Mohon tunggu...
Gunawan Prasetyo
Gunawan Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - Magister Ilmu Komunikasi

---

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wayang Ukur: Hibriditas Budaya Sebagai Media Komunikasi

23 Januari 2025   12:35 Diperbarui: 23 Januari 2025   12:35 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wayang adalah salah satu bentuk kesenian dan merupakan warisan budaya Indonesia yang tak ternilai harganya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi wayang adalah boneka tiruan orang yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional. Wayang cukup besar mendapat perhatian karena berkaitan dengan esensinya terhadap religi maupun keyakinan masyarakat Jawa. Secara eksplisit, wayang dianggap sebagai media dalam menyatukan masyarakat yang tidak terbatas pada jumlah masyarakat, tetapi pada unsur yang lebih mendalam, yakni klasifikasi sosial masyarakat. Secara implisit, pagelaran wayang membebaskan individu dari sekelumit sistem yang dibentuk oleh masyarakat, seperti jenis kelamin, umur, profesi, kedudukan dan kekayaan. Wayang merupakan sebuah pergelaran yang bercerita tentang mitologi Ramayana, Mahabarata, dan beberapa mitologi lainnya.

Kondisi saat ini adalah wayang mulai ditinggalkan masyarakatnya. Para penonton yang terbiasa menonton wayang disuguhkan oleh kesenian lain seperti dangdut, live musik, dan lain sebagainya. Selain itu,  seiring berjalannya waktu, lahirlah bentuk-bentuk seni baru, kondisi sosial yang terus berubah, dan tuntutan masyarakat yang semakin beragam. Dampak globalisasi, modernisasi, dan westernisasi berdampak pada segala bentuk kebudayaan. Perkembangan besar-besaran telah melahirkan kesenian yang baru dan lebih menarik. Tatanan nilai mulai ditinggalkan, tuntunan mulai dilupakan, dan tontonan lebih diutamakan. Kesenian modern ditujukan kepada tataran yang luas, dan itu menjadi persoalan yang kompleks bagi kesenian tradisional. Akibatnya, cara agar kesenian tradisi dalam menjaga eksistensinya adalah beradaptasi dengan seni modern seperti film, video, televisi dan radio. Kesenian yang beradaptasi dengan keadaan merupakan upaya dalam menjaga eksistensinya dalam menghadapi perkembangan zaman yang didukung oleh kecanggihan teknologi informasi.

Untuk menjaga eksistensi kesenian tradisi khususnya wayang salah satunya adalah wayang ukur. Wayang ukur merupakan pertunjukkan kolaborasi dari beberapa seni, seperti seni tari, seni pedalangan, seni suara, seni rupa, seni sastra dan tata cahaya. Dalam wayang ukur wajib dipentaskan tarian yang sering disebut dengan tari "love dance" karena inti pesan yang disampaikan dalam wayang ukur ialah tentang cinta kasih dalam memelihara dunia. Selain itu, dalam pementasannya menggunakan berbagai macam bahasa yang disesuaikan cerita maupun wilayah, daerah atau tempat wayang ukur itu mementaskan. Sehingga ketika wayang ukur dipentaskan, bahasa yang digunakan bisa menggunakan bahasa asing, bahasa Indonesia dan bahasa daerah lainnya selain bahasa jawa. Tulisan ini mengarah pada wayang ukur sebagai studi kasus dari pembahasan, karena wayang ukur tidak hanya merupakan wujud adaptasi, tetapi juga wujud hibriditas budaya yang ada. Perpaduan antara nilai lokal dan nilai global dengan tidak menanggalkan salah satu kebudayaan, tetapi mengkombinasikan kebudayaan yang ada.

Wayang Ukur

Indonesia memiliki berbagai jenis wayang, salah satunya adalah wayang ukur. Wayang ukur diciptakan pada tahun 1974 di Yogyakarta oleh Sigit Sukasman. Sejak tahun 1950-an sampai tahun 2000-an kehidupan sukasman selalu berada di lingkungan para penggiat seni wayang. Dia begitu terobsesi akan wayang kulit purwa kasih sejak kanak-kanak. Namun dia tidak menerima wujud, bentuk, dan cara memainkan wayang sebagaimana yang sudah mentradisi. Sukasman merenungi wayang purwa, mempertanyakan secara kritis, mempelajari secara mendalam, dan mempraktekkan hasil studi serta observasinya dengan membuat wayang menurut penafsiran dan cakrawalanya sendiri. lebih radikal lagi, sukasman menciptakan suatu genre seni pertunjukkan wayang kulit, yang dinamakan wayang ukur. (Marianto, 2019)

Awal mula ide diciptakannya wayang ukur adalah ketika sukasman mendapat tugas di Amerika Serikat untuk membuat dekorasi dalam acara New York World fair pada tahun 1964. Setelah dari Amerika, sukasman kemudian berpindah ke Belanda dan selama merantau di negeri orang sukasman sering memadukan unsur-unsur barat dalam wayang ukur. Dalam perjalanannya, wayang ukur pernah dipentaskan di Vancouver (kanada) dalam kegiatan festival kesenian dunia, pernah juga diundang ke Union Internationale de la marionnette-Unima di Magdeburg (Jerman) dan pada tahun 1974 wayang ukur hasil eksperimen sukasman dipamerkan di Pekan Wayang Indonesia.

Wayang ukur juga memiliki perbedaan dalam segi warna, durasi pementasan, dan teknik penyampaiannya. Wayang ukur selalu mementaskan dengan konsep kolosal kontemporer tanpa menghilangkan sifat klasiknya. Durasi pementasan wayang ukur minimal satu jam dan maksimal dua jam dengan dalang utamanya tetap satu orang namun dibantu oleh dalang pembantu yang berjumlah tiga orang atau lebih. Sehingga dalam pementasan wayang ukur, jumlah dalang yang memainkan wayang boneka bisa berjumlah 5 -- 10 orang. Menurut sukasman hal tersebut dilakukan supaya dalang-dalang yang ada dapat mengekspresikan keahliannya dan juga saling berbagi rejeki. Iringan musik yang digunakan dalam wayang ukur biasanya menggunakan gamelan tradisional yang ditampilkan secara langsung dan tidak langsung atau dalam bentuk rekaman, selain itu iringan musik yang digunakan dapat berupa musik modern seperti lagu-lagu barat yang  berasal dari Youtube, CD atau rekaman lainnya yang disesuaikan dengan suasana yang dibutuhkan.

Dalam pementasan wayang ukur terdapat beberapa pakem/aturan yang dibuat sendiri namun menurut sebagian seniman wayang pakem tersebut menyimpang dan dianggap merusak pakem wayang juga merombak tata sungging wayang yang telah ada, beberapa gagasan baru yang terdapat dalam wayang ukur antara lain:

1. Kelir/Layar, biasanya digunakan sebagai pembatas antara dalang dan penonton, namun dalam pementasan wayang ukur kelir digunakan sebagai salah satu properti untuk menampilkan ilustrasi 3 dimensi.

2. Kaidah seni rupa dan teknik tata cahaya yang baru. Dalam pertunjukkan wayang ukur, jumlah lampu yang dipakai tidak hanya satu melainkan terdapat 120 lebih lampu dengan warna yang bervariasi.

3. Dalam penyampaiannya menggunakan bahasa Indonesia bahkan terkadang memakai bahasa asing, padahal wayang ukur merupakan wayang yang berasal dari Yogyakarta sehingga besar kemungkinan dalam penyampaiannya menggunakan bahasa Jawa.

4. Dalam pementasannya dipadukan dengan unsur-unsur seni tari, teater, gamelan dan sastra yang tidak tunduk pada konvensi tradisi.

Teori dan Praktik Hibriditas

Hibriditas pada dasarnya menyerang beberapa aspek semisal budaya, politik, ekonomi dan pendidikan. Selanjutnya, melalui hibriditas terbentuklah ruang-ruang baru yang ditempatkan pada kehidupan sosial (Young, 2003: 79). Persinggungan budaya yang berbeda antara barat dan timur menyebabkan budaya Indonesia sebagai negara timur mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksud telah berada dalam ruang lingkup yang cukup luas. Adanya pergeseran budaya ketimuran ke arah kebarat-baratan, adalah tanda adanya perubahan yang dimaksud.

Kekuatan dan dominasi wacana kolonial melalui hibriditas mendapat ujian. Hadirnya hibriditas dapat melemahkan dominasi kekuasaan kolonial. Ketika menjadi hibrid, kaum terjajah akan menjadi setara, bahkan bisa melampaui penjajah sebagai kaum dominan, sehingga hubungan-hubungan yang hadir dalam gejala hibriditas adalah gejala yang ambigu (Bhabha, 2004: 159). Sifat ambigu dalam perspektif hibriditas tersebut mengarah kepada munculnya perubahan dalam budaya pribumi yang memiliki orientasi dan kesamaan dengan budaya yang diusung kolonial. Pribumi bermaksud menyetarakan kedudukannya dengan kolonial yang melahirkan identitas baru dalam pribumi itu sendiri.

Hibriditas adalah nama dari perpindahan nilai, simbol dan berbagai tanda yang dimiliki negara terjajah yang menyebabkan kebudayaan yang dibawa oleh penjajah sebagai wacana yang dominan (Bhabha, 2004:162; Rudolph, 1967:17). Penjajah menginginkan poros kekuasaan dan kebudayaannya berada pada posisi dominasi di tengah kehidupan negara terjajah. Hibriditas menunjukkan perubahan yang bersifat dualisme dari subjek yang terdiskriminasi dan tunduk pada sebuah kekuasaan, dan mengarah pada kesejajaran posisinya dengan subjek yang dominan. Hibriditas pada kenyataannya justru menjadi ruang alternatif budaya yang berada di luar lingkaran otoritas budaya penjajah. Dapat disimpulkan bahwa hibriditas merupakan konsep wacana kolonial yang dikemukakan oleh Homi K. Bhabha. Hibriditas berarti identitas di antara dua kebudayaan yaitu barat dan timur. Negara timur yang notabene merupakan negara  terjajah mencoba melegitimasi sekaligus menerapkan budaya barat (penjajah) sebagai produk dan budaya baru bagi negaranya sendiri. Tujuannya adalah untuk menyamakan posisi dan kedudukan dalam konteks masyarakat dunia. Hibriditas dikonstruksi untuk mendefinisikan budaya penjajah. Sudut pandang hibriditas memiliki wacana politis dalam percampuran dua budaya yang dimaksud. Hibriditas membentuk sebuah ruang ketiga (third space) yang di dalamnya terjadi pertarungan budaya dengan tujuan menjadi budaya yang dominan.

Dalam perkembangannya, istilah hibriditas budaya seringkali sebagai bentuk dan praktik percampuran dua atau lebih budaya dengan hasil sebuah format baru yang berwarna campur aduk tanpa menghilangkan nilai dan karakteristik budaya sebelumnya. Percampuran budaya antara dua atau lebih budaya merupakan proses yang tidak sesederhana dengan proses yang terjadi dalam pengetahuan-pengetahuan tersebut. Percampuran yang terjadi dipenuhi dengan negosiasi dan artikulasi yang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan di dalamnya. Artinya, hibridisasi dan produk hybrid yang dihasilkan, merupakan "situs pertarungan" yang didalamnya terdapat pertarungan kepentingan kultural yang ingin dinegosiasikan, diartikulasikan, dan diperjuangkan oleh masing-masing pihak yang terlibat di dalam ruang dan proses budaya yang semakin membaur satu sama lain.

Dalam karya epistemologinya mengenai wacana kolonial dan pascakolonial, terjemahan budaya, hibriditas dan ambiguitas, Homi Bhabha memberikan tempat sentral pada budaya. Bhabha sering mengacu pada sastra dan (walaupun pada tingkat yang lebih rendah) pada sinema. Berbicara dari perspektif humaniora yang mendalam, dan dipengaruhi oleh Sigmund Freud, Jacques Lacan, Frantz Fanon dan Jacques Derrida, Bhabha berpendapat bahwa dalam dunia postmodern, pascakolonial, seni, termasuk sinema, memiliki fungsi politik yang sangat spesifik untuk menunjukkan struktur pemikiran yang mendasarinya. tentang hubungan antara kata-kata, cerita, gambar dan dunia untuk menyerukan solidaritas sosial (Bhabha 2006).

Salah satu dalil penting yang dilontarkan Edward Said dalam kajian-kajiannya, baik dalam Orientalism (1978) maupun Culture and Imperialism (1993) adalah superioritas kuasa Barat yang salah satunya disebarkan melalui hegemoni dan konstruksi diskursif tentang masyarakat dan budaya Timur. Masyarakat timur selalu ditundukkan melalui stereotipe pencitraan dan penundukan wacana sebagai entitas yang tidak beradab, tidak berpendidikan, dan perlu pencerahan melalui "proyek pemberadaban" bagi bangsa-bangsa Timur, yakni kolonialisme dan imperialisme. Akibatnya, secara wacana dan praksis bangsa-bangsa timur tidak bisa melepaskan dirinya dari imajinasi superioritas Barat yang sedemikian kuatnya berlangsung dalam praktik kolonialisasi dan imperialisasi. Dalil itu pula yang kemudian menjadi titik-berangkat kajian pascakolonial dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

Dalam orientalisme, Said secara kritis menekankan pentingnya perhatian pada pengaruh politis dan material dari pengetahuan dan institusi pendidikan Barat serta afiliasi mereka terhadap dunia luar. Secara tegas dia menolak pemahaman liberal tradisional yang mengatakan bahwa pengetahuan humaniora terorganisir demi pemenuhan pengetahuan 'murni' atau 'nir-kepentingan'. Lebih dari itu, dalam pengetahuan sebenarnya terdapat operasi dan teknologi kuasa, karena para ilmuwan maupun seniman adalah subjek yang dipengaruhi oleh afiliasi historis, kultural, dan institusional tertentu, yang digerakkan oleh ideologi atau pengetahuan dominan dan kepentingan politik dalam masyarakatnya.

Sementara, dalam Culture and Imperialism, Said berusaha membongkar beroperasinya kuasa dalam memposisikan manusia dan kebudayaan di luar mainstream Eropa melalui kerja-kerja kultural, termasuk di dalamnya karya sastra, dalam konteks imperialisme. Di samping membedah karya-karya metropolitan yang dihasilkan oleh sastrawan-sastrawan besar Eropa, Said juga mulai melihat karya-karya non-Eropa sebagai bahan kajiannya, seperti novel Afrika maupun Karibia, sehingga pemikiran-pemikirannya lebih beragam bila dibandingkan dengan orientalisme. Said menekankan terhadap resistensi yang bisa dimunculkan oleh para pengarang pascakolonial. Baginya apa yang dibutuhkan saat ini adalah sebuah moda kritik kultural yang merefleksikan, atau bahkan mengadopsi, hibriditas yang berasal dari sejarah yang saling terkait dari dunia modern dan yang menghindari konsepsi identitas berdasarkan kategori ontologis kaku, baik dalam ras, etnisitas, ataupun identitas nasional.

Negara yang memerdekakan diri dari kolonialisme-imperialisme berawal dari gagasan kemerdekaan. Namun, ambivalensi sebagai apa yang oleh Homi K. Bhabha disebut sebagai hybrid juga muncul bersamaan dengan kenyataan negara dan manusia yang merdeka. Kolonialisme berakar dari satu sistem dan status budaya antara lokal dan pendatang. Akar kebudayaan ini memunculkan masyarakat kelas dan struktur tersendiri sambil menafikan satu sistem tradisi. Dengan cara inilah kolonialisme bertahan, yakni membuat masyarakat lokal bergantung. Ketergantungan pada satu imaji akan kemapanan sistem kolonial ini juga mengubah pola berpikir. Dengan demikian, terjadilah kolonialisasi kognitif, yaitu inlander adalah buruk. Pada titik ini sebuah bangsa yang terkoloni berhadapan dengan dua hal: kemerdekaan dan ketergantungan. Risiko dari kemerdekaan adalah hilangnya rantai ini, baik rantai struktur maupun rantai budaya. Demikian pula yang terjadi secara personal, yakni isolasi dan krisis psikologis. Di satu sisi, kemerdekaan adalah kemestian dan di sisi lain tidak ada tempat kembali, dalam arti akar kebudayaan. Hilangnya akar kebudayaan mengakibatkan mental yang terbelah (split personality) dan memunculkan satu gejala absurd, yakni hibriditas. Hibriditas ini lebih lanjut dikembangkan oleh J. C. Young dalam Colonial Desire: Hybridity in Theory, Culture and Race (1995) menjadi hibriditas organik dan hibriditas intensional.

Pergeseran pemikiran tersebut mengimplikasikan beberapa hal. Pertama, bahwa memang benar proses hegemoni melalui representasi-representasi kultural yang menekankan superioritas Barat daripada Timur, mampu mempengaruhi pola dan praktik kultural bagi bangsa-bangsa terjajah. Kedua, dalam proses hegemoni tersebut selalu muncul ketidakstabilan hegemoni, dimana bangsa terjajah bisa menyerang balik atau meresistensi melalui penguatan budaya nasional mereka. Dalam konstruksi budaya nasional bangsa Timur sangat mungkin terjadi hibriditas budaya yang mewarnai kehidupan mereka di masa kolonial maupun pascakolonial. Kemampuan subjek terjajah dan pascakolonial untuk melawan ataupun meniru sebagian teks dan praktik kultural penjajah dan bekas penjajah menjadi perhatian utama dari Hommi K. Bhabha dalam bukunya The Location of Culture (1994). Dengan mengadopsi pemikiran pascastrukturalis, Bhabha mencoba untuk memberikan penekanan berbeda tentang masyarakat kolonial dan pascakolonial.

Beberapa pemikiran yang memperkuat posisi akademisnya dalam kajian pascakolonial antara lain: ruang antara atau ruang ketiga, peniruan (mimikri), pengejekan (mockery), dan hibriditas. Dalam ruang antara, ruang yang mempertemukan kuasa dan budaya kolonial dan tradisi-lokal, manusia terjajah dan pascakolonial bisa melakukan praktik mimikri, pengejekan, dan hibriditas yang menjadi strategis politik dan kedirian mereka di tengah-tengah budaya asing (Bhabha, 1994:86). Bhabha ingin menunjukkan bahwa manusia pascakolonial sebenarnya mempunyai kemampuan strategis dalam menghadapi hegemoni budaya Barat yang menyebar di ruang pascakolonial, sehingga mereka mampu memainkan politik untuk tidak sepenuhnya mengikuti budaya tersebut, tetapi juga tidak menolak sepenuhnya. Jadi, manusia pascakolonial tidak bisa terus dibayangkan sebagai mereka yang tidak bisa keluar dari jejaring dan pengaruh diskursif kolonialisme. Dengan bermain-main di ruang antara kebudayaan, mereka bisa melanjutkan tradisi-lokal, sekaligus mengambil dari yang Barat, tetapi tidak sepenuhnya.

Ini adalah bentuk politik kesadaran untuk tidak menolak yang Barat tetapi tidak juga melupakan yang lokal. Dengan kesadaran hybrid inilah kedirian dan budaya masyarakat lokal akan terus berlanjut dalam konteks zaman yang selalu bertransformasi, sekaligus untuk melakukan resistensi terhadap pengaruh-pengaruh budaya luar. Budaya global yang banyak dipenuhi oleh struktur budaya Barat menjadi sebuah rezim kebenaran baru yang setiap saat dinikmati oleh masyarakat pascakolonial. Meskipun tidak sama dengan pola kolonialisasi, namun pengaruh budaya Barat bisa disejajarkan dengan imperialisme kultural yang sedikit demi sedikit menggeser popularitas budaya lokal. Dalam kondisi itulah, subjek pascakolonial 'bertingkah' dengan melakukan pembacaan dan peniruan di ruang pascakolonial untuk kemudian menciptakan produk budaya hibrid.

Hibriditas sebagai Jalan Keluar

Pada telaah diatas, dapat ditarik asumsi bahwa percampuran pada wayang ukur merupakan sebuah bentuk hibriditas kebudayaan. Terjadi percampuran antara satu kebudayaan dan kebudayaan lain. Pada dasarnya merupakan wujud pembentukan budaya yang berintegrasi menciptakan sesuatu yang baru. Perpaduan pada wayang ukur merupakan solusi dalam memanfaatkan setiap unsur untuk berintegrasi dan saling berkorelasi. Hasil perpaduan menjadi variatif dan menawarkan pembaruan. Pembaruan yang terjadi memperkaya cabang kesenian lain dan wayang sebagai sebuah kesenian yang adiluhung.

Jika melihat hibriditas itu sendiri, pada dasarnya adalah sebuah proses yang menciptakan identitas budaya yang berbeda. Hibriditas kemungkinan besar akan menyebabkan perubahan identitas yang mengarah pada perubahan subjektivitas. Telaah Bhabha tersebut merupakan pendeskripsian terhadap bercampurnya dua bentuk budaya yang memunculkan entitas-entitas tertentu dari tiap kebudayaan yang bercampur. Percampuran entitas baru tersebut merupakan perpaduan dari sifat keduanya.

Dalam penerapannya, hibriditas diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu percampuran dua budaya yang menghasilkan kekuasaan kolonial melalui paksaan seperti penjajahan yang menciptakan dominasi, hibriditas yang diwujudkan melalui dialektika antar budaya tanpa paksaan atau tekanan, dan hibriditas yang muncul sebagai sebuah perlawanan. Pada cara paksaan karena kolonial, terjadi hibriditas antara budaya setempat dan budaya kolonial. Pada cara tanpa paksaan, hibriditas berlaku secara sendirinya. Sedangkan pada bentuk perlawanan, hibriditas terbentuk dengan reaksi budaya dalam melawan yang terkadang menciptakan hal yang baru.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses hibriditas dimulai dengan adanya proses mimesis. Proses mimikri menjadi proses dalam penerapan hibriditas. Bhabha menyatakan bahwa mimikri adalah proses peniruan yang terjadi antara identitas yang berbeda dan juga tanda dari yang tidak terapropriasi (penyetaraan), dan mimikri merupakan suatu tindakan yang sengaja atau tanpa sadar dilakukan pada interaksi atau hubungan sosial dalam mempertahankan dominasi. Secara implisit hibriditas memunculkan sebuah ruang baru. Hibriditas menstimulasi peluang hadirnya ruag ketiga dari dua budaya. dalam proses hibriditas asal budaya tidak menjadi permasalahan, yang menjadi penting adalah ruang ketiga peleburan budaya. Ruang ketiga inilah yang menjadikan ranah kesempatan pembentukan budaya baru yang mempunyai peluang tidak sesuai dengan budaya asli. Bhabha mengungkapkan bahwa proses hibriditas budaya memungkinkan terbentuknya sesuatu yang berbeda, baru, bahkan belum dikenal sebelumnya yang merupakan area baru tempat terjadinya negosiasi makna dan representasi.

Wayang ukur merupakan perpaduan kebudayaan lokal yakni wayang, dan kebudayaan asing. Perpaduan sebuah kebudayaan yang sangat berbeda jauh dalam bentuk dan performance atau pagelarannya. Terhibridasinya sebuah kebudayaan bisa terlaksana apabila ada suatu nilai yang dapat dinegosiasikan. Nilai tersebut setidaknya berbentuk nilai , makna, fungsi atau kegunaan dari kesenian. Wayang ukur tetap menjunjung tinggi hakikat dari wayang yakni sebagai tontonan sekaligus tuntunan dan tatanan, sedangkan ukur sebagai media berekspresi dalam menyampaikan kritik dan saran untuk menuntun. Kesamaan nilai ini yang mengakomodir sekaligus merepresentasikan wayang ukur sebagai agen dalam nilai tuntunan masyarakat terlebih dalam keberlangsungan masyarakat urban yang tinggi tingkat kebosanannya.

Wayang ukur merupakan bentuk budaya baru yang tetap mempertahankan kesenian adiluhung dan memunculkan cara penyebaran yang baru. Hal ini baik karena wayang tetap dikenal luas di masyarakat urban yang mempunyai tingkat ketertarikan terhadap seni rupa dan seni pertunjukan modern, maka merupakan hal yang tepat untuk tetap menjadikan wayang sebagai acuan. Dengan demikian, tidak ada kata ketinggalan zaman pada nilai budaya lama. Budaya bisa bernegosiasi dalam menjaga kelestariannya. Wayang ukur merupakan wujud hibriditas kebudayaan yang menghasilkan sebuah terobosan baru dalam pelestarian dan pengembangan pada kesenian, pembentukan dan pengkonstruksian karakter bangsa dalam menjalani hidup modern.

Kesimpulan

Masyarakat perkotaan saat ini berbicara tentang modernitas karena dianggap sebagai dasar dari kemajuan. Kebudayaan tradisional ketinggalan zaman dan mulai dilupakan. Wayang merupakan kesenian yang luhur, tak hanya memberikan tontonan tetapi juga tuntunan, serta terdapat tatanan di setiap pagelarannya. Kemajuan zaman yang tidak dapat dihindari, tontonan semakin tidak dapat terkontrol dan tidak sedikit yang mengandung pesan moral.

Keunikan Wayang Ukur antara lain adalah penggunaan bahasa  dalang dalam menyampaikan  pesan, cara pandang  dalang dalam pementasannya, serta tambahan media  dan teknik pentas yang  membantu  memperjelas pesan yang ingin disampaikan. Selain berupaya memadukan budaya Barat dan Timur dengan inti pesan yang disampaikan berupa "love each other". Wayang Ukur juga berupaya menyampaikan pesan-pesan untuk  menjaga  alam dan melestarikan budaya  Indonesia, mulai dari mengenalkan tradisi Indonesia  hingga cerita-cerita legendaris khas Indonesia yang dapat memetik pesan moral positif. Sehingga wayang ukur selalu mendapat respon positif dari orang-orang luar negeri dan menjadikan wayang ukur sebagai salah satu ikon Indonesia.

Wayang ukur merupakan wujud hibriditas kebudayaan, percampuran kesenian yang berbeda asal. Adanya wayang ukur dapat menjadi model untuk kesenian tradisi lainnya dalam menjaga eksistensinya. Dengan tetap menjunjung nilai kebudayaan yang dilebur dengan menciptakan sebuah kebudayaan baru yang lebih efektif dalam pertunjukannya, sehingga karakter masyarakat yang modern tetap dapat diakomodir pada nilai tuntunan dan tatanan dari hakikatnya kesenian wayang. Secara implisit, wayang ukur merupakan tempat pembentukan karakter generasi muda atau milenial oleh kesenian tradisi dengan gaya baru. Wayang ukur menjadi media baru yang tidak membosankan, mengikuti zaman, dan memegang teguh pada nilai tradisi. Oleh karena itu, dengan kemunculan wayang ukur dapat turut menentukan pembentukan karakter bangsa di tengah kemajemukan modernitas yang semakin masif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun