Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Naik Kelas dalam Urusan Politik di Pilkada 2020

17 Juni 2020   08:12 Diperbarui: 17 Juni 2020   08:08 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pilkada  serentak 9 Desember sudah dekat, bagaimana dengan persiapan perhelatan pesta demokrasi kita.  Di media kini semarak isu tolak politi uang, realistiskah?.  Isu politisasi  Bantuan Sosial (Bansos)  menjadi pandemi di daerah-daerah.   Bagaimanapun, sulit dibedakan masyarakat  apakah  Bansos itu dari pusat atau dari pengusaha atau dermawan lain yang pengelolaanya diberikan ke Pemda. Masyarakat hanya mengetahui yang memberi adalah Bupati atau Walikota.

 Andaikanpun Bupati atau Walikota jujur memberitahu bahwa Bansos itu dari pusat, masyarakat sudah mengatakan Bupati/Walikota itu  baik.  Jikalau masyarakat kita mampu membedakan Bansos itu dari pusat atau dari derwawan, secara otomatis  mereka adalah menolak bansos. Itulah realitas kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang kita miliki.

Jika Bupati/Walikota atau Gubernur memberikan sumbangan dengan memberitahukan sumber sumbangan atau Bansos itu sebetulnya masyarakat akan berempati. Tipe masyarakat kita tidak banyak yang mempersoalakan sumber bantuan,  masyarakat kita berterima kasih kepada yang memberi, bukan kepada sumber pemberi.  

Lagipula, sumber dana dari rakyat, bukan?. Jangankan masyarakat akar rumput, organisasi keagamaan saja belum banyak yang kritis kepada sumber dana apakah hasil korupsi atau tidak. Itulah sebabnya Bupati/Walikota yang mencalonkan kembali menyusun jadwal agar setiap pemberian Bupati/Walikota hadir dalam setiap pemberian.  Itulah keuntungan petahana.

Bansos yang menguras keuangan Negara yang menjadi pandemi politisasi petahana  akan menguntungkan petahana. Inilah konsep dasar yang keliru membangkitkan pendidikan politik dan ekonomi rakyat. Petahana dengan merasa bangga dan bahagia membagibagikan Bansos dan berbagai jenis bantuan ke rakyat. 

Padahal, kegiatan pemberian Bansos adalah bukti nyata kegagalan petahana membangun pendidikan politik dan ekonomi rakyat. Jika petahana sukses membangun berarti jumlah penerima Bansos akan sedikit bahkan nol.  Semua lelah dan sibuk memberikan Bansos ketika pandemi Covid 19 dampak atau akibat kegagalan kepemimpinan Bupati/Walikota. Kegagalan untuk membangun distribusi ekonomi dan  politik yang adil.

Dalam kondisi yang memprihatinkan ini, darimana dan bagimana cara memulai agar masyarakat kita rasional dan mandiri dalam ekonomi dan politik?. Selama ini pengamat politik dan rakyat cenderung menyalahkan partai politik.  Apakah benar sesungguhnya  kesalahan partai politik?.  Partai politik diperhadapkan kepada pilihan untuk memenangkan pertarungan dalam Pilkada. Partai politik mencari anak bangsa yang memiliki kapasitas dan popularitas  untuk memenangkan pertarungan politik.

Kontestan yang memiliki kapasitas dan popularitas cukup banyak, bagaimana dengan uang dalam pertarungan?.  Sejatinya,  kapabilitas dan popularitas cukup ideal untuk dimajukan, tetapi bagimana dengan kekuatan lawan yang memiliki uang yang banyak?.  Muncullah survey elektabilitas Bakal Calon (Bacalon). 

Ketika muncul hasil survey elektabilitas  Bacalon muncullah elektabilitas yang tidak kapabel  tinggi. Partai politik diperhadapkan kepada dilema. Dilema antara keinginan memunculkan orang yang memiliki kapasitas yang baik tetapi ternyata elektabilitasnya kalah dengan yang lain.

Partai politik di era digital ini menyadari bahwa hasil survey itu akurat. Hasil survey adalah gambaran masyarakat. Bacalon yang memberikan "kenyang" masyarakat dalam sosialisasi lebih popular dengan Bacalon yang sudah lama berjuang bagi rakyat.

Kita itu sulit memunculkan  Bacalon yang memiliki kapasitas, integritas tinggi karena menyangkut biaya politik.  Dalam mengisi kekosongan ini sejatinya muncul alternatif  kandidat yang selama  mengembangkan kapasitas dan integritas didukung oleh komunitas yang memiliki integritas. Seseorang yang memiliki integritas  memahami etika dan hukum.  Seseorang  yang memiliki integritas  memahami panggilan hidup dan panggilan hidup.

Di satu sisi kita menginginkan pemimpin yang berintegritas, kapasitas. Di sisi lain, dalam pertarungan politik membutuhkan biaya politik. Darimana sumber biaya politik bagi  seorang warga Negara yang memiliki kapasitas dan integritas tinggi?.  Sementara, jika kita ingin memiliki uang banyak maka kita  diperlukan kompromi tingkat tinggi.   Politisi memang harus kompromi, tetapi kompromi yang tanpa kehilangan makna. Kompromi inilah yang disebut fleksibilitas.  Kita tidak banyak memiliki kandidat yang berkapasitas, berintegritas dan fleksibilitasnya baik.

Jika kita telusuri umumnya kandidat yang bertarung di Pilkada adalah mereka yang pragmatis.  Masyarakat disuguhkan partai politik  calon-calon yang kapasitasnya terbatas tetapi popularitasnya dinaikkan dengan spanduk dan acara-acara yang sebetulnya jauh dari pendidikan politik rakyat yang baik.  Pendidikan politik rakyat baik adalah pendidikan yang berkelanjutan. Pendidikan politik yang berbasis di rakyat secara kontinu.    Fakta dilapangan adalah peserta pendatang yang hadir ke tengah rakyat untuk menaikkan elektabilitas.

Dalam kondisi ini siapakah yang memenangkan pertarungan Pilkada 2020?.  Dalam pertarungan Pilkada 2020 akan memberikan potret masyarakat kita. Masyarakat cerdas akan menolak petahana yang memanfaatkan  Bansos Covid 19.  Masyarakat cerdas akan menolak uang pemberian calon.  Berapa banyak yang melakaukan itu?. Itulah pertanyaan mendalam bagi kita.

Masyarakat dan pengamat politik yang menyalahkan partai politik perlu juga merenung akan dilema ini.  Jika argumentasi kita  menyalahkan  partai politik karena menyodorkan kandidat yang tidak bermutu, pertanyaanya adalah  siapa yang bermutu?.  Kemudian, mengapa partai politik tidak memiliki kader?. 

Dalam kondisi sekarang partai politik banyak kader yang baik dan berkapasitas, pertanyaanya adalah siapakah kader yang berkualitas mau jadi kandidat dalam realita politik kekinian?. Kader partai politik yang berintegritas sulit memiliki uang karena menghabiskan waktu untuk kegiatan sosial.  Kita belum banyak mendapatkan kader yang  kapasitasnya bagus, popularitas dan elektablitasnya tinggi dan memiliki uang.

Kader yang memiliki kapasitas, elektabilitas dan memiliki uang memang sangat sulit.  Mereka yang memiliki tiga kriteri itu adalah produk turun temurun yang nenek, kakek atau orang tuanya dulu Bupati, Gubernur, menteri, Presiden atau pengusaha.  Di era Jokowi misalnya, du kabinetnya anak menteri era Suharto.  

Dan anggota DPR kita  yang kini ketua DPR adalah cucu Presiden Soekarno yang juga putri Presiden Megawati Soekarno Putri.  Anggota DPR lain adalah  anak SBY, anak Gubernur, Bupati, adik Bupati dan lain sebagainya.  Jika kita melihat realita sekarang, investasi politik kakek, nenek dan orang tua sangat berperan untuk keturunannya.

Jika investasi politik kakek/nenek, orang tua dan saudara berperan penting untuk keturunan, apakah kita bertahan sebagai penerima politik uang?.  Kita tidak relevan lagi menyalahkan partai politik, karena partai politik sebetulnya ingin memenangkan pertarungan politik Pilkada 2020. 

Porsi kita adalah bersikap dengan politik cerdas dimulai dari diri sendiri untuk bangkit dalam memberi kontribusi terbaik bagi bangsa.  Sikap menerima uang untuk memilih calon adalah sikap paling buruk dalam politik. Sikap itu adalah sikap tinggal kelas dalam kehidupan. Apakah kita terus tinggal kelas?. Tinggal kelas yang miskin pengetahuan dan ekonomi?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun