Mohon tunggu...
Guntur Saragih
Guntur Saragih Mohon Tunggu... -

Saya adalah orang yang bermimpi menjadi Guru, bukan sekedar Dosen atau Trainer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jokowi Ada Benarnya, Demokrasi Kita Ada yang Kebablasan

29 Maret 2017   06:50 Diperbarui: 29 Maret 2017   06:53 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat saya mendengar Presiden Jokowi mengatakan demokrasi kebablasan, spontan Saya kaget, mengapa pemimpin negata sampai hati mengutarakan hal tersebut. Walaupun tidak sepenuhnya benar, sebagian contoh perilaku menggambarkan.

Pilkada Menggunakan SARA

Lihat hari ini, betap miris melihat pilkada DKI, ada calon yang bernama Ahok begitu keukeu mmeprotes keyakinan agama mayoritas umat Islam. Dia dengan lantang memprotes tafsir  ayat Al Maidah yang dianggapnya tidak benar. Bahkan, rasa tidak sukanya telah sampai memperolok-olok ayat tersebut dengan menggunakannya becandaaan menjadi nama username untuk password Wifii.

Rasa toleransi antar umat beragama telah mulai pudar, seseorang dapat serta merta memprotes ajaran agamanya sendiri atau agama lain, jika hal tersebut merugikannya. Demokrasi melalui pemilihan langsung telah kebablasan. Demi meraih kemenangan, hal apapun dilakukan. Menolak ayat, menghina ulama yang berpendapat berbeda. Mendadak tampil lebih Islami, mengucapkan salam ala agama yang berbeda. 

Kebebasan Korporasi Media

Salah satu pillar demokrasi adalah elemen pers. Karenanya, saat reformasi hal tersebut menjadi salah satu tuntutan reformasi. Asumsinya dengan pers yang bebas, maka publik akan mendapatkan berita yang lebih benar dan berimbang. Kita masih trauma dengan orde baru yang membredel dan mengontrol berita TVRI.

Alih-alih media lebih independen, justru sebaliknya media semakiin terlihat partisan. Jika zaman pak Harto media lebih banyak mewartakan pemerintah, saat ini media menjadi pewarta tim sukses atau humas Parpol.

Demokrasi menjadi terbelenggu oleh kapitalis. Demokrasi kebablasan, karena menyerahkan kedaulatan pemberitaan pada pemodal. Presiden tak lagi kuasa menolak industri media partisan.

Demokrasi Sponsor

Kalau dahuludukungan moril tokoh masyarakat begitu ampuh, sekarang itu telah terdegradasi. Pilkada mahal, maka sponsor pun menjadi lagu wajib. 

Lihat saja bagaimana PPP sampai hati melwan arus konstituennya dengan memilih Ahok diputaran II dengan alasan ingin menjaga soliditas partai pemerintah.

Mengembalikan Kepemimpinan Presiden

Suka tidak suka, negeri ini butuh kehadiran pemimpin. Masyarakat tidak mampu berhadap-hadapan langsung dengan pemodal. Presiden sudah benar curiga dengan demokrasi kita yang kebablasan, tetapi cara pandangnya yang perlu kita renungkan. Kebablasan bukan karena jutaan orang berdemo, bukan karena demokrasi dibahas dalam ruang publik. Kebablasan karena kekuasaan modal sudah begitu membelenggu. 

Kebablasan karena sekarang TV kita sudah layaknya fraksi di DPR. Kebablasan karena dengan modal buzzer telah begitu leluasa melakukan fitnaj, provokasi, intimidasi. Kebablasn karena calon peserta pilkada harus mendapat restu pemodal.

Demokrasi pada dasarnya bukanlah kebebasan, melainkan pengendalian kehendak. Namun yang terjadi adalah pengendalian orang yang berkehendak. Dominasi kekuasaan rezim pemerintah bergeser kepada pemodal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun