski berbeda secara tajam dalam beberapa hal, mereka tidak saling mencaci. Kita mendapatkan banyak pencerahan. Yang lebih menggembirakan, kita bisa menikmati perdebatan klasik dua filosof berabad-abad silam itu hingga kini.

Saya merasa tidak mendapatkan apa-apa mengikuti berbagai perdebatan yang terus memanas dari hari ke hari. Kecuali rasa sumpek. Apalagi kalau perdebatan itu keluar dari mulut politikus. Saya abaikan saja. Wong mereka itu ngomong bergantung ke arah mana angin kepentingannya tertuju. Melontarkan isu bagi mereka sama saja melontarkan barang dagangan. Ya pedagang politiklah. Tak peduli bagaimana cara mereka berjualan. Yang penting jualannya laku. Tak jauh beda perilaku sebagian orang. Gaya berpikirnya bak politisi yang suka berspekulasi. 

Agaknya masih butuh jalan panjang untuk mendapatkan kualitas perdebatan di ruang publik. Toh sampai hari ini tidak ada tanda-tanda membaiknya kualitas dialektika kita. Dalam perspektif Habermas, ini menandakan kualitas demokrasi kita masih jauh dari ideal. 

Melihat situasi seperti ini, jalan terbaik bagi saya, ya  tidak perlu ikut masuk dalam perdebatan. Lebih enak melihat dari jauh sambil nyruput teh hangat, mau ke mana ujung perdebatan semua itu....

Solo, 18 April  2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun