Bagaimana keberlanjutan kehidupan dari kampung tua yang profesinya nelayan, pelaut, petani, pedagang dan lainya.
Konflik Rempang tidak mudah diselesaikan karena sejak awal kajian ilmiah atau paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) tidak seimbang.
Masyarakat nelayan yang selama ini dapat menghidupi rumah tangganya dengan alat-alat tangkap ikan, perahu dan yang terkait dengan kehidupan nelayan bagaimana menghidupi rumah tangga mereka?Â
Pertanyaan inilah yang sejatinya sudah terjawab dalam naskah atau dokumen lingkungan yang dibuat Bersama antara masyarakat lokal dengan BP Batam.Â
Semua profesi yang ada di 16 kampung tua sejatinya tertuang dalam dokumen sesuai dengan UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).Â
Dokumen inilah yang dipegang Masyarakat dan BP Batam yang jika terjadi konflik akan dibuka untuk menyelesaikan konflik.Â
Konflik sekarang tidak dapat diselesaikan karena tidak ada dokumen kesepakatan sejak awal. Inilah konsekuensi Pembangunan tanpa naskah atau dokumen lingkungan yang disepakati Bersama.
Membaca konsep Pembangunan yang dipaparkan oleh Kepala BP Batam M Rudi dalam RDP Rabu 13/09/2023 dengan Komisi VI DPR RI maka terlihat bahwa eco city yang hendak dibangun dilihat dari perspektif investor saja.Â
BP Batam menyiapkan dana membangun infrastruktur untuk kepentingan investor. Bagaimana dengan kepentingan penduduk lokal yang dalam Perserikatan Bangsa Bangsa disebut indigeneus people?
Di dalam16 kampung tua itu ada budaya, sejarah, interaksi sosial yang nilainya tidak dapat dihitung dengan uang (ulimited value).
Jika kita mengacu kepada konsep Pembangunan ekologi yang berbasis ekologi maka pembangunan harus beradaptasi dengan lingkungan.Â