Menyoal pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, saya belum bisa memahami latar belakang Presiden Jokowi membentuk Lembaga itu. Jika berpikir sistemik, sejatinya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang menanganinya. Apakah Presiden Jokowi tidak percaya kemampuan Menteri Kesehatan ketika itu?Â
Secara logika sehat, sejatinya organisasi mapan seperti Kemenkes lebih mumpuni menanganinya karena struktur organisasinya jelas sampai ke desa.
Jika organisasi baru seperti Gugus Tugas Covid 19 perlu waktu untuk membangun struktur organisasi, mencari personil dan memikirkan dana untuk biaya operasional. Jadi, wajar saja Gugus Tugas itu dibubarkan karena lelah sendiri.
Dalam mengelola negeri tercinta ini ada semacam kebiasaan jika ada masalah langsung membentuk organisasi baru. Misalnya, kasus korupsi langsung dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), isu pemanasan global langsung dibangun Komite Perubahan Iklim, kasus asap akibat kebakaran hutan langsung dibentuk Badan Restorasi Gambut (BRG), isu krisis pangan langsung muncul ide membuka food estate dan lain sebagainya.
Padahal, negara ini memiliki organisasi, namun sayangnya tidak dioptimalkan. Kita memiliki organisasi jaksa dan polisi tetapi lebih percaya ke KPK, padahal organisasi KPK sangat kecil. Andaikan kejaksaan dan kepolisian bekerja dengan baik, maka tidak perlu KPK, bukan?
Kini muncul Komite Penanganan Covid 19 dan Pemulihan Ekonomi yang mana Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai Ketua Komite, sedangkan Pelaksana Harian Komite dipimpin oleh Erick Thohir.
Komite ini dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 yang diteken Presiden Jokowi pada Senin (20/7/2020) kemarin. Pertanyaannya ialah, mengapa harus ada organisasi baru? mengapa tidak mengoptimalkan organisasi yang ada dan dikuatkan kewenangan saja? mengapa kita menghabiskan waktu untuk membentuk organisasi baru, padahal orangnya itu itu juga.
Kita terjebak dengan istilah atau kita membenturkan antara Covid 19 dengan ekonomi, padahal hal itu sebab akibat. Ekonomi terganggu karena diberlakukannya stay at home. Jika stay at home selesai, maka secara otomatis ekonomi bergerak.Â
Lalu, mengapa harus ada organisasi baru? Betul bahwa penanganan harus extraordinary, tetapi dalam extraordinary tidak perlu menambah organisasi baru. Hal yang urgen adalah efektifitas, efisiensi, dan strategi organisasi yang ada. Tentu saja kerja keras.Â
Sejak zaman dulu, kendala kita mengelola bangsa ini dengan baik adalah tumpeng tindih kebijakan dan ego sektoral. Jika organisasi ditambah tentu menghasilkan masalah baru.
Jadi, wajar saja data-data yang terpapar di Gugus Tugas banyak yang kritik karena organisasinya baru dibuat. Kalau organisasi baru dibuat, bagaimana bicara efektif dan efisien?
Organisasi baru biasanya gagap dalam bekerja. Organisasi yang gagap bekerja dengan menghadapi permasalahan yang extraordinary tidaklah tepat. Tetapi dengan organisasi yang sudah mapan digerakkan dengan baik, pasti hasilnya lebih baik.
Dalam konteks dibubarkannya Gugus Tugas Covid 19 yang mendesak dilakukan pemerintah adalah memandirikan rakyat yang menjadi beban negara.
Rencana food estate untuk menjawab krisis pangan tidaklah tepat. Paling tepat adalah membina rakyat yang menjadi beban negara dengan bansos dalam Bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) dimandirikan. Jika mereka terus menjadi beban negara maka kemiskinan kita berkelanjutan.Â
Petani yang diberikan BLT menjadikan mereka tidak kreatif bekerja. Mereka bisa saja menunggu dana BLT.Â
Wacana Jokowi membuka lahan pertanian baru bersama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak tepat apalagi wacana pembangunan food estate.
Jika membuka food estate, maka pertanyaanya adalah siapa yang mengerjakan, dengan teknologi apa mengerjakan dan distribusi hasilnya bagaimana? Apakah hasil food estate akan dibagi-bagi ke petani dan rakyat miskin kota?.
Mengapa tidak petani saja dioptimalkan dengan memberikan penerapan teknologi intensif, mekanisasi? Jika petani bekerja dan mandiri, keuntungannya adalah mereka tidak lagi beban negara bahkan mampu menyekolahkan anaknya dengan baik.
Mereka yang sudah terlatih akan terus menerus menghasilkan produksi pertanian. Produksi pertanian mereka diintervensi pemerintah agar memiliki nilai tambah.
Jika Jokowi membuka lahan food estate kemungkinan gagal karena tidak pengalaman dalam mengelola pertanian. Era Soeharto lahan sejuta hektar sudah gagal total. Jika diberikan kepada BUMN maka hasilnya akan bersaing dengan produk petani. Petani tidak akan sanggup bersaing dengan BUMN.Â
Jika produk BUMN tidak laku, dengan mudah dijual ke Perum Bulog, bagaimana dengan produk petani? Andaikan harga produk pertanian  normal. Secara otomatis produksi pertanian meningkat.
Dalam rangka mendorong produksi pertanian, maka kebijakan yang tepat adalah jaminan harga produk pertanian dan pupuk yang tersedia. Bibit yang tersedia, pupuk dan jaminan harga secara otomatis meningkatkan produksi pertanian.Â
Lalu, jika food estate berhasil, dampaknya akan merusak harga petani dan kelebihan produksi. Dengan demikian, petani rugi eksploitasi lingkungan berjalan.
Ekonomi kita akan segera pulih jika kebijakan yang pro rakyat dialksanakan. Perpres Nomor 59 Tahun 2017 Tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) harus dipahami secara utuh.
Langkah prioritas dalam membangun adalah menuntaskan kemiskinan. Jika orang miskin dilatih dan diberikan modal kemudian diawasi secara berkelanjutan akan menghasilkan kemandirian rakyat. Tetapi dengan pemulihan ekonomi dengan membuka lahan baru tanpa melibatkan rakyat yang tidak memiliki pekerjaan akan menambah orang miskin.
Pemulihan ekonomi sejatinya membina penerima bansos dengan cara dilatih, diberikan modal dan dijamin harga hasil pekerjaan mereka.
Mengoptimalkan organisasi yang ada dengan menambah kewenangan atau mensinergikan lembaga dan menghilangkan tumpeng tindih dan menjauhkan egosektoral adalah jawaban kita menghadapi Covid 19 dan memulihkan ekonomi. Tentu saja semua kita disiplin dengan protokol kesehatan.
Walaupun resesi ekonomi dunia, Indonesia kuat karena beragam. Singapura resesi karena mereka fokus teknologi canggih untuk kebangkitan pariwisata dan iaya perawatan teknologi mereka tinggi.
Ketika wisatawan tidak ada tentu saja ekonomi mereka cepat bergolak. Singapura adalah contoh konsekuensi negara yang fokus dalam pertumbuhan angka ekonomi.Â
Indonesia juga terjebak dengan pertumbuhan ekonomi angka tanpa makna, tetapi kita kuat karena kita beragam. Sumber makanan kita ada di berbagai daerah.
Karena itu, jika pemerintah kerja keras dan memberikan kebijakan yang tepat maka ekonomi kita cepat puluh. Ancaman Covid 19 sejatinya dapat cepat diatasi jika kita disiplin. Kita disiplin, pemerintah bekerja efisien dengan kebijakan yang tepat dengan cara mengintegrasikan semua lini maka ekonomi kita pulih.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H