Bukan hanya karena malu lantaran sesuatu dianggap tabu, perempuan korban KDRT kerap enggan melaporkan kasus kekerasan dilatari setidaknya tiga faktor.
Alasan pertama, sebab ketakutan; mungkin karena intimidasi suaminya yang manipulatif dan berpotensi mengulang tindak kekerasan tersebut.Â
Ada pula suami abusive yang melancarkan ancaman sehingga istrinya tak berkutik selain meredam kesal dan ketakutan akut.
"Kalau kamu berani macam-macam, berani lapor atau cerita keluargamu, nanti kuginiin ya. Sekarang cuma kamu yang kena, nanti keluargamu ikut kena juga. Aku hancurin keluargamu!"
Bu Zaitun geram, menirukan ancaman seorang suami terhadap istrinya yang pernah mengadu padanya. Â Jika dibiarkan tanpa tindakan, maka istri lambat lain akan kehilangan jati dirinya. Kepercayaan dirinya akan pupus, dan itu berbahaya menurut Bu zai. Â
Alasan kedua kenapa korban KDRT enggan melapor adalah karena ketiadaan support system yang bisa melindungi atau setidaknya mendukung kondisinya.Â
Tak jarang korban dilanda kebingungan karena tidak menemukan tempat bersandar atau sekadar meluapkan emosi akibat siksaan pasangan.Â
Bahkan saat bercerita kepada keluarga besarnya pun, perempuan bukannya didukung atau dipeluk melainkan diminta bersabar karena menganggap KDRT itu sebentuk ujian dalam berumah tangga.
"Bukan ya. Itu salah! itu sudah tindakan kriminal. Termasuk tindakan pidana," kata Bu Zai lantang saat mendengar ada komentar semacam itu. KDRT tak boleh dinormalisasi.
Alasan ketiga, korban KDRT enggan melapor karena merasa tidak punya kemandirian ekonomi. Jika dicerikan, misalnya, ia khawatir akan kehilangan dukungan finansial dari sang suami.Â