Masyarakat adat yang cinta lingkungan senang saja hutan adatnya dijadikan hutan lindung tetapi Ketika dijadikan APL maka Masyarakat adat melakukan perlawanan.Â
Sebab Masyarakat lokal bertanya, kenapa kalua ambil kayu di hutan disebut merusak hutan tetapi apakah Ketika dijadikan APL tidak merusak hutan?
Pertanyaan kritis masyarakat itulah yang melukai hati rakyat dan menimbulkan perlawanan. Sejatinya, potensi perlawanan Masyarakat lokal ini disiasati sejak awal.
Menyiasati dengan cara Menyusun naskah atau dokumen lingkungan dengan melibatkan Masyarakat lokal secara nyata tanpa rekayasa. Jumlah Masyarakat Rempang hanyalah 7. 512 jiwa.Â
Jika jumlah penduduk hanya berjumlah 7,512 jiwa maka sangat mudah untuk mengajak mereka untuk memperbaiki masa depan Rempang.Â
Pemerintah Bersama masayarakat Rempang menjaga cagar budaya dengan cara mempercakapkan secara Bersama.Â
Jika jumlah penduduk Rempang yang sedikit saja pemerintah tidak mampu, lalu bagaimana dengan wilayah yang penduduknya jumlahnya banyak?
Belajar dari kasus Rempang mengingatkan kita agar kembali ke konsep pembangunan berkelanjutan diimplementasikan dengan baik. Paradigma pembangunan berkelanjutan memberikan solusi dengan cara paradigma pembagunan yang adaptif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.
Pembangunan yang adaftif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal menjadikan lingkungan lestari dan masyarakat lokal dan nasional bahkan dunia sejahtera. Pendekatan pemerintah seperti yang terjadi di Rempang dan Destinasi Wisata Super Prioritas telah usang.
Oleh karena itu, kita siasati perencanaan pembangunan dengan patuh dan taat terhadap konsep Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang mengedepankan indigeneus people dan adaptif terhadap ekosistem.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI