Banyak orang bertanya-tanya, bagaimana bisa orang sekaliber Marwah Daud, lulusan S3 dari Amerika Serikat, mantan anggota DPR, anggota dewan pakar ICMI, bisa demikian percaya kepada Kanjeng Dimas sang ahli pengganda uang? Bagaimana kita menyaksikan bahwa hasil pendidikan tinggi dan ilmu agama ternyata tidak mampu menangkal kepercayaan terhadap ilmu klenik dan mistik yang sejatinya adalah tipuan murahan belaka?
Jika kita telaah bersama, yang menjadi elemen penting dalam kasus sikap orang seperti Marwah kepada Kanjeng Dimas atau penyanyi Reza Artamevia kepada Aa Gatot adalah kepercayaan. Tidak berjalannya nalar orang-orang ini karena sebelumnya mereka diyakinkan oleh orang-orang sekitarnya (agen), misalnya teman dekat, keluarga, atau orang-orang yang mereka percayai, yang mungkin juga menjadi korban percaya dari orang-orang terdekat mereka sendiri. Sugesti lingkungan berperan besar terhadap kepercayaan yang dibangun dan kultur komunal masyarakat kita mempercepat sebaran sugesti lingkungan. Boleh dibilang sugesti lingkungan ini bekerja layaknya virus dan membuat mereka yang terpapar menjadi lumpuh.
Sugesti lingkungan inilah yang menutup rasio atau sikap skeptis mereka. Ada perasaan yang membuat mereka nyaman, tidak sendirian, merasa jika salah berjamaah tidak terlalu memalukan daripada salah sendirian, dst. Mereka dibuat tidak lagi kritis karena semua orang di sekitarnya juga melakukan hal yang sama, percaya dan tidak mempertanyakan. Ada sebuah contoh video eksperimen sosial tentang hal ini yang membuktikan hipotesis bahwa orang tidak lagi merasa perlu mempertanyakan alasan kenapa sebuah kelompok melakukan hal yang tidak masuk akal, seperti berdiri tiap 5 menit di ruang tunggu dokter. Ketika ada orang baru yang datang dan mempertanyakan alasannya, dijawab bahwa semua orang melakukan itu dan dia sendiri tidak tahu kenapa.
*****
Proses yang mirip namun dengan cara sedikit berbeda juga terjadi di area agama/budaya, politik dan marketing. Dalam agama, kepercayaan kepada ajaran agama, termasuk dalam hal ini adalah kepercayaan terhadap hal yang ghaib (irrasional), diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi selama berabad-abad lamanya. Richard Dawkins (Delusional God) menjelaskan morfologi kepercayaan demikian dan memperkenalkan sebutan meme, yang bekerja layaknya DNA yang menyimpan informasi yang diturunkan secara biologis dari orang tua ke anak. Meme bekerja di lingkup sosial dimana informasi diteruskan ke generasi berikutnya dan membangun sesuatu yang kita sebut sebagai adat, budaya, kebiasaan dan tentu saja agama.Â
Dengan struktur yang ketat, orang awam akan cenderung lebih mudah percaya kepada kyai, ustadz, pendeta, dll (agen) karena sudah menjadi pengetahuan umum (meme) bahwa orang-orang tersebut adalah sumber informasi tentang kebaikan dan kebenaran ajaran agama. Jalan kepercayaan ini lebih mudah, aman dan nyaman. Tak perlu lagi kita melakukan 'soul searching' yang bikin capek, beresiko salah dan malah diganjar dosa. Salah-salah bisa dianggap murtad atau malah dituduh kafir, atheis, komunis bla-bla-bla.
Dalam politik, kita diyakinkan oleh agen-agen yang berkampanye sehingga tiba-tiba para pendukungnya merasa lebih mudah menemukan kelebihan tokoh politik pujaan daripada kelemahannya. Bahkan ketika janji kampanyenya tidak ditepati sekalipun, para pendukung tersebut bersedia memaafkan dan bahkan membela junjungannya. Tingkat kepercayaan pengikut dan pendukung tokoh-tokoh politik mungkin satu level di bawah tingkat kepercayaan kepada nabi.Â
Bahkan ada seorang wanita lulusan S3 UGM anggota tim kampanye pilpres KMP yang menyebut Prabowo sebagai titisan Allah. Miris kan? Politisi menjual ideologi, tapi ketika realitas berbicara, politisi bisa dibuat tidak berkutik. Citranya bisa hancur berkeping-keping. Menyadari kekuatan citra, para politisi pun dimana-mana sibuk mengemas dan membangun citra dirinya, karena terbukti realitas bisa dikamuflase dengan pencitraan. Politisi pun sibuk memoles diri bahwa mereka adalah pembela nasib rakyat, pro keadilan, anti korupsi, dst. Politisi pun belajar ilmu semiotika alias 'ilmu berbohong', meminjam istilah Yasraf A. Piliang (Hypersemiotika).
Hal yang sama juga terjadi pada bidang marketing produk, walaupun tujuan akhirnya bukan menjadikan pembeli sebagai pengikut, tapi membeli produk. Tehnik pemasaran produk saat ini sudah berkembang demikian canggih dan tentu saja didukung oleh agen-agen pemasaran yang memoles produk mereka dengan sangat menarik bahkan cenderung dilebih-lebihkan (hyper) dari kenyataan yang sebenarnya. Iklan yang ditayangkan sudah bukan lagi sekedar 'menjual produk' tapi sudah melampaui produk itu sendiri alias mengusung nilai-nilai (values), selain menjaga kontinyuitas eksistensi produk.Â
Contoh ini dapat dengan mudah kita jumpai pada tayangan iklan-iklan rokok. Iklan rokok sudah tidak lagi menjual rokok, tapi mengusung nilai tentang misalnya makna kebersamaan, kemewahan, kekuatan, penghargaan, dan nilai-nilai positif yang nyata ada di masyarakat. Rokok dan kegiatan merokok dimaknai sebagai salah satu wujud nilai yang berkembang di masyarakat. Realitas rokok yang berbahaya bagi kesehatan ditutup oleh citra positif yang ditebar oleh iklan rokok.
*****
Hasil survei WHO di Indonesia menyatakan bahwa rata-rata remaja Indonesia sudah mengenal rokok sejak usia 10 tahun, melihat iklan rokok hampir setiap hari baik di media TV maupun media luar ruang, dan mulai aktif menjalani profesi sebagai perokok pada usia 14 tahun dengan kecenderungan semakin muda pada 10 tahun belakangan. Umumnya mereka mulai merokok akibat sugesti lingkungan, entah itu dari kawan sebaya, kelompoknya, atau dari orang dewasa di sekitarnya.Â
Dengan makin tingginya kadar booster nikotin, zat kimia yang mempercepat serapan nikotin ke otak, yang dicampurkan ke dalam ramuan kimia rokok, perokok coba-coba usia muda tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama teradiksi nikotin. Sejak saat itu perokok menjadi tidak lagi rasional dan mulai berperilaku layaknya orang yang teradiksi, marah jika diminta mematikan rokok, tersinggung ketika diingatkan agar tidak merokok, dan perilaku agresif lainnya seperti mengata-ngatai orang lain yang melarangnya merokok, bahkan jika orang tersebut adalah orang tuanya sendiri. Seakan-akan rokok sudah menjadi bagian dari marwah diri para perokok.
Celakanya, sepintar apapun perokok, setinggi apapun tingkat pendidikannya, namun ketika sudah jatuh kepada adiksi, nalarnya lumpuh. Mereka tidak lagi percaya kebenaran sains, dan lebih percaya pada mistifikasi rokok sebagai produk yang bisa menyembuhkan penyakit kanker, melegakan pernafasan, penghilang stress, bahkan menyembuhkan batuk dan berbagai rupa macam penyakit lainnya. Kondisi ini tidak beda jauh dengan apa yang dialami oleh orang-orang seperti Marwah Daud yang percaya kepada Kanjeng Dimas yang dianggap memiliki kemampuan menggandakan uang. Perokok yang percaya bahwa rokok itu menyembuhkan, nalarnya tertutup adiksi nikotin.Â
Marwah Daud yang percaya bahwa Kanjeng Dimas punya kemampuan supranatural, nalarnya tertutup oleh kepercayaan yang bersifat mistis/irrasional. Jika Marwah Daud kita anggap tidak rasional sehingga mempertaruhkan marwah dirinya sendiri, lalu kita sebut apa perokok yang masih terus saja merokok ketika fakta-fakta tentang bahaya merokok sudah demikian gamblang dan tersedia untuk dapat diakses di internet dengan gampang?
Kita tidak ingin sugesti lingkungan yang dilakukan oleh para agen dari orang-orang seperti Kanjeng Dimas, Aa Gatot, dll ini menjadi virus dan menyebarkan kepercayaan konyol kepada masyarakat awam lainnya, sebagaiamana kita tidak ingin sugesti lingkungan yang dilakukan oleh industri rokok ini menularkan kebiasaan buruk merokok ke generasi muda kita. Sebaliknya, kita patut kasihan kepada orang-orang seperti Marwah Daud, Reza Artamevia, sebagaimana kita kasihan kepada para perokok.
Kapanlah nalarnya bisa kembali bekerja?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H