Hampir dua tahun Corona Virus Disease-19 (Covid-19) melanda dunia. Virus yang disinyalir berasal dari Wuhan Tiongkok ini ditetapkan sebagai wabah pandemi karena penyebarannya yang begitu cepat meluas hingga penjuru dunia. Krisis ini memberikan dampak kompleks yang cukup memprihatinkan di berbagai sektor bagi banyak negara.Â
Salah satunya adalah sektor pendidikan. Peniadaan kegiatan pembelajaran tatap muka di sekolah memaksa proses pembelajaran dilakukan dari jarak jauh secara daring.Â
Tak terkecuali Indonesia, pemerintah gerak cepat merespon dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease 19 (Covid-19).Â
Seluruh elemen pendidikan pun cepat tanggap mengamini instruksi tersebut dengan segera menyusun kurikulum darurat, menyosialisasikan serta mengimplementasikannya secara terencana dan terstruktur kepada lembaga-lembaga pendidikan di masing-masing daerah.
Melansir dari heart-resources.org, 156 negara memberlakukan penutupan/lock down. Penutupan ini jelas diperlukan, dengan harapan virus tidak makin meluas, walaupun ada resiko yang cukup sulit untuk dilalui yaitu melemahnya pertumbuhan ekonomi dan terkendalanya proses pembelajaran secara langsung dalam jangka waktu yang cukup lama.Â
Saat ini lebih dari 1,4 miliar atau 82,5% siswa di seluruh dunia terkena imbas pandemi. Sehingga dengan pembelajaran jarak jauh diharapkan mampu mempertahankan substansi pembelajaran dengan efektif di tengah-tengah kondisi darurat ini.
Beberapa kendala sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ)
Remote schooling atau yang lebih dikenal dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tidak dapat dijadikan sebagai sebuah sistem jangka panjang pengganti Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Meskipun kebijakan akan mutlak bergantung pada kondisi naik turunnya angka paparan virus.Â
Namun selama kurun waktu penyelenggaraan PJJ tersebut, perubahan gaya belajar dari tatap muka ke jarak jauh menyisakan beberapa permasalahan antara lain.
1. Orang tua menjadi guru di rumah
Selama PJJ berlangsung, orang tua mempunyai peran menjadi guru anak-anaknya. Mereka dituntut untuk membimbing serta mendampingi anak-anaknya belajar, khususnya bagi anak usia sekolah dasar yang masih perlu bimbingan.Â
Sedangkan tidak semua orang tua dapat melakukannya, sehubungan waktu pembelajaran adalah ketika jam efektif bekerja.Â
Sebetulnya waktu pembelajaran bisa saja dialihkan pada malam hari atau waktu-waktu luang lainnya. Hanya saja dengan kondisi tersebut biasanya si anak sulit untuk dikondisikan, mengingat mereka pun rata-rata memiliki aktivitas lain seperti mengaji atau mengikuti les olahraga.
2. Tidak semua orang tua memiliki kemampuan pedagogik
Faktor keberhasilan proses pembelajaran yang bermutu ditentukan oleh guru. Guru memiliki tanggung jawab menjalankan tugasnya secara profesional.Â
Salah satu ciri guru profesional satu di antaranya adalah memiliki kemampuan pedagogik, yaitu kemampuan mengelola suatu proses pembelajaran, sehingga sikap, perilaku dan pengetahuan anak didiknya berkembang dengan baik. Sedangkan semua orang tua belum tentu memiliki kemampuan pedagogik tersebut.
3. Dampak emosi negatif pada siswa
Dilansir dari sindonews.com, Gerakan Sekolah Menyenangkan yang diketuai Muhammad Nur Rizal, mengadakan survei kepada siswa terkena dampak PJJ. Jumlah responden pada survei ini sebanyak 1.263 siswa. Terdiri dari 534 siswa laki-laki dan 729 siswa perempuan.Â
Siswa SD yang disurvei sebanyak 553 siswa, SMP 445 siswa dan SMA/SMK sebanyak 265 siswa. Hasil survei tersebut menerangkan bahwa selama PJJ siswa merasakan emosi yang sifatnya negatif.Â
Emosi negatif itu seperti stres, rasa bosan, sedih, kurang paham akan materi, bingung, merasa dibebani, merasa sulit belajar, dan kurang motivasi.Â
Sehingga dapat disimpulkan pangkal permasalahan anak menjadi tidak senang dan malas untuk belajar,disebabkan dampak emosi negatif tersebut.
4. Mengubah perilaku sosial
Siswa yang ikut serta pembelajaran secara langsung di sekolah akan jauh lebih baik dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Karena di sekolah mereka akan berinteraksi langsung dengan teman, guru dan warga sekolah lainnya, sehingga dipastikan dapat menstimulasi perkembangan perilaku sosial dan emosionalnya (McDonald et al., 2018).Â
Namun kini saat PJJ diterapkan, ternyata situasi di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran ini memberi dampak terhadap perilaku sosial bagi siswa yaitu anak menjadi bersikap lebih introvert yang cenderung bersikap individual tanpa menghiraukan orang lain, kurang kerja sama dengan teman-temannya, kurang toleransi dan sosialisasi terhadap lingkungan karena dibatasi dengan pembelajaran di rumah.
5. Media TIK yang memberatkan sebagian orang tua siswa
Berbicara mengenai Pembelajaran Jarak Jauh tentunya berkaitan erat dengan media Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai sarana yang memfasilitasi keberlangsungan pembelajaran.Â
Hanya saja bagi sebagian orang tua siswa berkemampuan ekonomi lemah, sarana efektif pembantu pembelajaran daring ini cukup memberatkan mereka.Â
Sebagian dari mereka tidak mampu membeli telepon pintar (gawai) yang layak sebagai satu-satunya fasilitas pendukung pembelajaran.Â
Selain itu, tiap bulannya mereka harus merogoh kocek untuk membeli kuota. Adapun bantuan khusus dari Kemendikbud berupa kuota belajar gratis bagi siswa tak kunjung mereka dapatkan, meskipun sekolah sudah mendaftarkannya melalui Dapodik.
6. Kekerasan domestik di rumah
Tak lekang oleh waktu tatkala ingatan kita flashback tepatnya satu tahun lalu. ketika seorang ibu tega membunuh anak kandungnya sendiri yang masih berusia 8 tahun karena mengalami kesulitan belajar jarak jauh secara daring.Â
Peristiwa nahas tersebut merupakan puncak dari potret beberapa kekerasan domestik yang bisa saja terjadi pada saat PJJ ini.Â
Dampaknya pun sangat buruk sekali bagi perkembangan psikologis anak yang sedang berproses menuju pembentukan karakter pribadinya. Â Â
Beberapa kendala tersebut, jika tidak segera dicari jalan keluarnya, dikhawatirkan akan menimbulkan learning loss. Learning loss adalah sebuah situasi ketika siswa kehilangan pengetahuan, kemampuan keterampilan dan pengalaman belajarnya.Â
Siswa kehilangan motivasi untuk meningkatkan kompetensinya di masa yang akan datang.Â
Kita tentunya tidak ingin kehilangan satu generasi yang mengalami learning loss. Karena modal mereka di masa yang akan datang adalah bekal pengetahuan dan skill pada saat usia produktif saat mereka bekerja.
Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) sebagai solusi
Pemerintah telah menentukan sikap untuk menyelenggarakan PTMT semenjak Januari lalu. Ada pun upaya percepatan penyelenggaraan PTMT yaitu dengan memprioritaskan vaksinasi bagi guru dilanjutkan vaksinasi massal bagi masyarakat.Â
Selain itu pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi COVID-19, pemerintah menetapkan kondisi kelas SD sampai SMA yaitu 18 siswa per kelas dengan menjaga jarak minimal 1,5 meter.Â
Untuk jenjang PAUD, SDLB sampai SMALB jumlah siswa per kelas yaitu 18 dengan menjaga jarak minimal 1,5 meter. Sedangkan untuk jumlah jam efektif pembelajaran dan sistem pembagian kelas diserahkan kepada satuan pendidikan masing-masing. Perilaku wajib bagi siswa selama PTMT yaitu dengan tetap mematuhi protokol kesehatan yang telah ditentukan.
Semoga dengan tetap patuhnya kita pada protokol kesehatan, kita dapat menyukseskan PTMT sebagai usaha terbaik dalam upaya mengantisipasi terciptanya generasi learning loss.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H