KESEIMBANGAN BARU PASCA COVID 19 DAN PERSIAPAN Â GLOBAL WARMING
Sebelum pandemi  Corona Virus Disease (Covic 19)  merebak, hal yang paling menakutkan bagi dunia adalah pemanasan global (global warming).  Dunia  sulit menghentikan  aktivitas manusia untuk memberi kesempatan kepada bumi untuk  bernafas. Covid 19 datang  membuat  seluruh dunia memproklamasikan diri  agar tinggal di rumah (stay at home). Kekuatiran dunia akan ancaman pemanasan global (global warming)  belum terjadi, pandemi Covid 19 mengancam dunia. Negara-negara maju yang teknologi kedokterannya canggih pun dibuat tak berkutik.
Berbagai literatur  mengatakan bahwa dampak pemanasan global  adalah  cairnya es di Kutub Utara  yang mengakibatkan permukaan laut meningkat yang mengakibatkan pulau-pulau kecil akan tenggelam, kekeringan dan banjir di wilayah pertanian yang mengakibatkan tanah tanah pertanian akan rusak. Kerawanan pangan akan mengancam manusia  di kolong langit ini.Â
Kerawanan pangan akan semakin meraja lela karena pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim. Serangan hama tidak terkendali karena perubahan iklim. Berbagai macam  dampak akibat pemasan global. Karena itu, dunia  terus menerus berusaha menekan terjadinya pemanasan global (global warming).
Ketika Covid 19 datang, reaksi manusia tanpa mepertimbangkan ancaman pemasan global yang sebenarnya lebih tragis dari ancaman Covid 19.  Pemanasan global  (global warming) mengancam umat manusia di kolong langit ini, tetapi ketika Covid 19  yang mampu menghentikan manusia berhenti beraktivitas mengeksploitasi  bumi, respon umat manusia  adalah penggunaan disinfektan dari bahan kimia  yang berlebihan, hand sanitizer juga mengandung  bahan kimia dan detergen.Â
Reaksi cepat manusia  ke Covid 19 adalah membebani bumi dengan bahan-bahan kimia yang mencemari udara, air dan tanah. Hampir tidak ada usaha meminimalisasi penggunaan bahan kimi yang membebani bumi, atau memilih bahan kimi yang lebih ramah lingkungan pun tidak berusaha. Manusia fokus membunuh Covid 19 tanpa memikirkan dampak lingkungan.  Sikap kita selalu pragmatis  yang selalu membebani bumi. Demikian juga kebutuhan seharihari yang serba online yang mengahsilkan sampah yang luar biasa akibat bungkus belanja online dan pesanan  makan cepat saji dari online. Belanja online tidak sedikitpun memikirkan beban lingkungan.
Covid 19 memang berbahaya, tetapi dari pernyataan organisasi kesehatan dunia  World Health Organization (WHO) yang mengatakan cara mencegah adalah tidak berkerumun, jaga jarak, tidak bersalaman atau bersentuhan dengan pihak lain. Untuk lebih optimal memutus rantai penyebaran Covid 19  disepakati untuk tinggal di rumah (stay at home). Jika semua kita disiplin, maka penyebaran Covid 19 segera berakhir. Disiplin cara yang paling ramah lingkungan. Menggunakan disinfektan akan memunculkan masalah baru bagi tanah, air dan udara. Juga bagi kesehatan manusia  itu sendiri.
Covid 19 sejatinya dijadikan sebagai momentum penting untuk menyelamatkan bumi. Covid 19 telah nyata menghentikan eksploitasi  Sumber Daya Alam (SDA) di hutan, laut dan daratan seperti hutan. Polusi udara, khususnya di kota-kota besar di dunia  berkurang secara tajam. Covid 19 juga menyadarkan kita betapa rapuhnya kita selama ini dalam hal ketahanan pangan. Padahal, ancaman pemanasan global telah  kita ketahui akan ancaman rawan pangan.Â
Para pakar pangan di berbagai Universitas, aktivis lingkungan dan berbagai elemen masyarakat s  di negeri ini telah  berteriak akan ketahanan pangan kita.  Ketahanan pangan bisa  kuat jika  hasil pertanian lokal kita  kuat. Semua komponen menyepakati itu. Tetapi pemerintah selama ini membiarkan mekanisme pasar. Mekanisme pasar memporakporandakan hasil pertanian lokal kita.
Ketika Covid 19 datang  pemerintah mengambil kebijakan  pelarangan  impor daging   dari  RRC. Di sisi lain kita butuh  daging  kerbau dan sapi untuk  kebutuhan dalam negeri selama beberapa bulan kedepan.  Dalam  Rapat Dengar Pendapat (RDP)  Komisi VI DPR RI  dengan Bulog  pada tanggal 21 April 2020  bahwa daging tersedia 97.000 ton, sementara  Kemendag  memiliki 106.078 ton.  Berdasarkan data Ketahanan  pangan  Kementerian  Pertanian  kebutuhan daging kerbau/sapi  686.000  ton. Â
Jika bagi dalam sebulan kita butuh 50.000 ton daging.  Sebelum terjadi Corona  produksi daging dalam negeri  hanya  499.412 ton. Dalam kondisi ini tidak ada pilihan pemerintah selain impor daging. Jika daging mau diimpor dari luar negeri tidak ada akibat Covid 19, langkah apa yang harus dilakukan pemerintah?.  Pemerintah akan bingung. Inilah konsekuensi ketergantungan kita akan impor selama ini.
Jika kita mau memanfaatkan Covid 19 sebagai momentum pemebelajaran dan tidak terulan lagi kekeliruan kita selama ini  yang pasrah dengan mekanisme pasar maka  kebijakan yang harus dilakukan adalah memperkuat  atau memprioritaskan pertanian, perikanan dan peternakan. Tentu saja tidak mengabaikan kedaulatan energi dan kesehatan masyarakat kita.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menegah (UKM) dalam menyikapi Covid 19 misalanya hanya fokus kepada bidang jasa seperti advertising, driver online, fotographi dan videography, event orgainizer, service electronic. Kuliner, kerajinan tangan, fashion batik, Â aksesoris sepatu, tas, otomotif, pertanian (teh), konstruksi, pariwisata, tempat senam, digital printing, usaha berlian, driver online.
Kita tidak tahu kapan Covid 19 berakhir, maka prioritas  dana yang dimiliki pemerintah sejatinya bidang produksi pertanian, perikanan, dan peternakan.  Selama ini petani, peternakan, perikanan diabaikan.  Padahal, seorang petani sangat membutuhkan modal kerja seperti alat atau teknologi pertanian, benih yang unggul, pupuk dan alat teknologi panen. Petani sejatinya masuk dalam kategori Usaha kecil karena memiliki modal usaha.Â
Petani  sangat membutuhkan modal kerja agar hasil pertaniannya bias menyelamatkan kita dari ancaman kelaparan.  Dunia perikanan seperti nelayan dan budidaya juga membutuhkan modal kerja yang sangat mendesak. Nelayan membutuhkan modal kerja alat tangkap, perahu, cold storage, bahan bakar, dan biaya distribusi hasil tangkapan.Â
Budi Daya Perikanan juga terabaikan selama ini. Budi Daya Perikanan membutuhkan biaya membeli benih, pakan dan biaya panen. Â Demikian juga peternakan sangat membutuhkan modal kerja. Â Jika produksi pertanian kita terus meningkat, produksi ternak kita meningkat, kebutuhan ikan kita dari hasil tangkapan dan budidaya meningkat maka kebutuhan dasar kita terpenuhi.
Negeri ini tidak akan pernah terancam kelaparan  jika kita memahamai langkah apa yang menjadi prioritas kita. Selama ini, kita terjebak dengan pertumbuhan ekonomi dengan angka persentase dengan mengabaikan jika ancaman pandemic Covid 19. Andaikan selama ini kita menyiasati ancaman pemanasan global, ketika Covid 19 datang, maka sejatinya kita tidak berarti apa-apa.Â
Covid 19 membuka kotak Pandora bahwa kita tidak mempersiapkan diri untuk ancaman pemanasan global. Kita fokus  dan bangga akan pertumbuhan ekonomi yang pundasinya tidak kuat kepada ancaman global seperti pandemic Covid 19.  Covid 19 menjadi cambuk bagi kita untuk menyiapkan diri untuk ketahanan pangan dengan memperkuat petani, peternak, perikanan local.
Kini kita masuk ke kondisi baru yang disebut new normal  (normal) yaitu kondisi pemulihan setelah beberapa waktu di rumah saja (stay at home).  Kondisi ini kita lakukan sekaligus kita belajar untuk menyiasati ancaman pemanasan global (global warming). Berharap,  semua kita sadar agar bumi terpelihara dengan baik. Bumi akan baik-baik saja jika kita sadar bahwa kita hidup di bumi yang sama. Covid 19 telah mendidik kita untu sadar menyiasati  pemanasan global (global warning).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H