Di Rempang Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang diperkirakan masyarakat lokal telah eksis sejak Abad 18.
Masyarakat lokal yang berada di 16 kampung tua melakukan perlawan dengan kehadiran Proyek Strategis Nasional (PSN) yang telah membuat perjanjian dengan PT MEG untuk membangun pabrik dengan investasi jumbo.Â
Konflik terjadi karena masyarakat lokal direlokasi. Mengapa harus masyarakat lokal yang digusur? Mengapa bukan PSN yang adaptif terhadap penduduk lokal dan ekosistem pulau yang sudah teruji?
Banyak tanggapan dari berbagai pihak terkait konflik masyarakat Rempang dengan Badan Pengelola Batam (BP Batam).Â
Ada yang mengatakan bahwa banyak pihak tidak senang masuknya investasi jumbo ke Pulau Batam, dan ada sekelompok orang yang merasa tersisih dengan kehadiran PT MEG dan berbagai tanggapan lain.Â
Apapun tanggapan berbagai pihak hal pokok yang perlu dilakukan adalah masa depan masyarakt di 16 kampung tua sebanyak 7.512 jiwa.Â
Masa depan penduduk lokal dengan budaya dan kelangsungan ekosistem yang mereka miliki tidak dapat dihitung dengan nilai uang (unlimited value).
Kepala BP Batam dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP)13/9/2023 dengan DPR RI mengatakan bahwa masyarakat yang direlokasi akan tinggal rumah tipe 45 diatas di atas lahan 500 m persegi/kavling.
Mereka yang direlokasi akan dibangun jalan penghubung dengan jalan Trans Barelang. Biaya untuk relokasi disediakan sekitar Rp 1,6 T termasuk untuk 2.637 KK dengan fasilitas sosial seperti sekolah, puskesmas, masjid, kantor kecamatan, pasar, dermaga dan lainya.
Jika kita asumsikan relokasi sukses 100 % sesuai target pemerintah, kini muncul pertanyaan bagaimana kehidupan baru masyarakat yang berasal dari 16 kampung tua?Â
Bagaimana keberlanjutan kehidupan dari kampung tua yang profesinya nelayan, pelaut, petani, pedagang dan lainya.
Konflik Rempang tidak mudah diselesaikan karena sejak awal kajian ilmiah atau paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) tidak seimbang.
Masyarakat nelayan yang selama ini dapat menghidupi rumah tangganya dengan alat-alat tangkap ikan, perahu dan yang terkait dengan kehidupan nelayan bagaimana menghidupi rumah tangga mereka?Â
Pertanyaan inilah yang sejatinya sudah terjawab dalam naskah atau dokumen lingkungan yang dibuat Bersama antara masyarakat lokal dengan BP Batam.Â
Semua profesi yang ada di 16 kampung tua sejatinya tertuang dalam dokumen sesuai dengan UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).Â
Dokumen inilah yang dipegang Masyarakat dan BP Batam yang jika terjadi konflik akan dibuka untuk menyelesaikan konflik.Â
Konflik sekarang tidak dapat diselesaikan karena tidak ada dokumen kesepakatan sejak awal. Inilah konsekuensi Pembangunan tanpa naskah atau dokumen lingkungan yang disepakati Bersama.
Membaca konsep Pembangunan yang dipaparkan oleh Kepala BP Batam M Rudi dalam RDP Rabu 13/09/2023 dengan Komisi VI DPR RI maka terlihat bahwa eco city yang hendak dibangun dilihat dari perspektif investor saja.Â
BP Batam menyiapkan dana membangun infrastruktur untuk kepentingan investor. Bagaimana dengan kepentingan penduduk lokal yang dalam Perserikatan Bangsa Bangsa disebut indigeneus people?
Di dalam16 kampung tua itu ada budaya, sejarah, interaksi sosial yang nilainya tidak dapat dihitung dengan uang (ulimited value).
Jika kita mengacu kepada konsep Pembangunan ekologi yang berbasis ekologi maka pembangunan harus beradaptasi dengan lingkungan.Â
Faktanya, pemerintah melakukan relokasi yang artinya paradigma yang dibawa pemerintah tidak sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan oleh PBB yang telah kita ratifikasi.
Paradigma pembangunan berkelanjutan dicanangkan PBB berdasarkan pengalaman empirik seluruh negara di dunia yang mengalami konflik dan berdampak kepada pemanasan global (global warming).
Konflik karena kehadiran pembangunan seperti kasus Rempang merupakan kasus yang berulang di seluruh dunia puluhan tahun.
Karena konflik demi konflik di seluruh dunia maka PBB mencanangkan konsep pembangunan berkelanjutan sejak KTT Bumi tahun 1972.Â
Mengapa kita tidak belajar dari pengalaman empirik itu? Selama pemerintahan Jokowi yang menyebut Proyek Strategis Nasional (PSN) kesan yang saya tangkap adalah Masyarakat lokal harus tunduk demi kepentingan nasional. Mengapa penduduk lokal tidak Bahagia Ketika PSN hadir di kampung halamannya?
Mengacu paradigma Pembangunan berkelanjutan sejatinya penduduk lokal Bahagia Ketika PSN datang. Lalu, mengapa kehadiran PSN termasuk wilayah tujuan wisata super prioritas bermasalah?Â
Bukankah semua mereka ingin Pembangunan? Mengapa PSN datang yang terjadi penolakan? Jika paradigma konsep Pembangunan berkelanjutan dilakaukan secara total maka hakul yakin tidak ada masalah.Â
PSN ditolak Masyarakat lokal karena strategi yang dilakukan pemerintah adalah pendekatan kekuasaan negara.Â
Jika sejak awal pembuatan naskah atau dokumen lingkungan melibatkan penduduk lokal secara nyata dan memperlakukan mereka sebagai tuan rumah maka persoalan akan menjadi lain.Â
Paradigma Pembangunan seluruh PSN akan berdampak negatif dan mendapat berlawanan karena pemerintah melakukan pendekatan kekuasaan.
Masyarakat lokal paham Ketika pemerintah menjadikan hutan adat menjadi hutan lindung dan hutan lindung dijadikan Areal Penggunaan Lain (APL) dan Ketika sudah menjadi APL diberikan kepada investor.Â
Masyarakat adat yang cinta lingkungan senang saja hutan adatnya dijadikan hutan lindung tetapi Ketika dijadikan APL maka Masyarakat adat melakukan perlawanan.Â
Sebab Masyarakat lokal bertanya, kenapa kalua ambil kayu di hutan disebut merusak hutan tetapi apakah Ketika dijadikan APL tidak merusak hutan?
Pertanyaan kritis masyarakat itulah yang melukai hati rakyat dan menimbulkan perlawanan. Sejatinya, potensi perlawanan Masyarakat lokal ini disiasati sejak awal.
Menyiasati dengan cara Menyusun naskah atau dokumen lingkungan dengan melibatkan Masyarakat lokal secara nyata tanpa rekayasa. Jumlah Masyarakat Rempang hanyalah 7. 512 jiwa.Â
Jika jumlah penduduk hanya berjumlah 7,512 jiwa maka sangat mudah untuk mengajak mereka untuk memperbaiki masa depan Rempang.Â
Pemerintah Bersama masayarakat Rempang menjaga cagar budaya dengan cara mempercakapkan secara Bersama.Â
Jika jumlah penduduk Rempang yang sedikit saja pemerintah tidak mampu, lalu bagaimana dengan wilayah yang penduduknya jumlahnya banyak?
Belajar dari kasus Rempang mengingatkan kita agar kembali ke konsep pembangunan berkelanjutan diimplementasikan dengan baik. Paradigma pembangunan berkelanjutan memberikan solusi dengan cara paradigma pembagunan yang adaptif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.
Pembangunan yang adaftif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal menjadikan lingkungan lestari dan masyarakat lokal dan nasional bahkan dunia sejahtera. Pendekatan pemerintah seperti yang terjadi di Rempang dan Destinasi Wisata Super Prioritas telah usang.
Oleh karena itu, kita siasati perencanaan pembangunan dengan patuh dan taat terhadap konsep Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang mengedepankan indigeneus people dan adaptif terhadap ekosistem.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H