Pendekatan Non-Farmakologi
Banyak kisah betapa sulitnya mengubah perilaku masyarakat, meskipun secara kajian menguntungkan mereka. Â Hal ini berkaitan dengan aturan budaya dan sosial yang berlaku di masyarakat setempat.
Tahun 80-an akhir betapa sulitnya mengubah perilaku masyarakat di daerah Banten yang masih terpencil untuk menggunakan MCK (mandi, cuci, kakus) yang dibangun pemerintah karena terbiasa menggunakan fasilitas sungai.
Pagi-pagi mereka sudah ramai menuju sungai untuk melaksanakan ritual pagi. Buang air besar berjejer, sambil ngobrol dan sebagian sambil merokok. Â Ibu-ibu dibantu anak gadisnya mencuci pakaian dan alat rumah tangga. Nah ketika dibangun MCK yang bersih, banyak yang terbengkalai, ternyata salah satu alasannya sepi, tidak seramai di sungai. Kegiatan be-a-be, bisa sambil ngobrol tentang apa saja. Sementara desain MCK standar biasa, tertutup antar bagian.
Para ahli Antropologi dan Sosiologi  memberikan rekomendasi agar desain MCK memberi ruang sehingga keakraban pagi hari seperti di sungai tidak hilang.  Sementara dari ahli lingkungan pentingnya menjaga kebersihan sungai, sederhananya semakin ada di bagian hilir maka menjadi bagian masyarakat yang dirugikan.  Tokoh agama pentingnya menjaga kebersihan, sebagai bagian keimanan mereka.
Dalam hal vaksinasi tentu tantangannya lebih berat, menyangkut nyawa manusia dan langsung berkaitan dengan individu. Â Pendekatan untuk vaksin diterima dan dipaksakan sebagai sebagai upaya mencegah virus corona, yang hanya melalui pendekatan ilmu pengobatan, di tengah simpang siur informasi tentu bukan satu-satunya pendekatan untuk membuka hati masyarakat agar mau divaksin. Â Secara hakekat tentu perlu pendekatan disiplin ilmu lain, atau kita sebut pendekatan non-farmakologi. Â Seperti pada kasus MCK, tidak hanya pendekatan bidang kesehatan, tetapi perlu pendekatan berbagai disiplin ilmu lainnya.
Begitulah, manusia adalah makhluk multi dimensi, tidak bisa didekati dengan hanya satu dimensi, misal hukuman denda bagi yang tidak mau divaksin, kecuali di negara yang menganut totaliter, mungkin bahkan ancamannya dihukum mati jika tidak mau divaksin. Â Namun harus diakui itu tidak memanusiakan manusia.
Tantangan Program Vaksinasi
Tantangan terberat adalah melawan kelompok anti vaksin dan kelompok yang masih ragu. Kelompok peragu bisa ketarik ke yang pro atau ke yang anti. Â Betapa banyak hoaks berseliweran tentang vaksin ini. Â Bagi penulis ini tidak terlepas dari kejadian-kejadian sebelum pandemi ini melanda dunia. Â Setidaknya ada dua ketakutan utama, pertama bagian dari perang biologis, kedua konspirasi yang jauh lebih dahsyat yaitu kelompok penguasa di dunia yang ingin mengurangi populasi manusia.
Perang biologi, ketika terjadi penyebaran flu burung H5N1, kita mengetahui bersama penolakan Menteri Kesehatan waktu itu, Siti Fadilah Supari, yang menolak memberikan sampel virus flu burung Indonesia ke pihak luar negeri, salah satu alasannya, jika sampel virus dikirim ke luar negeri, bisa menjadi bumerang dan dipergunakan untuk senjata biologi.Â
“Kalau saya kirim untuk menjadi senjata biologi gimana," kata Menkes saat bedah buku miliknya yang berjudul "Saatnya Dunia Berubah. Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung" di Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (news.detik.com).