Pergeseran pemikiran tersebut mengimplikasikan beberapa hal. Pertama, bahwa memang benar proses hegemoni melalui representasi-representasi kultural yang menekankan superioritas Barat daripada Timur, mampu mempengaruhi pola dan praktik kultural bagi bangsa-bangsa terjajah. Kedua, dalam proses hegemoni tersebut selalu muncul ketidakstabilan hegemoni, dimana bangsa terjajah bisa menyerang balik atau meresistensi melalui penguatan budaya nasional mereka. Dalam konstruksi budaya nasional bangsa Timur sangat mungkin terjadi hibriditas budaya yang mewarnai kehidupan mereka di masa kolonial maupun pascakolonial. Kemampuan subjek terjajah dan pascakolonial untuk melawan ataupun meniru sebagian teks dan praktik kultural penjajah dan bekas penjajah menjadi perhatian utama dari Hommi K. Bhabha dalam bukunya The Location of Culture (1994). Dengan mengadopsi pemikiran pascastrukturalis, Bhabha mencoba untuk memberikan penekanan berbeda tentang masyarakat kolonial dan pascakolonial.
Beberapa pemikiran yang memperkuat posisi akademisnya dalam kajian pascakolonial antara lain: ruang antara atau ruang ketiga, peniruan (mimikri), pengejekan (mockery), dan hibriditas. Dalam ruang antara, ruang yang mempertemukan kuasa dan budaya kolonial dan tradisi-lokal, manusia terjajah dan pascakolonial bisa melakukan praktik mimikri, pengejekan, dan hibriditas yang menjadi strategis politik dan kedirian mereka di tengah-tengah budaya asing (Bhabha, 1994:86). Bhabha ingin menunjukkan bahwa manusia pascakolonial sebenarnya mempunyai kemampuan strategis dalam menghadapi hegemoni budaya Barat yang menyebar di ruang pascakolonial, sehingga mereka mampu memainkan politik untuk tidak sepenuhnya mengikuti budaya tersebut, tetapi juga tidak menolak sepenuhnya. Jadi, manusia pascakolonial tidak bisa terus dibayangkan sebagai mereka yang tidak bisa keluar dari jejaring dan pengaruh diskursif kolonialisme. Dengan bermain-main di ruang antara kebudayaan, mereka bisa melanjutkan tradisi-lokal, sekaligus mengambil dari yang Barat, tetapi tidak sepenuhnya.
Ini adalah bentuk politik kesadaran untuk tidak menolak yang Barat tetapi tidak juga melupakan yang lokal. Dengan kesadaran hybrid inilah kedirian dan budaya masyarakat lokal akan terus berlanjut dalam konteks zaman yang selalu bertransformasi, sekaligus untuk melakukan resistensi terhadap pengaruh-pengaruh budaya luar. Budaya global yang banyak dipenuhi oleh struktur budaya Barat menjadi sebuah rezim kebenaran baru yang setiap saat dinikmati oleh masyarakat pascakolonial. Meskipun tidak sama dengan pola kolonialisasi, namun pengaruh budaya Barat bisa disejajarkan dengan imperialisme kultural yang sedikit demi sedikit menggeser popularitas budaya lokal. Dalam kondisi itulah, subjek pascakolonial 'bertingkah' dengan melakukan pembacaan dan peniruan di ruang pascakolonial untuk kemudian menciptakan produk budaya hibrid.
Hibriditas sebagai Jalan Keluar
Pada telaah diatas, dapat ditarik asumsi bahwa percampuran pada wayang ukur merupakan sebuah bentuk hibriditas kebudayaan. Terjadi percampuran antara satu kebudayaan dan kebudayaan lain. Pada dasarnya merupakan wujud pembentukan budaya yang berintegrasi menciptakan sesuatu yang baru. Perpaduan pada wayang ukur merupakan solusi dalam memanfaatkan setiap unsur untuk berintegrasi dan saling berkorelasi. Hasil perpaduan menjadi variatif dan menawarkan pembaruan. Pembaruan yang terjadi memperkaya cabang kesenian lain dan wayang sebagai sebuah kesenian yang adiluhung.
Jika melihat hibriditas itu sendiri, pada dasarnya adalah sebuah proses yang menciptakan identitas budaya yang berbeda. Hibriditas kemungkinan besar akan menyebabkan perubahan identitas yang mengarah pada perubahan subjektivitas. Telaah Bhabha tersebut merupakan pendeskripsian terhadap bercampurnya dua bentuk budaya yang memunculkan entitas-entitas tertentu dari tiap kebudayaan yang bercampur. Percampuran entitas baru tersebut merupakan perpaduan dari sifat keduanya.
Dalam penerapannya, hibriditas diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu percampuran dua budaya yang menghasilkan kekuasaan kolonial melalui paksaan seperti penjajahan yang menciptakan dominasi, hibriditas yang diwujudkan melalui dialektika antar budaya tanpa paksaan atau tekanan, dan hibriditas yang muncul sebagai sebuah perlawanan. Pada cara paksaan karena kolonial, terjadi hibriditas antara budaya setempat dan budaya kolonial. Pada cara tanpa paksaan, hibriditas berlaku secara sendirinya. Sedangkan pada bentuk perlawanan, hibriditas terbentuk dengan reaksi budaya dalam melawan yang terkadang menciptakan hal yang baru.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses hibriditas dimulai dengan adanya proses mimesis. Proses mimikri menjadi proses dalam penerapan hibriditas. Bhabha menyatakan bahwa mimikri adalah proses peniruan yang terjadi antara identitas yang berbeda dan juga tanda dari yang tidak terapropriasi (penyetaraan), dan mimikri merupakan suatu tindakan yang sengaja atau tanpa sadar dilakukan pada interaksi atau hubungan sosial dalam mempertahankan dominasi. Secara implisit hibriditas memunculkan sebuah ruang baru. Hibriditas menstimulasi peluang hadirnya ruag ketiga dari dua budaya. dalam proses hibriditas asal budaya tidak menjadi permasalahan, yang menjadi penting adalah ruang ketiga peleburan budaya. Ruang ketiga inilah yang menjadikan ranah kesempatan pembentukan budaya baru yang mempunyai peluang tidak sesuai dengan budaya asli. Bhabha mengungkapkan bahwa proses hibriditas budaya memungkinkan terbentuknya sesuatu yang berbeda, baru, bahkan belum dikenal sebelumnya yang merupakan area baru tempat terjadinya negosiasi makna dan representasi.
Wayang ukur merupakan perpaduan kebudayaan lokal yakni wayang, dan kebudayaan asing. Perpaduan sebuah kebudayaan yang sangat berbeda jauh dalam bentuk dan performance atau pagelarannya. Terhibridasinya sebuah kebudayaan bisa terlaksana apabila ada suatu nilai yang dapat dinegosiasikan. Nilai tersebut setidaknya berbentuk nilai , makna, fungsi atau kegunaan dari kesenian. Wayang ukur tetap menjunjung tinggi hakikat dari wayang yakni sebagai tontonan sekaligus tuntunan dan tatanan, sedangkan ukur sebagai media berekspresi dalam menyampaikan kritik dan saran untuk menuntun. Kesamaan nilai ini yang mengakomodir sekaligus merepresentasikan wayang ukur sebagai agen dalam nilai tuntunan masyarakat terlebih dalam keberlangsungan masyarakat urban yang tinggi tingkat kebosanannya.
Wayang ukur merupakan bentuk budaya baru yang tetap mempertahankan kesenian adiluhung dan memunculkan cara penyebaran yang baru. Hal ini baik karena wayang tetap dikenal luas di masyarakat urban yang mempunyai tingkat ketertarikan terhadap seni rupa dan seni pertunjukan modern, maka merupakan hal yang tepat untuk tetap menjadikan wayang sebagai acuan. Dengan demikian, tidak ada kata ketinggalan zaman pada nilai budaya lama. Budaya bisa bernegosiasi dalam menjaga kelestariannya. Wayang ukur merupakan wujud hibriditas kebudayaan yang menghasilkan sebuah terobosan baru dalam pelestarian dan pengembangan pada kesenian, pembentukan dan pengkonstruksian karakter bangsa dalam menjalani hidup modern.
Kesimpulan