Selain itu jika ada “kekurang percayaan” ortu ke kita bukannya tanpa alasan lho. Mereka mengikuti perkembangan hidup kita mulai dari bayi hingga kita dewasa. Mereka mengetahui kelebihan dan kekurangan kita, kebaikan dan keburukan kita, setiap tarikan nafas kita. Mereka bisa menilai, meskipun belum tentu benar, seberapa bisa kita dipercaya.
Berbicara tentang kepercayaan, saya akan mencoba memberikan ilustrasi sebagai berikut: semisal adik2 mempunyai teman yang suka meminjam duit. Jika si teman pinjam uang lima ratus ribu rupiah, kemudian setelah dua minggu meminjam lagi sejuta rupiah, dan dua minggu kemudian meminjam lagi dua juta rupiah. Namun tiap kali pinjam tidak bisa menjelaskan kemana uang yang dia pinjam sebelumnya, apakah adik2 mau meminjamkan uang keempat kalinya?
Semisal pula teman yang sama setelah meminjam uang lima ratus ribu, dua minggu kemudian mengembalikan uang 600 ribu, kemudian meminjam sejuta mengembalikan 1500, dan selanjutnya meminjam 2 juta mengembalikan 3 juta rupiah. Apakah adik2 mau meminjamkan uang ketika dia meminjam keempat kalinya?
Saya rasa bukan hanya bersedia meminjamkan, bahkan kalau dia tidak datang meminjam uang lagi, kita akan mendatangi dia dan menanyakan kok kamu gak pinjam uang lagi sehh?? “Nih gua lagi punya duit 5 juta apa lu kagak butuh?” Betul gak? :).
Intinya adalah kepercayaan. Kekurang percayaan ortu ke kita sebenarnya adalah akibat dari tingkah polah kita juga. Hasil dari pengamatan mereka atas perkembangan hidup kita dimata mereka.
Hal ini akan menjadi masalah kalau komunikasi antara orang tua dengan anak kurang lancar, yang kerap menimbulkan salah paham yang berakibat pertengkaran, padahal mungkin keduanya benar.
Jadi perihal kecurigaan atau “ketidakpercayaan” ortu kita ini , janganlah terlalu diperbesar, dijadikan sesuatu yang membuat kita antipati terhadap mereka. Cobalah memandangnya dari penjelasan saya di atas.
Nah apabila kita yakin bahwa ide atau usulan kita benar, cobalah dulu membuktikannya dengan meminta pendapat teman. Jika sudah yakin sekali, namun kebentur “kekeras kepalaan” ortu, maka cobalah strategi sebagai berikut:
- Pertama, cobalah memikirkan factor apa yang membuat ortu kita keberatan akan usulan atau ide kita? Cobalah berpikir seperti ortu kita, jika memungkinkan simulasilah cara berpikir ortu kita, dan kemudian setelah itu mencoba membicarakannya dengan ortu kita.
- Kedua, coba meminta pertolongan pihak ketiga. Yang saya maksud pihak ketiga disini bisa ayah, kalau ibu yang menentang ide kita; atau sebaliknya ibu kalau yang menentang adalah ayah, atau bisa juga kakak atau bahkan mungkin adik. Biasanya yang lebih berpengaruh adalah Om atau Tante yang dipercaya oleh ortu kita. Secara psikologis susah bagi ortu untuk beragumentasi dengan “anaknya”, meskipun tentu saja banyak juga yang sudah sangat modern cara pandangnya, yang menurut mereka masih belum atau tidak berpengalaman. Dan juga karena itu tadi, mereka benar2 tahu sifat kita yang bertumbuh detik demi detik. Mereka, secara umum, akan lebih mudah menerima pendapat atau memuji anak Om dan Tante kita daripada kita sebagai anaknya. Demikian juga halnya Om dan Tante kita akan lebih mudah menerima pendapat kita atau memuji-muji kehebatan kita daripada anak mereka sendiri, karena mereka tidak pernah kita buat sakit kepala seperti yang kita lakukan ke ortu kita wkwkwkwk…
- Ketiga, cobalah minta seseorang membaca tulisan saya pertama dan kemudian menyarankan ortu kalian untuk membacanya, siapa tahu bisa membukakan jalan pikiran ortu kalian.
Prinsip dasar ketiga, on top of everything, this is about your life. Terus terang lama saya berhenti menulis begitu sampai di prinsip dasar ketiga ini. Saya ragu2 apakah saya akan menuliskan prinsip dasar ketiga ini, namun setelah saya pertimbangkan, akhirnya saya tulis juga.
Saya sering mendengar atau menghadapi beberapa kasus anak2 yang “dipaksa” menuruti kehendak orang tuanya, namun karena anak2 tersebut memiliki kemauann yang kuat atas rencananya sendiri, akhirnya menjadi tersiksa di dalam sisa hidupnya.
Saya tidak ingin lagi mendengar atau paling tidak saya ingin mengurangi ketidak bahagiaan anak2 yang “terpaksa” harus menuruti kehendak ortunya yang belum tentu sesuai dengan keinginan anaknya, demi apa yang disebut sebagai “berbakti”.