Kebijakan pertama yang diambil Presiden Trump adalah tentang peninjauan program Obamacare yang selama ini diandalkan oleh masyarakat tidak mampu. Kebijakan pertama ini menunjukkan prioritas Trump dalam mengelola negara Amerika Serikat. Trump dengan mantap mengambil kebijakan tersebut, tidak terlihat rasa empati untuk jutaan warga Amerika yang akan kesulitan sebagai konsekuensi kebijakan.
Trump menyampaikan kebijakan penghapusan Obamacare tanpa empati baik dalam gesture maupun pernyataannya. Trump melihat kebijakan ini sebagai arah kepentingan pemerintahannya atau mewujudkan jani-janjinya di masa kampanye. Ia memutuskan kebijakan tersebut untuk dirinya yang sedang menanggung amanah sebagai presiden Amerika Serikat. Oleh karenanya, puluhan juta warga Amerika yang akan mengalami kesusahan hanya dianggap sebagai trait dalam konteks pemerintahan negara sebesar Amerika Serikat. Kebijakan presiden tidak akan mampu menghindar dari dampak negatif terhadap kelompok masyarakat tertentu.
Di dalam negeri, selain kelompok warga miskin Amerika Serikat, kelompok komunitas Muslim, imigran Meksiko, kulit hitam berharap-harap cemas. Hari demi hari menjadi begitu menakutkan. Pernyataan Trump yang begitu vulgar menjadi virus yang begitu menakutkan. Dalam beberapa kesempatan, Trump dengan mudahnya menyampaikan permintaan maaf, padahal dampak perasaan yang telah ia timbulkan begitu besar. Bagi Trump, itu hanya penyampaian kata-kata. Ia tidak merasa orang yang mendengar menjadi resah. Ia menganggap masalah akan selesai jika minta maaf.
Trump dan Kepekaan Sosial
Trump yang kita tahu adalah anak pengusaha. Ia sudah kaya semenjak lahir. Ia menjadi bos dalam setiap perjalanan hidupnya. Sebagai kelas atas, Trump kecil tidak bersinggungan, apalagi bersentuhan dengan orang miskin atau yang lebih rendah. Interaksi dengan orang yang lebih rendah bukanlah hubungan antarmanusia, melainkan hubungan kerja. Hubungan antara Trump sebagai majikan dengan pembantu rumah tangganya, caddy golf, dan model-model dalam bisnis. Hubungan seperti ini tidak menyampaikan rasa sebagai manusia, yang ada hanyalah wujud dari pelayanan. Meskipun bersama, saya ragu Trump berkomunikasi sebagai manusia.
Ia tidak pernah merasa kelaparan meskipun ia juga pernah mengalami kerugian besar dalam bisnisnya. Ia tidak merasa ketakutan menjadi orang miskin meskipun perusahaannya ada yang bangkrut. Pengalaman kegagalan usaha tidak sama dengan kegagalan mencukupi kebutuhan hidup meskipun keduanya dapat digolongkan dalam konteks masa krisis. Pengalaman menjadi orang miskin membuat seseorang merasa betapa berharganya persaudaraan, sedangkan pengalaman bangkrut berbicara tentang harga kemitraan.
Walaupun demikian, Trump bukanlah manusia yang tidak memiliki kepekaan sama sekali. Pengalaman hidup Trump yang begitu luas dengan berbagai komunitas bisnisnya akan melahirkan kepekaan dalam konteks bisnis. Kepekaan untuk menemukan peluang, mengantisipasi risiko, menghadapi persoalan bisnis tentunya sudah menjadi kesatuan hidup dalam dirinya.
Presiden yang ditempa versus yang terpilih
Trump bukanlah pemimpin yang ditempa dari proses kepemimpinan negara. Ia bukanlah kader yang mendapatkan pembelajaran. Ia ditempa dalam kehidupan bisnis. Akibatnya, kepekaan yang ia miliki adalah kepekaan menjalankan bisnis yang sangat dinamis dan penuh otoritas. Dalam kepemimpinan bisnis, ia memimpin pegawai, bukan rakyat. Ia menjalin hubungan dengan pihak luar sebagai mitra dagang, bukan mitra negara.
Berangkat dari pemikiran, pemimpin merupakan hasil gabungan fungsi bakat dan pengalaman, maka sudah seyogianya ia merupakan orang yang disiapkan. Kepekaan merupakan hasil kemampuan memaknai dari pengetahuan dan pengalaman. Model demokrasi menghasilkan pilihan peserta pemilu, bukan pilihan rakyat. Rakyat tidak mungkin memilih pemimpin yang tidak peka terhadap dirinya.
Pemimpin nasional ada baiknya sosok yang telah melewati tempaan. Meskipun demikian, pemimpin nasional bukanlah ala kerajaan di mana urusan genetis menjadi ukuran mutlak, atau putra daerah yang hanya mengandalkan garis keturunan. Pemimpin harus yang dipersiapkan karena kepekaan tidak dapat diajarkan. Negara harus tampil dalam mempersiapkan. Dalam iklim demokrasi, partai politik merupakan pihak yang paling bertanggung jawab. Belajar dari Trump, pemimpin yang berasal dari partai Republik, namun bukan ditempa.Â
Kepekaan Melahirkan Empati, Bukan Emosi
Pemimpin yang peka muncul dari tempaan hidup. Ia tidak dalam menara gading eksklusivitas lembaga pendidikan, namun ia juga harus berhadapan langsung dengan rakyat yang sebenarnya, melihat bagaimana kesusahan, melihat bagaimana harapan dan sukacita. Pemimpin yang seperti ini akan berbicara penuh dengan kehati-hatian karena ia tahu setiap keputusannya punya dampak besar. Ia tidak berbicara semata-mata untuk mewujudkan program dan hutang atas janjinya. Ia berbicara juga memperhatikan ketersinggungan.
Kepekaan menyangkut kemampuan merasakan apa yang orang rasakan. Khusus presiden, maka ia mampu menempatkan rasa itu. Ia harus mampu merasakan bagaimana ketakutan komunitas muslim yang diintimidasi oleh perkataannya. Ia menaruh rasa empati pada imigran yang hari-harinya dibayangi adanya deportasi.
Empati bukan harus melahirkan simpati karena pemimpin tidak dapat menjalankan semuanya. Lihatlah bagaimana Presiden Jokowi mampu memindahkan pedagang kaki lima di Solo dengan sukarela dan sukacita. Meskipun rakyat harus mengalah dengan kebijakan, harga dirinya tidak dikalahkan.Â
Kepekaan Buah dari Perasaan, Bukan Pengetahuan
Bersyukurlah orang-orang yang mendapat kesempatan berinteraksi dalam kehidupan sosial di mana ia menjadi satu bagian dari masyarakat tertentu. Bandingkan dengan orang lain yang tidak pernah berinteraksi sebagai anggota sosial. Ia hanya bermitra, bukan berteman. Ia berjumpa, namun tidak bergumul; ia berbicara, tetapi tidak berkomunikasi; ia bersama, tetapi tidak bersamaan. Kepekaan terhadap kehidupan sosial tidak akan terjadi dengan individu seperti ini.
Oleh karena kepekaan hasil kerja otak yang terkait dengan rasa, kepekaan tidak dapat digantungkan dengan sekolah atau dengan buku pelajaran. Kepekaan harus langsung mencemplungkan anak dengan realitas sosial, bukan sekadar menghadapkannya atau mengunjungi. Perilaku raja-raja terdahulu yang langsung turun ke masyarakat pada dasarnya bukan hanya sekedar mencari tahu keadaan rakyatnya, tetapi juga untuk mempertajam kepekaan. Kegiatan blusukan yang selama ini menjadi populer dilakukan kepala daerah atau presiden pada hakikatnya hanya pada level mencari tahu atau bahkan menyebarluaskan informasi agar rakyat menjadi tahu tentang kepedulian pemilihnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H