Belakangan ini, perhatian publik kembali tertuju pada Kaesang Pangarep dan istrinya, Erina Gudono. Mulai dari penggunaan jet pribadi hingga komentar soal BB Erina, pasangan ini tak luput dari sorotan. Namun, perhatian tersebut tampaknya mulai melampaui batas.Â
Media dan netizen yang semula hanya mengomentari gaya hidup kini mulai memasuki ranah yang lebih pribadi, memicu tuduhan body shaming yang semakin menjurus ke arah bullying.Pertanyaan pun muncul: apakah fenomena ini masih wajar atau sudah berlebihan? Di mana batas antara kritik yang konstruktif dan penghinaan yang tidak seharusnya terjadi?Â
Artikel ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengurai lebih jauh tentang posisi politisi dan artis dalam ruang publik, batasan privasi mereka, dan peran media dalam menjaga keseimbangan antara kritik dan penghinaan.
Artis dan Politisi dalam Ruang Publik
Sebagai figur publik, politisi dan artis berada dalam posisi yang rentan terhadap sorotan publik. Harapan masyarakat terhadap mereka pun tinggi. Politisi diharapkan transparan dalam kebijakan dan perilaku, sementara artis sering kali dianggap sebagai panutan atau representasi budaya. Kondisi ini menciptakan argumen bahwa mereka harus siap berada dalam ruang kaca, di mana segala gerak-gerik mereka dapat diobservasi dan dikritisi oleh publik.
Namun, pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah, apakah semua aspek kehidupan mereka layak diulas? Perbedaan antara kritik terhadap kebijakan atau karya publik dan serangan terhadap kehidupan pribadi menjadi semakin kabur. Kritik yang semula bertujuan untuk mendorong akuntabilitas atau memperbaiki kinerja, berubah menjadi penghinaan ketika menyentuh hal-hal yang sangat personal dan tidak relevan dengan peran publik mereka.
Analisis Kasus Kaesang dan Istrinya
Kasus yang menimpa Kaesang dan Erina adalah contoh nyata dari fenomena ini. Fakta yang diangkat oleh publik dan media dimulai dari penggunaan jet pribadi oleh pasangan muda ini dalam perjalanan ke Amerika. Meski isu ini mungkin relevan dalam diskusi tentang gaya hidup atau etika penggunaan fasilitas mewah oleh figur publik, perbincangan kemudian beralih ke isu-isu yang sangat pribadi, seperti BB Erina.
Beberapa media nasional yang membungkus beritanya menggunakan istilah "reaksi netizen", dan bahkan media seperti Tempo, yang biasanya dikenal sebagai media dengan standar jurnalistik yang cukup baik, juga ikut memperpanjang perbincangan ini melalui serial tulisan yang mengangkat topik "Bau Badan". Dalam hal ini, muncul pertanyaan, kapan kritik terhadap figur publik dianggap melewati batas dan berubah menjadi bullying?
Ketika kritik yang disampaikan lebih berfokus pada aspek fisik atau personal yang tidak ada hubungannya dengan peran publik, dampak negatifnya bisa sangat besar. Tidak hanya mencederai martabat individu yang bersangkutan, tetapi juga bisa mempengaruhi psikologis mereka, seperti yang sering terjadi pada kasus-kasus body shaming.
Kewajaran dalam Mengkritisi Politisi
Dalam konteks politisi, apa yang layak dikritik adalah kebijakan, perilaku publik, transparansi, dan etika dalam menjalankan tugas mereka. Kritik terhadap kebijakan publik, misalnya, tidak hanya wajar tetapi juga diperlukan dalam demokrasi yang sehat. Namun, ketika kritik mulai menyasar aspek-aspek yang tidak relevan dengan peran publik seorang politisi, seperti kehidupan pribadi atau kondisi fisik, maka kritik tersebut dapat dianggap tidak proporsional.
Risiko dari budaya kritis yang tidak proporsional adalah perubahan kritik yang seharusnya menjadi alat kontrol demokrasi, menjadi alat penghinaan atau pelecehan. Dampak jangka panjangnya bisa sangat merugikan, tidak hanya bagi individu yang menjadi sasaran, tetapi juga bagi iklim demokrasi dan kebebasan berekspresi secara umum. Publik akan menjadi lebih enggan untuk terlibat dalam diskusi kritis karena takut menjadi korban bullying, dan ini bisa menghambat perkembangan budaya demokrasi yang sehat.
Peran Media Profesional
Media memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keseimbangan ini. Dalam mengkritisi figur publik, media harus mampu memposisikan diri tanpa melanggar etika jurnalistik. Mereka harus memberikan informasi yang relevan dan faktual, sambil tetap menjaga martabat individu yang diberitakan.
Studi kasus yang menunjukkan bagaimana media dapat menjaga keseimbangan ini sangat penting untuk menjadi acuan. Misalnya, dalam pemberitaan yang memfokuskan pada kebijakan publik atau keputusan strategis yang dibuat oleh seorang politisi, tanpa melibatkan isu-isu pribadi yang tidak relevan. Media juga perlu berhati-hati dalam mengangkat "reaksi netizen", karena ini sering kali menjadi celah untuk masuknya narasi bullying dalam diskusi publik.
Rekomendasi untuk media dalam menangani isu-isu sensitif seperti ini termasuk memperkuat etika pemberitaan, melakukan verifikasi terhadap informasi yang diambil dari media sosial, dan menjaga agar kritik yang disampaikan tetap pada isu-isu yang relevan dengan peran publik seseorang.
Dalam kesimpulan, penting untuk menjaga budaya kritik yang rasional dan sehat. Kritik yang terlalu pribadi dan berubah menjadi penghinaan atau bullying tidak hanya merugikan individu yang menjadi sasaran tetapi juga berpotensi merusak iklim demokrasi kita.
Peran media dan masyarakat sangat penting dalam memastikan bahwa kritik tetap pada jalurnya, yakni sebagai alat untuk mendorong akuntabilitas dan perbaikan, bukan sebagai alat untuk menjatuhkan atau melecehkan individu. Oleh karena itu, ajakan untuk lebih menghargai privasi dan integritas individu, baik artis maupun politisi, dalam ruang publik adalah hal yang sangat perlu untuk terus digaungkan.***MG
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI