Kedua, longgarnya kebijakan pengendalian rokok di Indonesia seakan menjadi magnet investasi industri rokok untuk menanamkan modal dan meningkatkan kapasitas produksi rokoknya. Kelemahan kordinasi antar kementerian yang cenderung lebih pro-pengusaha daripada kesehatan masyarakat ikut menjadi faktor yang membuat Indonesia menduduki posisi khusus di mata investor industri rokok global. Maka tidak heran jika kemudian pejabatnya pun mendukung gugatan industri rokok terhadap kebijakan pro kesehatan masyarakat negara lain dan otomatis mengabaikan kepentingan kebijakan pro kesehatan bagi masyarakat di dalam negeri sendiri.
Ketiga, jajaran birokrasi pemerintah Indonesia menganut pandangan bahwa cukai rokok adalah salah satu andalan penerimaan APBN, sehingga cara pandang ini mempengaruhi sikap pemerintah terhadap keberadaan industri rokok sebagaimana disebutkan pada poin dua di atas. Cara pandang ini pula yang kemudian menganggap bahwa industri rokok sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) dalam urusan pertembakauan, sehingga pada setiap kebijakan tentang tembakau, industri merasa pemerintah wajib untuk mengikutsertakan mereka.
Dengan tiga faktor di atas, pemerintah Indonesia merasa percaya diri dengan kekuatan pasar dan konsumen rokok dalam negeri sehingga merelakan negeri ini digunakan sebagai kendaraan oleh industri rokok global dalam hal menggugat kebijakan pengendalian termbakau dan kebijakan pro kesehatan negara-negara lain. Dengan melihat gertakan yang sudah dilakukan oleh PMI kepada negara-negara lain, pemerintah Indonesia tampaknya memilih untuk takut dan tidak mau terlibat dalam kesulitan yang lebih dalam jika menerapkan kebijakan pengendalian tembakau yang lebih ketat akan berbuah gugatan miliaran dolar dari korporasi global seperti PMI dan BAT. Ketakutan pemerintah ini bisa dipahami mengingat manfaat rokok saat ini, penerimaan cukai, belum tergantikan oleh apapun.
Bagi rakyat Indonesia, sikap pemerintah Indonesia yang terlalu condong kepada kepentingan korporasi global ini sekali lagi menunjukkan bahwa rakyat Indonesia hanya diperlakukan sebagai obyek penderita saja. Pemerintah membiarkan iklan rokok sesuai keinginan industri rokok agar mereka bisa menjual lebih banyak lagi rokok ke generasi muda rakyat Indonesia. Pemerintah tidak menaikkan tarif cukai lebih tinggi karena lebih mendengar kekhawatiran yang diciptakan oleh industri rokok bahwa cukai tinggi akan mengakibatkan maraknya rokok selundupan, menafikan kenyataan bahwa industri rokok itu sendiri secara tidak langsung terlibat dalam produksi rokok illegal tersebut. Cukai rendah mengakibatkan harga rokok murah dan mudah diakses oleh anak-anak sekolah yang memanfaatkan uang saku pemberian orang tuanya. Pemerintah enggan menerapkan perluasan PHW dan membiarkan perdebatan tentang ini berlangsung berlarut-larut sehingga memberi kesempatan kepada industri untuk terus meningkatkan penetrasi penjualannya kepada generasi muda. Pemerintah dibuat bimbang dan takut dalam mengaksesi FCTC seakan-akan dengan menandatanganinya akan membuat bangkrut industri rokok dan membunuh pertanian tembakau, tanpa menyadari bahwa posisi pemerintah dan potensi pasar yang besar ini seharusnya justru membuat bargain position pemerintah lebih kuat dalam menghadapi industri rokok, bukan sebaliknya.
Kondisi ini dapat mengakibatkan timbulnya politik transaksi penguasa atau partai-partai yang tentu saja akan menjadikan rakyat Indonesia semata-mata sebagai obyek pasar, bukan sebagai subyek. Negosiasi kekuatan kepentingan antara pemerintah dan korporat hanya menghasilkan solusi jangka pendek yang menguntungkan pemerintah yang periodisasinya lima tahunan ini. Sehingga dilihat dari skala jangka panjang, kebijakan hasil kompromi yang dihasilkan tidak benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat Indonesia secara menyeluruh. Industri rokok hanya dijadikan sapi perahan masa Pemilu saja untuk kemudian mereka diberi konsesi selama lima tahun sesuai dengan perjanjian yang sudah dibuat dengan calon-calon pemimpin pada saat Pemilu. Tentu saja pada situasi tersebut industri akan mengambil posisi strategi “don't put all your eggs in one basket”. Semua calon maupun incumbent dititipi telur, sambil menunggu siapa yang menetas duluan!
*****
Sekali lagi, dengan posisi industri rokok yang kuat demikian, rakyat Indonesia akan menanggung kerugian lebih besar. Mengacu negara-negara lain yang sudah berhasil membebaskan diri dari jeratan adiksi duit industri rokok, tidak ada yang kemudian menjadi bangkrut dan menjadi negara paria. Sebaliknya jika semakin lama negara terikat dan tergantung pada duit industri rokok, kesempatan untuk meraih kemajuan-kemajuan akan semakin menjauh, karena manfaat bonus demografi suatu negara hanya dinikmati sekali seumur hidup negara itu berdiri (6). Kita masih punya kesempatan 5-10 tahun ke depan untuk memperbaiki postur bonus demografi tadi. Tapi kita harus melakukannya sejak sekarang, bukan menunggu nanti – apalagi menunggu ganti pemimpin. Semakin lambat kita melakukannya, semakin akan kehilangan kesempatan.
Hal paling mudah yang kita semua sebagai rakyat bisa lakukan adalah menggembosi kekuatan industri rokok dengan cara berhenti mengkonsumsi rokok sekarang dan selamanya. Atau anak cucu kita akan mengenang kita sebagai generasi penakut yang tidak mampu melawan dominasi korporasi jahat seperti industri rokok ini. Jadi, silakan pilih: menjadi bangsa berdaulat atau bangsa penakut.
Catatan:
Tulisan ini dibuat hampir bersamaan dengan turunnya tiga buah berita yang satu sama lain tidak berhubungan tapi menjadi momen penting bagi upaya pengendalian rokok. Berita pertama berkaitan dengan tulisan ini adalah tentang mundurnya Ukraina dari barisan penggugat Australia di WTO yang bisa anda baca disini (7). Di berita tersebut, sebagaimana saya sebutkan di tulisan di atas, terdapat 5 negara yang bersama-sama menggugat Australia terkait kebijakan bungkus polos (plain package) ke WTO. Namun ada yang menarik disini, di antara kelima negara tersebut Indonesia adalah satu-satunya negara yang belum menandatangani FCTC (Framework of Convention on Tobacco Control), yakni suatu kesepakatan pengendalian tembakau oleh bangsa-bangsa di dunia yang dipimpin oleh WHO. Indonesia juga satu-satunya negara di kawasan Asia-Pasifik yang belum menandatangani FCTC. Dari berita tersebut diketahui BAT membiayai gugatan Ukraina ke WTO, karena ada ketentuan bahwa penggugat tidak boleh diwakili oleh korporasi. Menjadi pertanyaan kita semua, siapa yang membiayai gugatan Indonesia ke WTO: APBN atau Philip Morris?