Mohon tunggu...
Syabar Suwardiman
Syabar Suwardiman Mohon Tunggu... Guru - Bekerjalah dengan sepenuh hatimu

Saya Guru di BBS, lulusan Antrop UNPAD tinggal di Bogor. Mari berbagi pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Teman tapi Berbisnis

23 Januari 2021   12:33 Diperbarui: 23 Januari 2021   13:11 1258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Waspada Menjalin Bisnis dengan Teman (https://solusiukm.com)

Mengawali diskusi menjadikan teman sebagai rekan bisnis, pertama saya awali dulu dengan pernyataan filsuf Perancis Voltaire:

"Apabila kita bicara soal uang, maka semua orang sama agamanya".

Bisnis adalah berbicara keuntungan, berbicara uang, artinya uang akan menggeser pertemanan ketika berlangsung proses bisnis.

Pepatah lain mengatakan;  

"Jika ingin mengetahui watak seseorang lihatlah ketika berurusan uang".

Karena berurusan dengan uang dari awal harus sudah diikat dengan segala resikonya, termasuk pertaruhan pertemanan.

Kedua masyarakat Indonesia, kadang masih terjebak rasa paguyuban, padahal bisnis adalah patembayan.  Karena merasa guyub (akrab), sehingga sering lupa meningkatkan diri pada kontrak, ciri khas masyarakat patembayan.  Ingat bahwa bisnis tidak selalu menguntungkan, tetapi juga ada resiko kerugian. Kalau tidak siap dengan resiko, lebih baik bermain di tataran aman, misal di deposito.

Kita sering kecewa ketika berbisnis dengan teman karena percaya dan sering melupakan aspek bisnis adalah bisnis.  Sehingga jalinan pertemanan yang sudah lama, bisa rusak ketika memasuki  area bisnis.  Ketika ada teman datang mengajak berbisnis, rasa guyub bahwa tidak mungkin teman berkhianat, sering terjadi pada area ini.  Apalagi biasanya ketika mengajak berbisnis, prospek yang ditawarkan selalu yang manis-manisnya dulu.

Di sinilah terjadi banyak kekecewaan, ini dialami oleh teman dekat saya sendiri.  Tempat berbagi ketika saya mandeg dalam berinovasi di pendidikan.

Teman saya ini pernah divonis terkena penyakit hepatitis berat, harusnya dioperasi, diangkat dan digantikan hatinya (transplantasi hati).  Kemudian dia berobat secara herbal dan diberi ramuan tanaman-tanaman tertentu yang harus dia ramu sendiri.  Singkat cerita teman saya pulih, sembuh dari penyakitnya.

Terinspirasi itu, ia akhirnya meninggalkan pekerjaan dan terus berusaha mencoba memformulasikan herbal tadi, sehingga jika ada yang terkena penyakit seperti dirinya masyarakat tidak perlu meramu sendiri.  Cita-cita yang mulia, dan tentunya pandai membaca peluang.

Dengan segala ribetnya perijinan dia lakoni. Di tengah perjalanan proses pengurusan, ia dipertemukan dengan seorang mahasiswa yang dia jadikan anak angkat sekaligus teman untuk mengurus usaha merintis bisnis tadi. Ia memang suka mengumpulkan anak-anak muda/mahasiswa untuk belajar bersama-sama apa saja, terutama berkaitan dengan tanaman.

Bagi yang pernah mengurus ijin di negeri ini, ijin apapun percayalah ribet.  Teman saya bercerita, pada saat visitasi ada daftar periksa yang harus dipenuhi.  Ketika semua sudah dipenuhi sesuai visitasi pertama selalu  ada yang kurang pada visitasi berikutnya, terus saja begitu.   Di sinilah sebenarnya kejujuran dan transparansi pegawai pemerintah/pemberi ijin dipertaruhkan.  Namun begitu memakai konsultan yang diam-diam ditunjuk oleh mereka, blas lancar angine, eh perijinannya.

Kembali ke laptop. Singkat cerita ijin keluar, teman saya syukuran, membayangkan kerja kerasnya membuat formula itu terbayar dan bisa menjadi bekal untuk anak-anaknya yang masih panjang perjalanan sekolahnya.

Namun apa yang terjadi?

Ternyata diam-diam, dalam pengurusan ijin pada akhirnya menempatkan "anak angkatnya" sebagai direktur utama, dengan pembagian keuntungan yang jauh dari bayangan teman saya. Saking percayanya semua urusan diserahkan kepada "anaknya" tadi.

Dengan berat hati daripada tersakiti terus ketika berada dalam satu kongsi, teman saya melepaskan semua yang dirintisnya, padahal dia yang bekerja keras dari awal.

Apakah kemudian berhenti untuk menjadikan teman sebagai teman berbisnis?

Tidak semua rusak pertemanan karena bisnis. Ingat bagaimana Mark Zuckerberg berhasil membangun Facebook dengan teman teman kuliahnya.  Tentunya ada juga yang menyesal karena ketika diajak membangun Facebook, ada juga yang menolak. Hukum alam.  Alam barat memang sejak awal sudah dididik patembayan, jelas mana teman, dan area bisnis. Sehingga Facebook bisa besar seperti sekarang.

Pada kenyataannya ada yang berhasil menjadikan teman sebagai teman bisnis, seperti pada kasus Mark Zuckerberg saat membangun Facebook.  Meskipun saya lebih banyak mendengar yang kecewa ketika teman menjadi rekan bisnis, terutama yang saya dengar dari teman-teman dekat, di negeri ini.

Mari kita menggunakan teori analisa penyebab masalah, dalam rangka memilah persoalan. Dalam teori analisa penyebab masalah ada tiga alur pemikiran.

Personal (saya-bukan saya), individu dengan gaya berpikir 'saya' adalah individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang tidak berjalan semestinya. Misal dalam berbisnis dengan teman ia menyalahkan kegagalan itu pada dirinya.  Padahal ada hal-hal di luar dirinya, seperti tidak mempelajari dulu bisnis yang ditawarkan,  melihat teman seperti pada masa lalunya (yang baik saja), padahal saat menjalin bisnis, tentunya kita perlu cek dan ricek, seperti saat kita membuka rekening, selalu dikaitkan dengan data yang ada di Bank Indonesia.  Ada baiknya kita bertanya tentang teman.

Permanen (selalu-tidak selalu): individu yang pesimis cenderung berasumsi bahwa suatu kegagalan atau kejadian buruk akan terus berlangsung. Ketika dia mengalami kekecewaan berbisnis dengan teman maka dia akan berasumsi tidak aka nada lagi yang benar.  Sebaliknya individu yang optimis cenderung berpikir bahwa itu proses untuk mendapat kesempatan yang lebih baik.

Pervasive (semua-tidak semua): individu dengan gaya berpikir 'semua', melihat kemunduran atau kegagalan pada satu area kehidupan ikut menggagalkan area kehidupan lainnya. Karena gagal berbisnis dengan teman, ia cenderung menyalahkan semua kegagalan yang menimpa dirinya, ini sangat fatal.  Namun indiividu yang berpikir sebaliknya akan mampu memilah kegagalan yang dia alami.

Begitulah, agar kita lebih hati-hati yang utama dalam bisnis adalah semuanya harus hitam di atas putih, tidak semata-mata kepercayaan.

Teman adalah teman, tetapi bisnis adalah bisnis.

Salam sehat selalu.

Bacaan Penunjang:

Wikipedia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun