Mohon tunggu...
Cak Kartolo
Cak Kartolo Mohon Tunggu... -

Iklan rokok membuat masyarakat kita permisif terhadap asap rokok. Pendukung gerakan anti-JPL (Jaringan Perokok Liberal). Penggagas hash tag #buangsajarokokmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

KESALEHAN vs KEMUDHARATAN SOSIAL

5 September 2015   10:24 Diperbarui: 5 September 2015   10:31 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Menggemakan Kesalehan Sosial"][/caption]

Membahas opini Gus Solah di Kompas. Beliau sudah bagus memulainya dengan mengutip data yang bersumber dari hasil riset Rikesdas 2013, tapi sayangnya sedikit pun tidak menyinggung salah satu penyebab terbesar yakni kebiasaan merokok penduduk RI, yang sebenarnya juga menjadi kajian sbg penyebab dalam riset tersebut. Selain perlu mendorong kesalehan sosial, Gus Solah juga perlu mengingatkan umatnya, khususnya warga NU, agar mulai menghindari dan menjauhi kemudharatan sosial. Tidak hanya menghindari perbuatan keji dan mungkar seperti mabuk, berjudi, korupsi, dll tapi juga dari hal yang terlihat sepele seperti berhenti menebar racun asap rokok.

 

Nilai kapitalisasi kemudharatan sosial tersebut jika dirupiahkan sangat besar, yakni 350-400 trilyun. Mungkin lebih dari cukup untuk menghajikan seluruh jajaran Kementerian Agama sak keluarga2nya sak cucu2nya sak cicit2nya.

 

*****

 

Ada pihak2 yang mengatakan bahwa merokok itu merupakan ibadah personal, menyumbang negara melalui cukai. Sudah banyak kata dan kalimat yang ditulis untuk menyanggah pendapat ini. Saya hanya mencoba menawarkan opini saya bahwa cukai jelas bukan sumbangan. Jika pun itu sumbangan, proses pengembaliannya pun bukan diperuntukkan bagi fakir-miskin, tapi bagi lini2 yang terkait dengan proses produksi tembakau dan untuk pembiayaan kesehatan. Lalu proses pengembaliannya pun berbelit, sementara 'sang penyumbang cukai' sudah keburu menyumbang lagi, lagi dan lagi. Bahkan bisa jadi mereka sudah keburu mati terkena kanker paru2 tanpa sempat melihat bagaimana pemerintah membelanjakan sumbangan yang diterima darinya.

 

Dalam situasi ekonomi yang melambat demikian, dunia usaha berharap banyak terhadap pengeluaran pemerintah (government spending). Tapi kita semua sama2 mengetahui bahwa tingkat serapan anggaran pemerintah pusat dan daerah sampai hari ini terbilang rendah, di bawah 35%. Jadi kemudharatan sumbangan cukai rokok ini makin berlipatganda akibat duitnya kelamaan dipegang pemerintah, sampai BI mencatat rekor surplus pendapatan bunganya tahun ini. Pertama kali dalam sejarah.

 

*****

 

Nah, dengan stop merokok, duit yang sedianya digunakan untuk merokok tadi dapat digunakan untuk meningkatkan kesalehan sosial sebagaimana opini Gus Solah. Jadinya malah dapat dua kebaikan, kebaikan melakukan kesalehan sosial sekaligus kebaikan karena berhenti melakukan kemudharatan sosial. Perokok tidak perlu menunggu dalam daftar antrian yang lama kayak nunggu giliran berangkat haji untuk melihat kemana sumbangan cukainya disalurkan oleh pemerintah via APBN/APBD. Perokok bisa langsung melihat hasil pemanfaatan sumbangannya sendiri jika berhenti merokok.

 

Jika perokok menyumbangkan uang rokoknya ke anak yatim untuk biaya sekolah, maka setiap anak yatim akan menerima Rp 300-400 ribu per bulan. Gak perlu pake kartu2an lagi kan? Mosok mau menjalankan kesalehan saja harus pake acara bagi2 kartu sih? Tuhan gak perlu kartu, tapi perlu bukti kesalehan. Berhenti merokok itu selain bisa mendorong kesalehan sosial, juga bisa menghentikan kemudharatan sosial. Dan Tuhan suka banget sama yang beginian.

 

Ngapunten nggih, Gus Solah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun