Pada 1962 filsuf Jerman Jurgen Habermas telah mengingatkan kaitan antara demokrasi dengan ruang publik. Ruang publik dimaknai sebagai ruang bertemunya ide, pemikiran, gagasan, dalam suasana bebas dan rasional. Demokrasi yang baik, kata sang filsuf, sangat ditentukan bagaimana orang memanfaatkan ruang publik (public sphere) untuk berdialog secara cerdas dan rasional.
Pemaknaan yang apik dari Habermas ini perlu saya kemukakan sebagai pengingat betapa penting membangun diskusi yang sehat. Tema-tema yang menjadi bahan untuk berdialektika menjadi penanda penting kualitas intelektual dan demokrasi kita.
Hari-hari ini ruang publik nyaris selalu ada tema-tema baru yang menjadi bahan perbincangan, khususnya di dunia maya yang kini menjadi ruang publik baru. Suasana menjelang pesta demokrasi 2019 kian terasa menyebabkan setiap isu yang dibahas hampir pasti dikaitkan dengan kontestasi politik lima tahunan itu.
Di satu sisi perdebatan politik menjadi hal yang wajar dalam alam demokrasi, tapi di sisi lain ada yang juga mengkhawatirkan. Perdebatan yang menarik di ruang publik menuntut prasyarat-prasyarat tertentu, seperti menjaga keadaban publik, etika publik, menjaga daya nalar, kemampuan mengemukakan argumentasi secara sahih, dan sebagainya. Dengan demikian dialektika berlangsung dengan baik. Dalam pemaknaan saya, diskusi di ruang publik kita publik masih kering dengan hal-hal tersebut.Â
Coba Anda ketik kata-kata kunci di mesin pencari google : "partai Tuhan", "partai setan", "puisi konde", "kitab suci fiksi", Anda akan menemukan ribuan informasi yang membahas tema tersebut. Sekalipun tidak semua data di mesin pencari itu berkaitan dengan isu panas akhir-akhir ini, paling tidak menunjukkan kata kunci itu menjadi perbincangan luas. Itu hanya perbincangan yang bisa ditemukan mesin pencari. Saya yakin masih ada ribuan data sejenis yang diperbincangkan di berbagai kesempatan.Â
Satu hal yang perlu kita beri catatan, perdebatan tentang tema tersebut tidak menunjukkan suasana diskusi yang menyenangkan. Tema-tema yang dibahas juga tidak menunjukkan isu-isu penting dan strategis untuk kemajuan kehidupan kita. Publik lebih suka berbicara isu-isu sesaat ketimbang membincangkan hal-hal serius untuk kemajuan bangsa. Coba Anda pikirkan, apa untungnya kita bercelomet secara bertele-tele tentang "partai setan vs partai Tuhan"? apa pentingnya pula mericuhkan soal "kitab suci fiksi"? Sungguh melelahkan.Â
Kita ribut berdebat, saling serang, tapi hakekatnya tidak mendapatkan apa-apa. Kita tidak menemukan sintesa atas dialektika tak bermutu ini. Â Dialog dengan adu argumentasi dan data jarang kita temukan.Â
Saling Serang
Saya lebih senang apabila beberapa pihak yang berbeda pandangan membuat sebuah karya tulis yang mengemukakan gagasan secara argumentatif, runtut dan sistematis. Dengan cara ini publik akan mendapatkan informasi berharga. Rocky Gerung sebagai pelontar ide tentang kitab suci fiksi (tapi bukan fiktif) bisa membuat artikel (kalau perlu buku) yang didasari oleh landasan-landasan teori dan riset yang kuat.Â
Sebagai ilmuwan, saya perpikir positif, Anda punya landasan teori sebelum mengemukakan itu di forum. Tulislah saja tuan. Saya rindu argumentasi-argumentasi Anda. Pun demikian bagi yang tidak sepakat. Tulis argumentasi Anda melalui karya yang bisa dipertanggungjawabkan. Â
Untuk Prof. Amien Rais. Anda guru besar ilmu politik sekaligus politikus. Perpaduan kompetensi yang (mestinya) bisa melahirkan sosok politikus sekaligus negarawan. Sesuatu yang ideal. Jarang lho tokoh politik yang juga guru besar politik seperti Anda. Coba Bapak bisa buat karya tulis terkait yang isu yang Anda lontarkan. Biar publik mengetahui dasar pemikiran secara utuh. Dengan demikian isu yang Anda lontarkan itu tidak menjadi liar seperti saat ini.Â
Membuat karya untuk berargumentasi bagiku penting agar sebuah isu yang menjadi konsumsi publik bisa mendidik kecerdasan publik. Kita mesti malu terhadap tokoh-tokoh klasik yang membuat buku sebagai media untuk beradu argumentasi. Filsuf Al-Ghozali mengkritik cara berpikir para filosof dengan menulis buku Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof).Â
Argumentasi Al-Ghozali ini kemudian dibantah Ibn Shina melalui buku Tahafut Al Tahafut (Kerancuan atas Kerancuan) . Adu argumentasi dua tokoh filosof kelas dunia ini sangat menarik. Meski berbeda secara tajam dalam beberapa hal, mereka tidak saling mencaci. Kita mendapatkan banyak pencerahan. Yang lebih menggembirakan, kita bisa menikmati perdebatan klasik dua filosof berabad-abad silam itu hingga kini.
Saya merasa tidak mendapatkan apa-apa mengikuti berbagai perdebatan yang terus memanas dari hari ke hari. Kecuali rasa sumpek. Apalagi kalau perdebatan itu keluar dari mulut politikus. Saya abaikan saja. Wong mereka itu ngomong bergantung ke arah mana angin kepentingannya tertuju. Melontarkan isu bagi mereka sama saja melontarkan barang dagangan. Ya pedagang politiklah. Tak peduli bagaimana cara mereka berjualan. Yang penting jualannya laku. Tak jauh beda perilaku sebagian orang. Gaya berpikirnya bak politisi yang suka berspekulasi.Â
Agaknya masih butuh jalan panjang untuk mendapatkan kualitas perdebatan di ruang publik. Toh sampai hari ini tidak ada tanda-tanda membaiknya kualitas dialektika kita. Dalam perspektif Habermas, ini menandakan kualitas demokrasi kita masih jauh dari ideal.Â
Melihat situasi seperti ini, jalan terbaik bagi saya, ya  tidak perlu ikut masuk dalam perdebatan. Lebih enak melihat dari jauh sambil nyruput teh hangat, mau ke mana ujung perdebatan semua itu....
Solo, 18 April  2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H