Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makna Kehadiran Kita di Tengah Komunitas Perempuan yang Kehilangan Harapan

25 Juli 2022   05:55 Diperbarui: 25 Juli 2022   06:04 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unjuk rasa ke kantor Bupati Toba (dok pribadi) 

              Suatu sore saya berada di  Bandara  Silangit,  Siborongborong, Tapanuli Utara, Sumatra Utara.  Saya   sedang menunggu kehadiran teman dari Jakarta.  Sambil menunggu teman, kami minum kopi sambil membaca  Media Sosial (Medsos) di sebuah warung di pojok bandara.  Di Medsos tersiar kabar bahwa perempuan Sigapiton membuka bajunya ketika melawan  Badan Otorita Danau Toba (BODT) yang   menyerobot   tanah ulayat mereka.  Berita membuka baju itu menjadi viral dan berbagai komentar akan kejadian itu.  Apa sesungguhnya yang terjadi di Sigapiton ketika itu?

              Membaca berita  itu di Medsos saya mengirim WhatsApp (WA)  kepada teman yang sedang di pesawat  dan isinya  minta maaf tidak jadi saya jemput ke bandara karena saya ada kegiatan.  Saya minta tolong kepada teman di bandara agar teman saya  yang akan pelatihan siswa Olimpiade Sains Nasional (OSN)  diantar ke sebuah hotel di Balige.   Saya kasih nomornya dan saya berangkat ke Sigapiton saat itu juga. Perjalanan  dari Silangit sekitar 1 jam lebih ke Sigapiton.  Tiba di Sigapiton banyak orang berkerumun dan mobil para petinggi  Kabupaten Toba   parkir di pinggir jalan.

              Di Sigapiton saya hanya menyalami para ibu dan teman-teman yang sudah lelah  melawan pamong praja, polisi dan eskapator yang mengeksekusi tanah ulayat masyarakat Sigapiton yang diklaim  BODT adalah miliknya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).  Versi BODT lahan itu adalah hutan lindung yang telah dikeluarkan  KLHK dari  hutan lindung menjadi  milik   BODT demi investor.  Lahan itu dibutuhkan BODT karena kawasan Danau Toba dijadikan Kawasan Strategis  Pariwisata Nasional  (KSPN).

Bersama tokoh Sigapiton (dok pribadi) 
Bersama tokoh Sigapiton (dok pribadi) 

              Masyarakat Sigapiton merasa bahwa sebelum Indonesia merdeka lahan itu telah dikuasai nenek moyang mereka.  Di zaman Orde Baru  (ORBA)  memang   diberikan kepada negara untuk ditanami pohon pinus dalam rangka konservasi.  Konservasi diterima oleh masyarakat agar hutan itu terjaga dan air pun mengalir untuk kebutuhan air minum, lahan sawah dan ladang menanam sayuran dan berbagai jenis tanaman.  Daerah Sigapiton itu memang ajaib keindahanya.  Danau Toba  dan pulau Samosir sangat indah  dilihat dari Sigapiton.

              Jika benar hutan lindung  mengapa selama ini  kita jaga dan tidak boleh diambil kayu bakar dari hutan sementara kalau untuk kebutuhan  investor pemerintah begitu cepat mengeluarkan  lahan itu untuk BODT?  Mengapa  BODT menggunakan kekuatan negara untuk mengambil tanah ulayat kami? Bukankah  sekitar 350 tahun nenek moyang kami telah berada di wilayah ini?   Kalau  memang pemerintah hendak  mengelola kawasan ini sebagai KSPN mengapa kami tidak diajak?  Siapakah kami dimata pemerintah? Untuk kepentingan siapa Sigapiton dieksploitasi?   Berbagai pertanyaan muncul  di benak masyarakat Sigapiton.

              Duduk sambil  minum  kopi di sebuah rumah  di dekat jalan hingga larut malam, saya bertanya tentang kejadian   perempaun itu buka baju.  Seorang ibu yang usianya sekitar 70 tahun mengatakan bahwa kami tidak bisa melawan polisi, pamong praja yang mendorong kami. Kemudian datang lagi escapator.  Kami lawan dan kami  tak berdaya.   Kami tak mampu melawan banyaknya pamong praja dan polisi. Mereka sangat kejam.  Kami menangis meraung-raung, kami berteriak  ceritanya sambil menangis.

Bersama rakyat Sigapiton (dok pribadi)
Bersama rakyat Sigapiton (dok pribadi)

              Mengapa polisi tega mendorong kami?  Mengapa pamong praja tega mendorong kami?  Kami berulangkali mengatakan dalam tangisan kami  apakah kalian memiliki ibu?  Tolong  ingat ibumu di rumah. Apakah kalian orang Batak yang  berbudaya? Bagaimana jika ibu kalian diperlakukan seperti kami?  Seorang ibu menimpali, umurku sudah 85 tahun, mengapa engkau tega mendorong aku?  Apakah kalian tak punya ibu?  Karena kami terus didorong,  kami membuka baju kami dengan harapan mereka masih menyadari bahwa mereka memiliki ibu.  Kami ingin menyadarkan bahwa mereka lahir dari ibu  seperti kami.

              Mendengar dan melihat mereka menangis dimalam hari itu, saya tak kuasa juga menahan air mata.  Mengapa kehadiran negara  di Sigapiton menjadi begini?  Dimana konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development)? Mengapa negara hadir penduduk lokal tidak bergembira?  Apa sulitnya negara mencari konsep pembangunan yang menghargai dan menguntungkan rakyat lokal?  Hatiku tersayat-sayat melihat kejadian itu.  Sia-sia rasanya belajar konsep wisata yang berkelanjutan seperti Taman Wisata Alam (TWA), ekoturisme dan kajian-kajian mendalam tentang konsep wisata yang berkelanjutan.

