Suatu sore saya berada di  Bandara  Silangit,  Siborongborong, Tapanuli Utara, Sumatra Utara. Saya  sedang menunggu kehadiran teman dari Jakarta.  Sambil menunggu teman, kami minum kopi sambil membaca  Media Sosial (Medsos) di sebuah warung di pojok bandara.  Di Medsos tersiar kabar bahwa perempuan Sigapiton membuka bajunya ketika melawan  Badan Otorita Danau Toba (BODT) yang  menyerobot  tanah ulayat mereka.  Berita membuka baju itu menjadi viral dan berbagai komentar akan kejadian itu.  Apa sesungguhnya yang terjadi di Sigapiton ketika itu?
       Membaca berita  itu di Medsos saya mengirim WhatsApp (WA)  kepada teman yang sedang di pesawat  dan isinya  minta maaf tidak jadi saya jemput ke bandara karena saya ada kegiatan.  Saya minta tolong kepada teman di bandara agar teman saya  yang akan pelatihan siswa Olimpiade Sains Nasional (OSN)  diantar ke sebuah hotel di Balige.  Saya kasih nomornya dan saya berangkat ke Sigapiton saat itu juga. Perjalanan  dari Silangit sekitar 1 jam lebih ke Sigapiton.  Tiba di Sigapiton banyak orang berkerumun dan mobil para petinggi  Kabupaten Toba  parkir di pinggir jalan.
       Di Sigapiton saya hanya menyalami para ibu dan teman-teman yang sudah lelah  melawan pamong praja, polisi dan eskapator yang mengeksekusi tanah ulayat masyarakat Sigapiton yang diklaim  BODT adalah miliknya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).  Versi BODT lahan itu adalah hutan lindung yang telah dikeluarkan  KLHK dari  hutan lindung menjadi  milik  BODT demi investor.  Lahan itu dibutuhkan BODT karena kawasan Danau Toba dijadikan Kawasan Strategis  Pariwisata Nasional  (KSPN).
       Masyarakat Sigapiton merasa bahwa sebelum Indonesia merdeka lahan itu telah dikuasai nenek moyang mereka.  Di zaman Orde Baru  (ORBA)  memang  diberikan kepada negara untuk ditanami pohon pinus dalam rangka konservasi.  Konservasi diterima oleh masyarakat agar hutan itu terjaga dan air pun mengalir untuk kebutuhan air minum, lahan sawah dan ladang menanam sayuran dan berbagai jenis tanaman.  Daerah Sigapiton itu memang ajaib keindahanya.  Danau Toba  dan pulau Samosir sangat indah  dilihat dari Sigapiton.
       Jika benar hutan lindung  mengapa selama ini  kita jaga dan tidak boleh diambil kayu bakar dari hutan sementara kalau untuk kebutuhan  investor pemerintah begitu cepat mengeluarkan  lahan itu untuk BODT?  Mengapa  BODT menggunakan kekuatan negara untuk mengambil tanah ulayat kami? Bukankah  sekitar 350 tahun nenek moyang kami telah berada di wilayah ini?  Kalau  memang pemerintah hendak  mengelola kawasan ini sebagai KSPN mengapa kami tidak diajak?  Siapakah kami dimata pemerintah? Untuk kepentingan siapa Sigapiton dieksploitasi?  Berbagai pertanyaan muncul  di benak masyarakat Sigapiton.
       Duduk sambil  minum  kopi di sebuah rumah  di dekat jalan hingga larut malam, saya bertanya tentang kejadian  perempaun itu buka baju.  Seorang ibu yang usianya sekitar 70 tahun mengatakan bahwa kami tidak bisa melawan polisi, pamong praja yang mendorong kami. Kemudian datang lagi escapator.  Kami lawan dan kami  tak berdaya.  Kami tak mampu melawan banyaknya pamong praja dan polisi. Mereka sangat kejam.  Kami menangis meraung-raung, kami berteriak  ceritanya sambil menangis.
       Mengapa polisi tega mendorong kami?  Mengapa pamong praja tega mendorong kami?  Kami berulangkali mengatakan dalam tangisan kami  apakah kalian memiliki ibu?  Tolong  ingat ibumu di rumah. Apakah kalian orang Batak yang  berbudaya? Bagaimana jika ibu kalian diperlakukan seperti kami?  Seorang ibu menimpali, umurku sudah 85 tahun, mengapa engkau tega mendorong aku?  Apakah kalian tak punya ibu?  Karena kami terus didorong,  kami membuka baju kami dengan harapan mereka masih menyadari bahwa mereka memiliki ibu.  Kami ingin menyadarkan bahwa mereka lahir dari ibu  seperti kami.
       Mendengar dan melihat mereka menangis dimalam hari itu, saya tak kuasa juga menahan air mata.  Mengapa kehadiran negara  di Sigapiton menjadi begini?  Dimana konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development)? Mengapa negara hadir penduduk lokal tidak bergembira?  Apa sulitnya negara mencari konsep pembangunan yang menghargai dan menguntungkan rakyat lokal?  Hatiku tersayat-sayat melihat kejadian itu.  Sia-sia rasanya belajar konsep wisata yang berkelanjutan seperti Taman Wisata Alam (TWA), ekoturisme dan kajian-kajian mendalam tentang konsep wisata yang berkelanjutan.