Menyoal Nama
Jika kau memintaku menyebutkan nama penulis Korea, maka saya akan menjawab Park Ji Sung, Han Son Min, Oh In Kyun atau In Kyun Oh. Mungkin kau akan senang. Mungkin juga kau tidak mau ambil pusing. Sekali pun saya mengabsen nama pemain bola berasal Korea. Yang pertama gelandang energik yang besar di Manchaster United, yang kedua kini bermain di Totenham, dan nama terakhir merupakan pemain asing Asia milik Persib.
Mengetahui hal itu tentu kau bertanya lagi, apakah mereka menulis juga? Aku tidak tahu. Yang pasti mereka memilih untuk memaksa para wartawan menuliskan nama mereka dengan prestasinya yang membanggakan negara dan membuat menyesal para mantan karena telah meninggalkannya.
Ketidakmampuanku menyebutkan nama bukan didasari ketidaktahuan atau belum pernah membaca novel Korea. Di rak buku saya terselip beberapa prosa Korea. Kebanyakan darinya novel ekranisasi atau diekranisasi, novel yang mengadaptasi atau diadaptasi dari film. Di antaranya ada The Master Sun, My Girlfriend is Gumiho, Do Re Mi Fa So La Ti Do, Cool Guys Hot Ramen, Man Of Pure Love (tidak difilmkan) serta sebuah kumpulan cerpen terbitan 1996 Pertemuan; Kumpulan Cerpen Korea Selepas Perang terjemahan Maman S. Mahayana dan Teguh Imam Subarkah.
Sekali lagi jangan tanyakan siapa penulisnya. Menghafalnya sesulit mengingat wajah member boy/girlband. Belakangan ternyata ada satu girlband yang saya hafal nama sekaligus wajahnya tanpa ragu.Â
Berbeda dengan penulis serumpunnya, Jepang, yang namanya lekat di ingatan karena menyimpan imajinasi. Ryunosuke Akutagawa misalnya, cerpen---seperti Jaring Laba-laba, Kappa, dan Rashomon mengingatkanku pada cerita rakyat yang pendek, sabar, dan memuat moral melebihi jumlah kata-katanya sendiri. Kenzaburo Oe, Yasunari Kawabata, dan tentu saja Haruki Murakami. Di Tiongkok saya mengenal Mo Yan yang karyanya berdarah-darah melebihi adegan film Deadpool.
Tetapi bukan berarti selepas baca tidak ada yang tertinggal. Novel karya penulis Korea itu memang bukan karya adiluhung yang mencerahkan, mengusik nurani, dan menggerakkan selayaknya karya Amerika Latin. Mereka populer, bertema utama cinta, tokohnya antara Si Kaya dan Si Miskin ala Cinderella, dan gaya bahasanya cair (minim metafora).Â
Dalam konteks kepopuleran ini saya lebih menyukai Hell, I Married The Adolescent Aged 18 yang ditulis orang Indonesia, Arum Fatmawati. Sebagai novel fanfic penulis mampu menguasai medan lokasi dan budaya Korea sehingga pikiran, tindakan, dan ucapan Korea seutuhnya. Ditambah lagi karakter tokoh disesuaikan dengan bias sesungguhnya.
*Kesulitan menghafal nama itu dimanfaatkan pelatih sepak bola Korea Selatan di Piala Dunia 2018 Rusia. Dia sengaja mencantumkan tiga suku kata nama setiap pemain. Dalam sebuah wawancara ia mengatakan, semoga dengan hal itu para pemain Eropa lebih sibuk mengeja nama di punggung pemain ketimbang menjaganya. Han Son Min di Tottenham hanya mencantumkan Son di jerseynya.
Menyoal Gaya
Saya menyadari ketidakadilan saya dalam menulis ini. Saya yang miskin pengetahuan tentang sastra Korea menuliskannya seolah saya hafal betul tentangnya. Oleh karena itu tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai pembahasan sastra Korea utuh. Saya hanya memotret bacaan saya yang kebetulan ditulis oleh orang Korea dan berusaha menjabarkannya dan memberikan bandingannya dengan karya di Indonesia.
Jika kebetulan novel Korea yang saya baca kesemuanya berbahasa Indonesia itu berhubungan dengan film, dalam sudut pandang culture studies, itu dipengaruhi oleh budaya pop Korea yang disusun sistematis.Â
Budaya Korea ditanam di musik, film, dan sinema tv. Ketika tiga hal itu merebak, unsur-unsur budaya Korea yang lebih rinci ikut terbawa. Melalui mereka saya mengenal kimbap, takoyaki, ramyun, hanbook, Pulau Jeiju, dan tentu novel. Efeknya dalam prosa sangat terasa di laman Wattpad yang kini kebanjiran karya fanfic, contohnya Hell, I Married The Adolescent Aged 18.
Untuk memfasilitasi para penikmat baca yang juga penikmat budaya Korea, penerbit buku memanfaatkan celah itu. Qanita, lini penerbit Mizan, mengambil kesempatan dengan menerbitkan novel yang ada hubungannya dengan film. Selain Man Of Pure Love yang akan dibahas selanjutnya, novel-novel yang diterbitkan Mizan memiliki keterikatan dengan karya lain yang lebih populer sebelumnya.
Lalu penerbit Haru bergabung. Bedanya Haru tidak terpaku kepada novel ekranisasi mau pun diekranisasi. Ia menerbitkan novel yang hanya disesuaikan dengan kriteria mereka sendiri. Novel yang diterbitkan mereka memiliki karakter yang serupa, filmis. Baik dari Alur, tokoh, ketegangan (suspens), sudut pandang, maupun gaya bahasa terkesan sebagai sebuah film yang dituliskan. Karakteristik ini muncul juga di novel yang diterbitkan Qanita maupun yang ditulis Arum Fatmawati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H