Mohon tunggu...
Guntur Saragih
Guntur Saragih Mohon Tunggu... -

Saya adalah orang yang bermimpi menjadi Guru, bukan sekedar Dosen atau Trainer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Reaksi "Adem Ayem" Publik terhadap Ditolaknya Banding Jessica

15 Maret 2017   23:16 Diperbarui: 16 Maret 2017   16:00 1358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kita masih ingat betapa besarnya antusias masyarakat dan media memperhatikan proses sidang Jessica, kasus kopi sianida Mirna. Bukan artis, bukan pejabat publik, bukan pula pembunuhan massal, persidangan Jessica ditonton layaknya kasus yang mampu menjungkirbalikkan republik tercinta.

Namun, saat sidang banding menghasilkan keputusan, liputan berbagai media sangat minim, masyarakat sudah tak peduli. Hidup tetap normal, warung kopi masih lebih tertarik ngomongin Ahok, dan suap E-KTP. Berikut berita hasil sidang banding Jessica.

Detik.com per 13 Maret 2017 mewartakan dengan judul " Banding Ditolak, Pengacara: Jessica Kaget, Menangis dan Sedih Sekali ".

Berita tersebut tidak tergolong dalam headline, tidak banyak komentar dari berbagai pihak. Tidak banyak sorotan kamera televisi. Semuanya jauh berbeda dengan persidangan di pengadilan negeri saat hakim memutuskan Jessica bersalah.

Hingar bingar dari yang pro dan kontra terhadap Jessica pada dasarnya hanya berada dalam mind game. Akibatnya, muncullah perilaku yang begitu kuat, berupa penantian hasil pertandingan. Sama seperti atlet, Ia hanya dibicarakan saat pertandingab dan sesaat setelahnya.

Jessica sudah kembali diposisikan orang normal yang sedang berperkara. Jessica tidak lagi dibawah tekanan publik yang begitu berlebihan mengeksploitasinya. Jessica dapat dengan tenang memperjuangkan apa yang ia anggap benar dipengadilan.

Tingginya liputan media dalam sidang Jessica menjadi hambar, saat masyarakat tidak menempatkannya sebagai pembelajaran. Pandangan para ahli dan kelihaian pengacara dan jaksa menjadi kurang bermakna, karena riuh yang terjadi hanya dalam konteks game.

Apa yang dipikirkan dalam ranah metakognisi atas kasus Jessica bukanlah konteks untuk melakukan renungan dan perbaikan diri. Kubu-kubuan yang terjadi bukan dalam domain metakognisi sebagai nilai-nilai, melainkan hanya sekedar keegoan untuk memenangkan tebakan.

Dalam ranah metakognisi, perbuatan sesorang sangat bergantung dengan self motivation, sehingga tampilan luar dan hingar bingar sebenarnya hanya bungkus dari konsekuensi dari motivasi yang ada dalam metakognisi. Benar, begitu banyak masyatakat yang radikal dalam menyikapi kasus Jessica, namun kembali lagi motivasi dasarnya lah yang menentukan, apakah pasca pengumuman sidang sikapnya masih sama pedulinya.

Kepedulian dan antusias menyaksikan kasus Jessica oleh sebagian besar bukanlah berangkat dari nilai-nilai yang dianggapnya dilanggar. Akibatnya, setelah Hakim memutuskan sidang, yang terjadi adalah "bye bye Jessica.

Oleh karena itu, tak perlu heran ketika pilkada DKI, ada begitu banyak silang pendapat, ada begitu banyak konflik, ada saling hujat, tetapi pasca pilkada, pihak yang pilihannya menang sudah tidak peduli atas pencapaian kinerja, hal yang sama dengan yang kalah. Pilkada hanya untuk seru-seruan, bukan perang ideogi dan lain sebagainya. 

Oleh karena itu, barangkali tindakan yang memamerkan segala sesuatu ke publik seharusnya tidak diperlukan. Karena bukaannya pembelajaran yang terjadi, melainkan permusuhan. Hari ini, mungkin saja masih ada pihak yang rusak silturahmi hanya karena berdebat saat sidang Jessica, padahal pasca sidang mereka audah tidak peduli.

Pada dasarnya, publik akan menunjukkan sikap awamnya. Sikap yang didasari oleh pemikiran pragmatis. Karenanya, model yang terlampau melibatkan publik perlu ditinjau ulang. Publik pada dasarnya mempunyai mekanisme perwakilan dalam rujukan sikapnya. Publik banyak menggantungkan pada orang tertentu untuk menentukan sikap, baik itu manusia secara fisik maupun wujud non fisik (gaib).

Publik tidak banyak mempermasalahkan, Ahok yang tidak melanjutkan program Jokowi kampung deret. Publik sudah lupa, kalau Jokowi akhirnya tidak menyelesaikan tugasnya. Publik tidak.lagi membahas pencapaian visi misi Jokowi Ahok. Publik lebih banyak seru-seruan menunggu hasil pilkada. 

Demokrasi pemilihan langsung yang ongkosnya besar ini, pada dasarnya sangat sangat tidak efektif. Ekses yang terjadi jauh lebih besar dari manfaat. Pemikiran untuk melakukan pemilihan tidak langsung perlu dihidupkan lagi. Hal ini dikarenakan, publik memiliki mekanisme perwakilan dalam komunitasnya. Publik cukup memilih wakilnya, jika pun wakilnya berkhianat, itu mencerminkan kita belun bisa naik kelas.

Sampai tulisan ini dibuat, babak baru kasus Jessica ada di MA, saya yakin, publik tidak terlampau peduli. Jika Jessica nantinya dinyatakan tidak bersalah, publik juga tidak rkecewa. atau jika keputusan MA menjatuhkan hukuman yang sama, atau lebih memberatkan publik yang kontra Jessica tidak begitu semangat.

Karena, pada dasarnya publik memiliki banyak hal dalam hidupnya. Nilai-nilai hidupnya lah yang menentukan prioritas, jadi tidak perlu semua pihak harus ikut serta memilih pemimpinnya. Karena pada akhirnya, publik akan lebih fokus pada kehidupan hari-harinya. Serahkan saja kepada pihak yang rela hidup dalam dunia politik yang panas dan penuh jebakan. Biarkan mereka saja yang ditangang melewati jebakan. Publik kembali kerja, kerja, kerja, ......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun