Viralnya kasus selebgram yang mengalami KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) oleh suminya kontan membuka mata publik bahwa perempuan masih menjadi pihak yang rentan mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk.
Warganet segera mengutuk perbuatan biadab si suami yang bahkan tak segan menendang bayinya. Pukulan diluncurkan seolah sang istri sangat bersalah sehingga patut dihukum.
Faktanya, justru suaminyalah yang telah berselingkuh selama sekian tahun. Selama itu pula si selebgram menahan rasa sakit fisik dan deraan emosi akibat manipulasi suami dan terutama demi alasan anak.
Bentuk-bentuk KDRT
Karena penasaran dengan isu ini, saya pun mengikuti Instagram Live yang digelar oleh Cak Kaji, yaitu komunitas Kompasianer Jatim. Dihelat Sabtu malam selama kurang lebih satu jam, acara ini lumayan membuka wawasan.
Apalagi IG Live kali ini menghadirkan seorang narasumber yang kompetn, yaitu Zaitun Taher. Beliau adalah eorang advokat sekaligus pengurus bidang PPA (perlindungan perempuan dan anak) DPC PERADI SBY. Jadi sudah sering mendampingi kasus KDRT yang menimpa perempuan.
Menurut penuturan Bu Zai, panggilan akrabnya, KDRT tidak hanya berupa kekerasan fisik. Beberapa bentuk KDRT yang wajib diwaspadai antara lain kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran.Â
Saya cukup kaget karena dalam rumah tangga bisa juga terjadi pemerkosaan kendati itu dilakukan suami terhadap istrinya karena ada unsur pemaksaan.Â
Namun, selama mendampingi korban KDRT, Bu Zai mengaku kekerasan seksual termasuk paling jarang dilaporkan. Pertimbangannya masalah seksual dianggap sebagai tabu untuk diceritakan. Istri malu dan merasa tidak enak meskipun ia didera kecemasan dan intimidasi.
Padahal kekerasan verbal saat istri sedang 'libur' itu pun termasuk KDRT yang jika dipendam akan berbahaya.
Alasan korban enggan melapor
Bukan hanya karena malu lantaran sesuatu dianggap tabu, perempuan korban KDRT kerap enggan melaporkan kasus kekerasan dilatari setidaknya tiga faktor.
Alasan pertama, sebab ketakutan; mungkin karena intimidasi suaminya yang manipulatif dan berpotensi mengulang tindak kekerasan tersebut.Â
Ada pula suami abusive yang melancarkan ancaman sehingga istrinya tak berkutik selain meredam kesal dan ketakutan akut.
"Kalau kamu berani macam-macam, berani lapor atau cerita keluargamu, nanti kuginiin ya. Sekarang cuma kamu yang kena, nanti keluargamu ikut kena juga. Aku hancurin keluargamu!"
Bu Zaitun geram, menirukan ancaman seorang suami terhadap istrinya yang pernah mengadu padanya. Â Jika dibiarkan tanpa tindakan, maka istri lambat lain akan kehilangan jati dirinya. Kepercayaan dirinya akan pupus, dan itu berbahaya menurut Bu zai. Â
Alasan kedua kenapa korban KDRT enggan melapor adalah karena ketiadaan support system yang bisa melindungi atau setidaknya mendukung kondisinya.Â
Tak jarang korban dilanda kebingungan karena tidak menemukan tempat bersandar atau sekadar meluapkan emosi akibat siksaan pasangan.Â
Bahkan saat bercerita kepada keluarga besarnya pun, perempuan bukannya didukung atau dipeluk melainkan diminta bersabar karena menganggap KDRT itu sebentuk ujian dalam berumah tangga.
"Bukan ya. Itu salah! itu sudah tindakan kriminal. Termasuk tindakan pidana," kata Bu Zai lantang saat mendengar ada komentar semacam itu. KDRT tak boleh dinormalisasi.
Alasan ketiga, korban KDRT enggan melapor karena merasa tidak punya kemandirian ekonomi. Jika dicerikan, misalnya, ia khawatir akan kehilangan dukungan finansial dari sang suami.Â
Lebih-lebih kalau sudah punya anak yang akan ikut dia, perpisahan akan menjadi masalah yang memperburuk keadaan. Demikian bayangan mereka.
Solusinya kemandirian
Maka sebagai solusinya, perempuan harus berdaya melalui kemandirian, baik secara emosi maupun ekonomi. Apalagi di era digital seperti sekarang Bu Zai meyakini perempuan semakin pintar. Mereka paham how to survive dengan meraup peluang.Â
Peluang dapat cuan terbuka lebar berkat ekonomi digital karena jualan produk tanpa perlu punya toko fisik, bisa dikerjakan dari rumah.
Bu Zai mengingatkan bahwa perempuan harus berani mengambil keputusan terutama jika mengalami perundungan atau KDRT dari pasangan.
Jangan menunggu babak belur, istilahnya, baru berani 'melawan'. Harus belajar berdaya dengan melawan intimidasi dan manipulasi suami pelaku kekerasan. Kalau dibiarkan, sifat manipulatif itu akan mengekang dan membuat perempuan sekadar menerima diperlakukan bagaimana pun.Â
Jika sulit menemukan lingkaran terdekat untuk speak up, silakan menghubungi unit perlindungan perempuan dan anak di daerah masing-masing. Untuk wilayah Jatim, ada nomor kontak yang bisa duhubungi: Komnas Anak Jatim 0813 3130 4008.
Bisa pula mengontak Layanan Sapa sebagai berikut. Saatnya perempuan berdaya dan terbebas dari aniaya. Jika perlakuan kasar tak lagi bisa ditoleransi, jangan pendam sendiri. Laporkan ke pihak terkait!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H