Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Demokrasi itu Membutuhkan Pikiran dan Tindakan yang Merdeka

5 April 2022   06:41 Diperbarui: 5 April 2022   06:43 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak kuliah tahun 90 --an   profesi paling sering konflik dengan saya adalah polisi lalu lintas.   Mengapa polisi?, karena  saya orang yang belajar taat aturan  tetapi  dihentikan di jalan dan diminta "damai".  Makna "damai"  tidak perlu saya utarakan dalam  tulisan ini.   

Saya menilai, ada akal-akalan   yang bertujuan untuk  "damai". Kalaupun itu salah,  hanya butuh diingatkan atau dinasehati dengan kata lain pendekatan yang humanis.  Pembaca saya kira memahami makna "damai"  yang saya maksud.    

Saya melakukan konflik karena  saya belajar makna demokrasi sejak kuliah. Tentu saja komitmen akan taat hukum tidak ada tawar menawar.

Puluhan tahun   saya melihat dan mencoba memberi makna demokrasi dalam kehidupan sehari-hari.   Hal yang paling sulit dalam membangun demokrasi adalah  rendahnya  partisipasi  rakyat  atau kurangnya keberanian rakyat memahami dan  menuntut haknya. Tentu juga tidak disiplin menjalankan kewajibannya.   

Mereka yang takut menuntut haknya adalah yang kuatir akan resiko keberanian itu. Padahal keberanian itu akan membuat pribadinya naik kelas dan   membangun peradaban bagi umat manusia.   

Mengapa orang ketakutan mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara merdeka? Mengapa takut melawan kekuasaan? Kekuasaan dalam konteks  kehidupan keseharian dan juga berbangsa dan bernegara.

Dalam kehidupan sehari-hari  acapkali  korban kekerasan  ketakutan terhadap orang  yang melakukan kekerasan.    Sedihnya, dikalangan terpelajarpun ketakutan itu masih kental.   Di birokrasi masih terkesan  ada rasa takut menyampaikan isi hatinya dan   ketika diperlakukan zolim pun masih diam saja.  

Mengapa dikalangan   birokrasi  masih banyak yang belum merdeka berpikir?  Resiko  birokrat untuk berani  bersuara kan hanya dimutasi saja?  Lagipula,  kalau bersuara dengan lantang, bukankah pelaku zolim akan berkurang bahkan akan terjungkal dari kekuasaannya?

Dalam pengamatan saya seharihari dan menjadi pertanyaan bagi saya adalah mengapa mereka  yang pendidikan formalnya rendah  terkesan lebih berani   dibandingkan   mereka yang pendidikannya tinggi secara formal?. 

Sebagai contoh adalah  kaum ibu di Sugapa yang melawan perusahaan pulp raksasa di Kabupaten Toba dan  kaum ibu di Sigapiton  yang melawan kehadiran BODT di   Sigapiton  Kabupaten  Toba.  Mereka sangat berani melawan ketidakadilan.   

Di kalangan terpelajar secara formal,  rasa takut itu masih kental  sekali. Terkesan ketakutan berlebihan padahal ruang demokrasi terbuka untuk berpikir merdeka dan bertindak merdeka.  Merdeka berpikir dan bertindak dalam bingkai hukum dan etika yang kita miliki.

Sadar atau tidak bahwa demokrasi tidak akan  mengalami perbaikan jika  warga negara tidak  mengalami pikiran dan tindakan yang memerdekakan diri.  

Membangun demokrasi yang bebas harus dimulai dari kemerdekaan berpikir dan bertindak yang dimulai dari diri sendiri.  Tindak mungkin kita memerdekakan orang lain jika kita  belum merdeka berpikir dan bertindak. 

Ada gejolak dalam pribadi manusia  mengapa takut merdeka berpikir dan  bertindak.  Ketakutan  untuk merdeka disebabkan oleh konsekuensi kemerdekaan itu.  

Jika itu terjadi, mungkin kita masih hidup dalam kegelapan.  Hati yang gelap  sulita membedakan yang benar dan yang salah. Tidak mungkin  dengan lantang membicarakan yang benar jika  tidak bisa membedakan yang benar dan salah.   

Tetapi ada juga dengan lantang membicarakan seolah  yang salah  dalam membenarkan diri.  Mereka yang lantang bicara yang selah dengan membenarkan itulah yang disebut bebal.

Dalam pengamatan saya, memahami demokrasi itu butuh waktu yang panjang.  Pilihan bagi kita adalah bertahan dalam ketakutan atau naik kelas untuk berani merdeka.  Pilihan berani untuk merdeka konsekuensinya adalah satu kata dengan perbuatan.  

Jika tidak, kita akan menjadi batu sandungan.  Karena itu hiduplah benar dan  merdeka berpikir dan bertindak dimulai dari diri sendiri kemudian  berkontribusi  memerdekakan orang lain. Merdeka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun