Konsekuensi  pengakuan itu  dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)  dalam pasal 340  mengatakan bahwa  barang siapa  dengan siapa dan  dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam dengan pidana mati atau pidana  penjara seumur hidup atau selama  waktu tertentu, paling lama 20 tahun.  Pengakuan FS  konsekuensinya telah dapat kita  prediksi yaitu 20 tahun atau hukuman mati.
Jika kita  prediksi hukuman yang akan diterima FS karena konsekuensi  pengakuannya  maka  perjuangan  ibu PC untuk mengatakan  bahwa berigadi J melakukan pelecehan seks  tidaklah  berbeda nyata.  Tetapi jika  ibu PC berbohong atau mengarang cerita  walaupun kita sulit percaya maka  kita sedih  mendengar bahwa  brigadier J yang lugu dan tulus itu  telah melakukan  tindakan  tidak terpuji.Â
Jika perbedaan hukuman bagi FS  tidak berbeda nyata  dengan  tuduhan pemerkosaan  yang dilakukan  brigadir J  mengapa ibu PC melakukannya?  Bukankah itu dosa besar?  Apakah ibu PC tidak sedikitpun memikirkan keluarga brigadir J?  Apakah juga tidak memikirkan  dirinya agar lepas dari kebohongan?  Apakah masih melanjutkan kebohongan  seperti cerita diawal terungkapnya kasus ini?  Sampai kapan  kebohongan ini berlanjut?
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena kita melihat dari awal cerita teruji bahwa telah nyata terjadi kebohohongan.  Setelah kebohongan  teruji oleh waktu, kita masih melihat ada potensi bohong berikutnya.  Andaikan  kejujuran yang  logis disampaikan kepada kita mungkin  justru hukuman bagi FS akan lebih ringan. Â
Ringan karena  kejujuran adan sikap akomodatif selama persidangan.  Mungkin perlu disadari bahwa kejujuran itu menyegarkan hati.
Dugaan kebohongan  lain dialamatkan kepada Komnas HAM, Komnas Perempuan dan  Kompolnas.  Dalam konteks inilah kita rakyat yang melihat makin risih.  Â
Sebab, kita melihat  ada kejanggalan-kejanggalan dalam proses.  Kita melihat sumber informasi mereka cenderung hanya dari pihak ibu PC.  Padahal,  apapun motivasinya pembunuhan tidak pernah diizinkan.
Kita sudah lelah melihat  kebohongan.  Masihkah kita berdebat boleh tidaknya berbohong demi kebaikan?
Demi kebaikan siapakah kita berbohong? Bukankah berbohong  atau menyampaikan informasi bohong  di pengadilan  merupakan  penyampaian  keterangan palsu  yang dapat dijerat pasal pidana?  Kini kita sadar agar hidup kita penuh integritas dan kualitas integritas itu kita latih tiap hari agar naik kelas dalam setiap aktivitas hidup kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H