Jika kebetulan novel Korea yang saya baca kesemuanya berbahasa Indonesia itu berhubungan dengan film, dalam sudut pandang culture studies, itu dipengaruhi oleh budaya pop Korea yang disusun sistematis.Â
Budaya Korea ditanam di musik, film, dan sinema tv. Ketika tiga hal itu merebak, unsur-unsur budaya Korea yang lebih rinci ikut terbawa. Melalui mereka saya mengenal kimbap, takoyaki, ramyun, hanbook, Pulau Jeiju, dan tentu novel. Efeknya dalam prosa sangat terasa di laman Wattpad yang kini kebanjiran karya fanfic, contohnya Hell, I Married The Adolescent Aged 18.
Untuk memfasilitasi para penikmat baca yang juga penikmat budaya Korea, penerbit buku memanfaatkan celah itu. Qanita, lini penerbit Mizan, mengambil kesempatan dengan menerbitkan novel yang ada hubungannya dengan film. Selain Man Of Pure Love yang akan dibahas selanjutnya, novel-novel yang diterbitkan Mizan memiliki keterikatan dengan karya lain yang lebih populer sebelumnya.
Lalu penerbit Haru bergabung. Bedanya Haru tidak terpaku kepada novel ekranisasi mau pun diekranisasi. Ia menerbitkan novel yang hanya disesuaikan dengan kriteria mereka sendiri. Novel yang diterbitkan mereka memiliki karakter yang serupa, filmis. Baik dari Alur, tokoh, ketegangan (suspens), sudut pandang, maupun gaya bahasa terkesan sebagai sebuah film yang dituliskan. Karakteristik ini muncul juga di novel yang diterbitkan Qanita maupun yang ditulis Arum Fatmawati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H