              Malam terus larut, kemudian seorang pria bermarga Butarbutar  mengatakan, "besok perjuangan kita lanjutakan dengan syarat tidak ada yang buka baju".  Kita lupakan kejadian tadi dan kita terus berjuang.  Malam itu kami berpisah dan saya bertekad untuk hadir   besok  ditempat itu.  Saya  dan  Suryati Simanjuntak  dari KSPPM   akan hadir besok pagi untuk melihat perjuangan  rakyat Sigapiton.  Posisi  saya hanya hadir saja. Saya pulang ke Balige untuk menginap dan malamnya saya sulit tidur.

              Pagi hari sekitar pukul 7.00 WIB saya sudah tiba  dilokasi. Kami minum kopi dan kaum perempuan Sigapiton sudah hadir.  Suasana alam Sigapiton sangat dingin dan saya lupa pula bawa  jeket.  Alat berat sudah siaga, rombongan polisi hadir dan pamong praja juga. Beberapa orang tentara hadir di tempat. Waktu telah menunjukkan pukul 9.00 WIB.  Saya berdiri dilokasi bersama Suryati Simanjuntak, Delima Silalahi dan tim dari KSPPM yang mendampingi mereka.  Beberapa pendeta dan yang berempati dengan rakyat Sigapiton hadir.

              Tiba-tiba saja salah satu dari anggota pamong praja itu menyapa saya, "halo, bang Gurgur, apa kabar abangku?  Aku sangat mengenal abang dan mungkin abang tidak mengenal aku. Aku adik kelas abang  6 tahun ketika kuliah.   Walaupun abang sudah lulus, abang tetap perhatian ke kampus, katanya. Kami berbincang-bincang dan  minta saran bagaimana  meyikapinya selaku seorang pamong praja.   Kemarin aku berdoa agar jangan tugas ditempat ini bang. Aku tau perjuanganmu bang, dan aku pegawai pemerintah. Apa saran abang?  Aku dalam posisi  yang sulit karena aku masih memelihara nurani, katanya.

              Mendengar  pertanyaan adik kelasku itu aku juga bingung. Saranku, laksanakan saja tugasmu tapi jangan kasar.  Siap bang katanya.   Menjelang siang, kami mulai lapar.  Pemangku adat dan BODT tidak ada titik temu.  Kaum ibu sedang makan tiba-tiba  escapator hendak eksekusi  lahan yang diperebutkan.  Kaum ibu makan sambil menghalangi escapator.  Tarik-menarik, dorong mendorong dan air mata terus bercucuran.  Tragedi  itu pun terjadi.  Saya melihat ada keberingasan ketika itu.  Kejadian itu jauh dari peradaban.

              Selama sebulan saya hampir tiap hari  hadir di Sigapiton.   Saya belajar sejarah  dan budaya mereka.  Saya menulis tentang Sigapiton di Medsos.  Dari kejadian itu  saya melihat   di medsos banyak yang bersuara tanpa mengerti apa yang terjadi sesungguhnya.  Saya prihatin membaca komentar yang mengaku  pejuang perempuan  dan budaya Batak yang mengatakan bahwa, "perempuan itu tidak beradab karena membuka bajunya  untuk berjuang padahal  banyak cara lain untuk berjuang".  Pendapat itu sangat dangkal karena tidak memahami konteksnya.  Mereka tidak mampu ke relung hati mereka yang dalam. Mereka tak paham jeritan hati mereka.

              Dari  pendapat tentang makna buka baju dalam berjuang,  pendapat istri saya yang mengagumkan. Istri saya Tiorisna Sihotang mengatakan, "kaum perempuan yang membuka baju dalam berjuang itu adalah  mereka yang kehilangan harapan  akan  perlindungan negara".  Jika ada warga  negara yang  kehilangan harapan sejatinya negara hadir memberikan harapan.  Karena itulah saya dukung  perjuangan rakyat Sigapiton, katanya dengan semangat.

              Ada isu yang mengatakan kehadiran kami di lokasi sebagai provokator dalam arti negatif.   Tetapi kami mengabaikan itu. Kami hanya ingin bangsa ini  komitmen untuk membangun dan mengarusutamakan rakyat.   Jika  Danau Toba sebagai KSPN maka  berikan yang paling dibutuhkan. Fakta, kualiatas air Danau Toba menurun,  terjadi pendangkalan Danau Toba. Hotel-hotel  kekurangan tamu.  Sejatinya pemerintah membuat kegiatan agar tamu hotel di kawasan Danau Toba ada secara berkelanjutan. BODT menjaga dan melestarikan Danau Toba bukan membuat konflik lahan.  Bukankah pemerintah sebagai fasilitator dan  pengambil kebijakan?.

              Pemerintah tugasnya membuat kebijakan agar Danau Toba lestari, membuat kegiatan agar turis datang agar ekonomi rakyat meningkat. Pemerintah tidak perlu  proyek  bangun hotel, lapangan golf.  Pemerintah bukan pelaku usaha. Pemerintah membuat kebijakan agar rakyat kreatif dan mendatangkan  investor yang  komitmen menjaga budaya.  Pemerintah harus jujur dan transparan sesuai konstitusi  negara yang  kita cintai ini.  Salam lestari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun