Mohon tunggu...
Syabar Suwardiman
Syabar Suwardiman Mohon Tunggu... Guru - Bekerjalah dengan sepenuh hatimu

Saya Guru di BBS, lulusan Antrop UNPAD tinggal di Bogor. Mari berbagi pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kalian Saja yang Divaksin, Aku Tidak

29 Januari 2021   17:01 Diperbarui: 29 Januari 2021   17:16 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anti Vaksin_Dokumen Kompas.com

Kalian saja yang divaksin, aku tidak. Itu bukan kalimat untuk sebuah diskusi vaksin itu wajib atau pilihan.  Itu adalah ucapan kakak ipar perempuan saya yang baru memasuki usia pensiun. Bukan penolakan. "Logikanya kalau anak-anak sehat, lingkungan juga sehat, ya Ibu tidak perlu divaksin."  Demikian yang kakak ipar saya ucapkan.

Ketika kita divaksinasi, berarti bukan kita saja yang dilindungi, tetapi orang orang yang kita cintai juga ikut kita lindungi. Itulah kekebalan kelompok atau herd Immunity. Ini pengertian tepatnya: kekebalan kelompok atau kekebalan kawanan adalah suatu bentuk perlindungan tidak langsung dari penyakit menular yang terjadi ketika sebagian besar populasi menjadi kebal terhadap infeksi, baik melalui infeksi sebelumnya atau vaksinasi, sehingga individu yang tidak kebal ikut terlindungi.

Kesadaran untuk divaksin jauh lebih penting sehingga tidak lagi menjadi diskursus wajib atau pilihan.  Kesadaran bahwa ketika kita divaksin sebenarnya adalah sebuah bentuk kesukarelaan agar kondisi segera pulih.

Dalam tulisan ini penulis tidak akan mengulang siapa saja yang boleh atau tidak untuk divaksin. Hal itu sudah banyak disampaikan bahkan melalui berbagai grup WA dan sosialisasi yang dengan gencar dilakukan oleh pemerintah.

Mengapa Orang Ragu untuk Divaksin? 

Inilah yang harus dicari dulu penyebabnya. Sebab survei yang dilakukan WHO dan UNICEF antara tahun 2015-2017 ternyata 90% negara ragu terhadap program vaksinasi.  Padahal survei itu dilaksanakan sebelum terjadinya pandemi Covid-19 (Kompas.com).

Generasi tahun 1970-an tentu merasakan betul bagaimana sulitnya melaksanakan vaksin campak.  Saya teringat ketika SD, pada saat ada program massal vaksinasi campak banyak teman teman sekolah memilih tidak sekolah. Padahal vaksin campak sudah masuk ke Indonesia sejak tahun 1963, waktu yang cukup panjang ternyata tidak cukup menyadarkan masyarakat, apalagi saat itu untuk penyampaian informasi hanya melalui radio.   Pemilik televisi masih terbatas, pembaca koran apalagi.

Pengadaan vaksin untuk melawan pandemi Covid-19 dirasakan belum memadai baik dari sisi pengujian maupun efektivitasnya.  Apalagi di dalam berbagai pemberitaan efektivitas Vaksin Sinovac hanya 50% - 60%, artinya ada dua hal yang meragukan sisi pengujian dan dan dari efektivitas kegunaan.

Kalau dipilah, secara medis diragukan karena biasanya untuk menghasilkan vaksin telah teruji dulu secara komprehensif.  Secara keagamaan dari sisi kehalalannya.  Dari sisi psikologis, tingkat kepercayaan masyarakat untuk melawan kelompok anti vaksin.  Dari sisi sosiologis dan antropologis, bagaimana harus mematahkan keraguan kelompok yang anti vaksinasi.

Pendekatan Non-Farmakologi

Banyak kisah betapa sulitnya mengubah perilaku masyarakat, meskipun secara kajian menguntungkan mereka.  Hal ini berkaitan dengan aturan budaya dan sosial yang berlaku di masyarakat setempat.

Tahun 80-an akhir betapa sulitnya mengubah perilaku masyarakat di daerah Banten yang masih terpencil untuk menggunakan MCK (mandi, cuci, kakus) yang dibangun pemerintah karena terbiasa menggunakan fasilitas sungai.

Pagi-pagi mereka sudah ramai menuju sungai untuk melaksanakan ritual pagi. Buang air besar berjejer, sambil ngobrol dan sebagian sambil merokok.  Ibu-ibu dibantu anak gadisnya mencuci pakaian dan alat rumah tangga. Nah ketika dibangun MCK yang bersih, banyak yang terbengkalai, ternyata salah satu alasannya sepi, tidak seramai di sungai. Kegiatan be-a-be, bisa sambil ngobrol tentang apa saja. Sementara desain MCK standar biasa, tertutup antar bagian.

Para ahli Antropologi dan Sosiologi  memberikan rekomendasi agar desain MCK memberi ruang sehingga keakraban pagi hari seperti di sungai tidak hilang.  Sementara dari ahli lingkungan pentingnya menjaga kebersihan sungai, sederhananya semakin ada di bagian hilir maka menjadi bagian masyarakat yang dirugikan.  Tokoh agama pentingnya menjaga kebersihan, sebagai bagian keimanan mereka.

Dalam hal vaksinasi tentu tantangannya lebih berat, menyangkut nyawa manusia dan langsung berkaitan dengan individu.  Pendekatan untuk vaksin diterima dan dipaksakan sebagai sebagai upaya mencegah virus corona, yang hanya melalui pendekatan ilmu pengobatan, di tengah simpang siur informasi tentu bukan satu-satunya pendekatan untuk membuka hati masyarakat agar mau divaksin.  Secara hakekat tentu perlu pendekatan disiplin ilmu lain, atau kita sebut pendekatan non-farmakologi.  Seperti pada kasus MCK, tidak hanya pendekatan bidang kesehatan, tetapi perlu pendekatan berbagai disiplin ilmu lainnya.

Begitulah, manusia adalah makhluk multi dimensi, tidak bisa didekati dengan hanya satu dimensi, misal hukuman denda bagi yang tidak mau divaksin, kecuali di negara yang menganut totaliter, mungkin bahkan ancamannya dihukum mati jika tidak mau divaksin.  Namun harus diakui itu tidak memanusiakan manusia.

Tantangan Program Vaksinasi

Tantangan terberat adalah melawan kelompok anti vaksin dan kelompok yang masih ragu. Kelompok peragu bisa ketarik ke yang pro atau ke yang anti.  Betapa banyak hoaks berseliweran tentang vaksin ini.  Bagi penulis ini tidak terlepas dari kejadian-kejadian sebelum pandemi ini melanda dunia.  Setidaknya ada dua ketakutan utama, pertama bagian dari perang biologis, kedua konspirasi yang jauh lebih dahsyat yaitu kelompok penguasa di dunia yang ingin mengurangi populasi manusia.

Perang biologi, ketika terjadi penyebaran flu burung H5N1, kita mengetahui bersama penolakan Menteri Kesehatan waktu itu, Siti Fadilah Supari, yang menolak memberikan sampel virus flu burung Indonesia ke pihak luar negeri, salah satu alasannya, jika sampel virus dikirim ke luar negeri, bisa menjadi bumerang dan dipergunakan untuk senjata biologi. 

“Kalau saya kirim untuk menjadi senjata biologi gimana," kata Menkes saat bedah buku miliknya yang berjudul "Saatnya Dunia Berubah. Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung" di Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (news.detik.com).

Dengan asumsi perang biologis, maka vaksin yang dikembangkan pun dalam benak masyarakat yang anti vaksin, adalah justru bagian yang memperparah keadaan, apalagi pengadaan dan kecepatan vaksinnya demikian cepat, dibanding pengembangan vaksin-vaksin lainnya yang minimal membutuhkan satu dekade sebelum digunakan kepada masyarakat.

Konspirasi mengurangi populasi manusia,  bagi yang sudah mempercayai teori konspirasi apapun bisa dihubungkan.  Silakan baca tulisan Pahrevi Mahardhika di Kompasiana “Penduduk Dunia (Seharusnya) 500 Juta Jiwa”.  Lalu Novelnya Dan Brown, “Inferno”, bercerita juga bagaimana mengurangi setengah dari populasi yang ada, melalui virus yang akan disebarkan melalui air di bawah tanah yang digambarkan berada di bekas waduk terbesar di Turki, tepatnya di Yerebatan Sarayi (Istana yang Tenggelam), salah tempat wisata yang ramai dikunjungi turis yang berkunjung ke Turki.  Semuanya mengarah kepada pengurangan populasi manusia? Benarkah?

Sampai- sampai seorang teman dekat saya mengatakan, pandemi sekarang seperti ada yang merancang dengan perencanaan yang sangat matang. Teman saya melanjutkan coba lihat keuntungan yang diraih  berbagai aplikasi daring, begitu pandemi terjadi hal-hal untuk mendukungnya seperti sudah disiapkan. Semua menjadi tergantung pada aplikasi. 

Faktor ketiga di luar kedua faktor ketakutan tadi, penyakit dan vaksin diciptakan oleh orang atau lembaga yang sama, atau semata-mata untuk kepentingan bisnis. Untuk menciptakan keuntungan dari penyakit yang ada, tidak murni lagi seperti vaksin-vaksin yang sebelumnya.  

Anggapan pada ketiga hal tadi akan terus berlangsung dengan masing-masing pihak mencari pembenaran dan argumennya masing-masing.  Anda di pihak mana?

Itulah tantangan terberat, ketika justru informasi dengan mudahnya kita dapatkan, semua membangun argumentasinya masing-masing, dan terjadilah perdebatan yang tiada ujung.

Kampanye Terbaik

Lepas dari semua keraguan itu, yang perlu terus dikampanyekan adalah bahwa vaksin yang sekarang sangat berguna.  Testimoni dari yang sudah divaksin sangat diperlukan untuk melawan berbagai keraguan tadi.  Perubahan untuk mengubah perilaku butuh waktu dan contoh.  Presiden Jokowi sudah menerima tantangan untuk disuntik duluan, lepas apakah anda pendukung atau bukan.  Beberapa pesohor juga sudah.  Belum ada berita kejadian yang menghebohkan akibat divaksin.  Selain berita Rafi Ahmad yang menghadiri sebuah pesta setelah menerima vaksin.  Namun bukan tentang dampak dari  vaksinnya.

Jadi kampanye yang harus dilakukan harus mengdepankan pendekatan yang humanis, seperti :

Vaksinasi adalah perlindungan bagi orang-orang yang kita sayangi, seperti yang disampaikan di awal tulisan.

Vaksinasi, mempercepat pemulihan kondisi normal, terutama kegiatan ekonomi sehingga masyarakat bisa segera bangkit.

Vaksinasi, membuat anak-anak kita ceria lagi karena bisa bersekolah dan bertemu dengan teman-temannya kembali dan banyak lagi yang bisa disampaikan.  Para Sosiolog dan Antropolog sangat berpengalaman dalam hal seperti ini.

Membangun kesadaran ini jauh lebih efektif untuk melawan kelompok yang masih ragu, sementara tugas para pemimpin negara adalah untuk membuktikan bahwa “saya telah mengambil resiko paling depan dengan divaksin duluan”.  Sehingga memuluskan kampanye berikutnya.

Itulah beberapa pemikiran penulis, semoga bermanfaat.

Salam sehat.

Sumber bacaan penunjang:

1. Wikipedia

2. Kompas

3. Kompas

4. Detik

5. Kukutubukuku

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun