Di kalangan terpelajar secara formal,  rasa takut itu masih kental  sekali. Terkesan ketakutan berlebihan padahal ruang demokrasi terbuka untuk berpikir merdeka dan bertindak merdeka.  Merdeka berpikir dan bertindak dalam bingkai hukum dan etika yang kita miliki.
Sadar atau tidak bahwa demokrasi tidak akan  mengalami perbaikan jika  warga negara tidak  mengalami pikiran dan tindakan yang memerdekakan diri. Â
Membangun demokrasi yang bebas harus dimulai dari kemerdekaan berpikir dan bertindak yang dimulai dari diri sendiri.  Tindak mungkin kita memerdekakan orang lain jika kita  belum merdeka berpikir dan bertindak.Â
Ada gejolak dalam pribadi manusia  mengapa takut merdeka berpikir dan  bertindak.  Ketakutan  untuk merdeka disebabkan oleh konsekuensi kemerdekaan itu. Â
Jika itu terjadi, mungkin kita masih hidup dalam kegelapan.  Hati yang gelap  sulita membedakan yang benar dan yang salah. Tidak mungkin  dengan lantang membicarakan yang benar jika  tidak bisa membedakan yang benar dan salah.  Â
Tetapi ada juga dengan lantang membicarakan seolah  yang salah  dalam membenarkan diri.  Mereka yang lantang bicara yang selah dengan membenarkan itulah yang disebut bebal.
Dalam pengamatan saya, memahami demokrasi itu butuh waktu yang panjang. Â Pilihan bagi kita adalah bertahan dalam ketakutan atau naik kelas untuk berani merdeka. Â Pilihan berani untuk merdeka konsekuensinya adalah satu kata dengan perbuatan. Â
Jika tidak, kita akan menjadi batu sandungan.  Karena itu hiduplah benar dan  merdeka berpikir dan bertindak dimulai dari diri sendiri kemudian  berkontribusi  memerdekakan orang lain. Merdeka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H