Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Dilema Parpol dan Rakyat Menemukan Bacalon Berkualitas di Pilkada 2020

18 Juli 2020   12:31 Diperbarui: 18 Juli 2020   12:29 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap perhelatan pesta  seperti Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg)  DPR Pusat, Provinsi, dan Kotamadya dan Kabupaten acapkali yang disalahkan adalah Partai Politik (Parpol).  Tidak jauh beda dengan  Pilkada serentak 9 Desember 2020 Parpol dianggap para aktivis atau penggiat medsos  dan semacamnya  sebagai biang kerok  tidak berkualitasnya  perhelatan rakyat.  Tidak berkualitas karena calon yang diusung dianggap tidak ada yang bermutu. Sesungguhnya apa kendala Parpol sehingga memunculkan kandidat yang tidak bermutu?.

Menjelang perhelatan pesta rakyat 9 Desember 2020  Parpol sebagian sudah memberikan rekomendasi  pasangan Bacalon Gubernur, Walikota dan Bupati.  rakyat menunggu siapa saja  Bacolon yang akan diresmikan KPU. Melihat perkembangan nama-nama  yang muncul, reaksi rakyat adalah kecewa.  Dalam kondisi pandemi ini, realitanya mau saja jadi Bacalon sudah tergolong bagus,  karena resiko yang akan dihadapi dimasa pandemi  luar biasa. Tidak sedikit yang mengundurkan diri menjadi Baclon karena dampak Pandemi ini.

Betul bahwa Bacalon yang  terus memberanikan diri maju dengan segala resiko sudah hebat, tetapi bagaimana sesungguhnya Bacalon yang ideal?.  Sahabat saya  aktivis sosial dan lingkungan Saurlin Siagian  menuliskan bahwa pemimpin yang ideal di Kawasan Danau Toba adalah  seperti Sosok Sisingamangaraja ke XII.  Sisingamangaraja ke XII memimpin dengan nilai-nilai budaya Batak.

Politik praktis kekinian telah kehilangan substansi nilai, karena survey menunjukkan realitas politik. Partai politik tau persis nilai-nilai itu, tetapi Parpol dituntut untuk menang. Parpol  berjuang sering melupakan nilai dan etika  karena target untuk menang. Seolah, tidak ada pilihan selain untuk  menang.  Berkompetisi untuk menang adalah hal wajar,  karena menyangkut hidup mati Parpol.   Ketika perang,  tidak lagi waktunya belajar etika dan menanamkan nilai.  Prioritas utama dan fokus  untuk  menang.

Belajar etika dan nilai adalah masa waktu sebelum perang.  Sebab, Parpol diperhadapkan dengan kuantitas. Parpol dipaksa berhitung jumlah yang beretika dengan yang tidak beretika.  Kompetisi itu ibarat pertandingan bola yang melakukan pelanggaran jika dianggap berbahaya. Kartu kuning atau kartu merah lebih baik daripada gawang  kebobolan, apalagi dimasa injury time. Itulah realitas politik kita kini.  Hal semacam ini yang tidak disadari para aktivis,  tokoh masyarakat dan komponen -komponen bangsa.

Bagaimana sebenarnya kondisi sekarang sehingga nama-nama yang muncul adalah  nama-nama yang mengecewakan?.  Dari nama-nama yang muncul  selama sosialisasi adakah yang tidak megecewakan?.  Jika ada nama-nama yang dikenal idealis  mereka sulit  terekam dalam survey.  Parpol pada umumnya melakukan survey elektabilitas  Bacalon. 

Elektabilitas adalah modal sosial yang kemudian dilihat dari jumlah dana yang dipersiapkan untuk berkompetisi.  Itulah yang disebut  popularitas dan isi tas.  Apakah salah dengan popularitas dan isi tas?. Tentu saja tidak. Politik memang membutuhkan biaya politik (cost politik).  Kecuali, calon yang bagus dikelilingi orang yang mau menyumbangkan biaya politik untuk memenangkan kompetisi.

Parpol sesungguhnya menginginkan  Bacalon yang memiliki kapasitas, popularitas, elektabilitas, integritas dan isi tas.  Tetapi, dimanakah dicari orang seperti itu?. Partai politik memilih siapa yang dipilih untuk melawan siapa?.  Parpol  mau tidak mau, suka tidak suka harus diperhadapkan kepada  siapa yang dipilih untuk menumbangkan lawan. Tentu saja akan lebih baik jika Bacalon itu memiliki nilai-nilai yang sesuai dengan nilai perjuangan Parpol pengusung.

Bacalon yang memiliki kapasitas, popularitas, elektabilitas, integritas minus isi tas banyak dimiliki kader partai politik.  Disatu sisi  orang yang fokus membangun integritas, kapasitas, dan elektabilitas lupa mengisi tas.   Disisi lain orang fokus isi tas  lupa membangun kapasitas, elektabilitas, integritas. Orang memiliki integritas sulit mengisi tas.  Integritas itu dibatasi etika, hukum dan kepekaan sosial.  Bukankah orang yang isi tasnya acapkali  mengambil hak orang lain?. 

Orang yang aktif di partai politik akan menghabiskan waktu mengurus partai politik. Jika mengurus partai politik   dan  berbisnis maka  terjadi conflict of interest. Hal ini menjadi pilihan yang sulit. Dipertaruhkan antara  integritas dan realitas. Dalam kondisi inilah sulit muncul Bacalon yang berintegritas dan Berkapasitas.

Dalam konteks ini sulit mengatakan kegagalan partai politik menyiapkan kader. Kader yang berkualitas dengan integritasnya, bisa tenggelam tanpa popularitas. Integritas dan kapasitasnya hanya diketahui internal Parpol. Tidak laku dijual ke publik.

Dalam kondisi sekarang popularitas dan elektabilitas bisa dibayar dengan uang.  Orang yang memiliki isi tas tinggal bayar konsultan politik untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas. Ide-ide kreatif dan  sosialisasi yang menghabiskan uang cukup untuk memenangkan kompetisi. Tetapi, hasil pesta rakyat semacam ini tidak dapat diharapkan untuk kesejahteraan rakyat. Pemenang yang dihasilkan seperti ini adalah hidup yang garing dan kesenjangan sosial. Tidak mungkin orang yang dulunya pikirannya hanya mengisi tasnya tiba-tiba berubah memikirkan isi perut rakyat. Hal itu, tidak pernah terjadi.

Tatkala Parpol diperhadapkan kepada Bacalon yang itu itu saja dan harus memilih, salahkah Parpol?. Andaikan survey  Bacalon baik dan budaya rakyat  pemilih baik, bukankah Parpol bisa didikte rakyat?.  Kedaulatan ada ditangan rakyat, apakah rakyat menggunakan kedaulatannya?.  Sesungguhnya, Parpol melihat kehendak rakyat mayoritas.  Tetapi, jika kita menyalahkan rakyat,  siap-siap dibulling. Padahal, survey sudah jelas bahwa pilihan Parpol adalah hasil survey.

Melihat realita ini, kita tidak tepat menyalahkan Parpol dan rakyat sebagai pemilih. Lebih baik menyalahkan diri sendiri karena kita gagal mencerahkan makna demokrasi. Andaikan kita berhasil membangun komunitas yang memahami kedaulatan rakyat, maka rakyat mampu mendikte Parpol dan kandidat. Rakyat yang memahami kedaulatannya terbatas, sementara yang menag adalah suara mayoritas. 

Dalam kondisi ini, kita terus menggelorakan makna demokrasi, dan membangun komunitas-komunitas yang memahami makna kedaulatan rakyat. Rakyat berdaulat harus mampu mendikte  kebijakan pemerintah dan Parpol jika salah  dalam  membuat kebijakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun