Mohon tunggu...
Guntur Hidayahtullah
Guntur Hidayahtullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UPNV Jatim Fakultas Pertanian Program Studi Agribisnis

Hobi saya menonton film

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penjahit Sang Saka Merah Putih, Kisah Inspiratif Ibu Fatmawati

20 November 2024   22:47 Diperbarui: 21 November 2024   01:29 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Biodata Ibu Fatmawati

Ibu Fatmawati Soekarno adalah tokoh penjahit bendera Merah Putih, beliau lahir di Pasar Padang Bengkulu pada 15 Januari tahun 1923 dan wafat pada 14 Mei 1980. Beliau merupakan anak dari pasangan Hassan Din dan Siti Chadidjah. Dikutip dari buku Sejarah karangan Prof Dr. Habib Mustopo dkk, Fatmawati menempuh pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) dan sekolah kejuruan.


Sejak dulu, Ibu Fatmawati aktif berorganisasi dan menjadi pengurus Nasyiatul Aisyiah. Ia bertemu dengan Soekarno pada tahun 1938. Kala itu Soekarno merupakan salah satu gurunya di Muhammadiyah. Fatmawati menikah dengan Soekarno pada tahun 1943 dan memutuskan tinggal di Jakarta.

Pernikahan dengan Bapak Soekarno

Ibu Fatmawati pertama kali bertemu dengan Bapak Soekarno ketika dipindahkan dari pengasingan di Flores ke Bengkulu oleh pemerintah Belanda. Bapak Soekarno, yang saat itu menjadi anggota Muhammadiyah dan guru di sana, kemudian melamar Ibu Fatmawati. Setelah menceraikan Inggit, Soekarno dan Fatmawati menikah di Jakarta pada 1943.

Pertengahan Agustus 1945, Soekarno dan Moh. Hatta menghadapi tuduhan kolaborasi dengan Jepang, Fatmawati sendiri yakin suaminya tidak pernah mengkhianati perjuangan bangsa Indonesia. Sebab, ia sendiri menyaksikan semangat suaminya membahas sila-sila dalam konsep Pancasila.

Terlibatanya Ibu Fatmawati dalam Proklamasi

Pada 1 Juni 1943, Fatmawati berangkat menuju Jakarta. Sejak itu, beliau  mendampingi Bapak Soekarno dalam perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Dalam mendampingi suaminya tersebut, Ibu Fatmawati turut meninggalkan jejaknya dengan menjahit bendera Sang Saka Merah Putih. 

Sesuai janji kemerdekaan dari Jepang pada September 1944, rakyat dapat mengibarkan bendera merah putih berdampingan dengan bendera Jepang pada hari-hari besar. Namun, di masa itu rakyat yang bahkan menggunakan pakaian dari karung atau goni kesulitan memperoleh kain, dikutip dari Menyelisik Museum Istanan Kepresidenan oleh Dr Kukuh Pamuji, MPd MHum.

Perwira Sendenbu (Departemen Propaganda Jepang), Kolonel Hitoshi Shimizu memerintahkan seorang perwira Jepang untuk mengambil kain merah dan putih secukupnya dan memberikannya ke Ibu Fatmawati. Dua blok kain merah-putih halus itu setara jenis primissima yang dipakai untuk batik tulis halus. 

Kain itu diperoleh dari gudang di Jalan Pintu Air, Jakarta Pusat. Chairul dari golongan muda mengantarkannya langsung ke Pegangsaan, tempat Ibu Fatmawati yang sedang hamil tua tinggal.

Bendera merah putih pusaka itu dijahit di ruang makan, depan kamar tidur Fatmawati. Ia menjahitnya dengan mesin jahit Singer yang digerakkan dengan tangan. 

Kondisi badan dan besarnya bendera membuat Fatmawati butuh dua hari untuk menyelesaikan pembuatannya di akhir 1944. Pada Jumat, 17 Agustus 1945, Fatmawati mendapati rumahnya banyak dikerumuni orang yang saat itu menyerukan Soekarno keluar dari rumah untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. 

Soekarno saat itu pun keluar bersama Moh. Hatta yang mengiringi menuju mikrofon. Fatmawati dan Soerastri Karma Trimurti pun menuju tiang bendera sambil membawa Sang Saka Merah Putih dengan tertib dan khidmat. Hadirin pun menyanyikan lagu Indonesia Raya tanpa musik pengiring.

Kisah Haru di Balik Proses Penjahitan Bendera Pusaka

Bendera Merah putih pertama kali dibuat oleh Fatmawati pada tahun 1944. Menurut buku Ziarah Sejarah yang disusun oleh Hamid Nabhan, Sang Saka Merah Putih terbuat dari katun Jepang dengan ukuran 274 x 196 cm. Sebagai sosok yang tangguh, Fatmawati menjahit bendera Merah Putih dengan mesin jahit Singer yang dijalankan dengan tangannya. Saat itu, ia tengah hamil tua dan dokter melarangnya untuk mengoperasikan mesin jahit dengan menggunakan kaki.

Kukuh Pamuji mengatakan dalam buku Menyelisik Museum Istana Kepresidenan Jakarta, karena kondisi fisik Fatmawati yang tengah hamil tua dan ukuran bendera yang besar, pekerjaan menjahit bendera itu baru selesai dalam waktu dua hari.

Pada salah satu buku karya Bondan Winarno dengan judul Berkibarlah Benderaku terdapat sejumlah kutipan dari penjahit bendera Pusaka itu. Seperti momen haru ketika Fatmawati meneteskan air mata dan sekelumit cerita tentang dirinya yang sedang dalam kondisi hamil tua saat menjahit.

"Berulang kali saya menumpahkan air mata di atas bendera yang sedang saya jahit itu"

"Menjelang kelahiran Guntur, ketika usia kandungan telah mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah Putih"

Bendera Merah Putih dikibarkan pertama kali pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 (kini Jalan Proklamasi), Jakarta oleh Latief Hendraningrat, Suhud Sastro Kusumo, dan SK Trimurti.
Pada tahun 1946-1968, bendera tersebut dikibarkan hanya pada saat 17 Agustus saja. Sejak tahun 1969, bendera Pusaka tersebut tidak berkibar lagi karena sobek, namun tetap disimpan di Istana Merdeka.

Keteladanan Ibu Fatmawati

Sebagai Ibu Negara Republik Indonesia yang pertama, Ibu Fatmawati selalu setia mendukung perjuangan Presiden Soekarno, selalu memberikan keteladanan tentang pentingnya pengorbanan, dan selalu menekankan pentingnya menjaga semangat, menjaga mimpi di tengah keterbatasan-keterbatasan yang ada. 

Pada era Presiden Abdurrahman Wahid, Fatmawati dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, melalui surat Keputusan Presiden RI Nomor 118/TK/2000 tanggal 4 November 2000. Fatmawati meninggal dunia dalam perjalanan pulang dari Arab Saudi, setelah dirinya menunaikan ibadah Umroh. 

Fatmawati mengalami serangan jantung saat pesawatnya transit di Kuala Lumpur dan meninggal di General Hospital pada tanggal 14 Mei 1980. Fatmawati tutup usia di umur 57 tahun dan dimakamkan di TPU Karet Bivak Jakarta.

Sebagai tanda bukti hormat atas perjuangan Ibu Fatmawati sekaligus untuk mengingatkan kita semua untuk meneladani sikap kenegarawanan Ibu Fatmawati serta memotivasi bangkitnya sikap-sikap kepahlawanan, maka dibangunlah sebuah monumen di Simpang Lima Ratu Samban Kota Bengkulu. 

Monumen yang berdiri kokoh di pusat Kota Bengkulu, tak jauh dari Rumah Fatmawati tersebut dikenal dengan nama Monumen Fatmawati. 

Monumen ini menggambarkan peristiwa sejarah dijahitnya Bendera Merah Putih oleh Fatmawati. Monumen yang sangat indah ini merupakan karya salah satu maestro patung Indonesia, I Nyoman Nuarta. Ia merupakan perupa asal Bali yang mempersembahkan karyanya untuk masyarakat Bengkulu dan juga masyarakat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun